Homili 8 April 2020

HARI RABU DALAM PEKAN SUCI
Yes. 50:4-9a
Mzm. 69:8-10,21bcd-22,31,33-34
Mat. 26:14-25

Semangat Pemuridan

Pada pagi hari ini saya merayakan misa harian bersama komunitasku. Ada satu hal yang membuatku terharu ketika mengucapkann Prefasi Sengsara ke-II, di mana terdapat kalimat-kalimat seperti ini: “Sebab sudah dekatlah hari-hari suci untuk mengenangkan sengsara Putera-Mu yang menyelamatkan dan merayakan kebangkitan-Nya yang mulia. Sudah dekatlah pulah hari-hari kemenangan atas musuh lama yang dengan angkuhnya ingin menyesatkan umat manusia. Sudah dekatlah hari raya penebusan kami.” Sebagai seorang murid Kristus, kita tentu merasakan hal yang sama yakni semakin dekat hari-hari suci untuk mengenangkan paskah Kristus. Dia menderita, sengsara, wafat dan bangkit dengan mulia bagi kita. Semua ini kita rayakan bersama sebagai satu Gereja, kumpulan orang-orang yang percaya kepada Kristus. Kita akan merayakan paskah sebagai hari kemenangan karena kebangkitan Kristus mengalahkan kuasa iblis sebagai musuh lama. Dalam penderitaan Kristus terdapat nuansa optimisme yang besar bagi seorang murid sebab keselamatan akan datang dari Tuhan tepat pada waktunya.

Pada hari ini kita kembali mendengar kisah tentang Hamba Yahwe di dalam Kitab nabi Yesaya Bab ke-50. Sosok hamba Yahwe yang ditampilkan di sini laksana seorang murid. Dikatakan: “Tuhan Allah telah memberikan kepadaku lidah seorang murid, supaya dengan perkataan aku dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Setiap pagi Ia mempertajam pendengaranku untuk mendengar seperti seorang murid.” (Yes 50:4). Dalam kaca mata kristiani, kita langsung mengingat Yesus Anak Allah. Dia adalah Sabda yang terucap dari Bapa, menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Yesuslah yang memberi semangat dalam kata dan tindakan kepada kita semua sehingga orang yang letih lesu dan berbeban berat pun merasakan kelegaan. Dia sebagai Anak Allah sekaligus menjadi pendengar yang setia kepada Bapa.

Ciri khas lain dari sang Hamba Yahwe laksana seorang murid yang menderita adalah ia tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Ia bahkan memberi punggungnya kepada orang-orang yang memukulnya, dan pipinya kepada orang-orang yang mencabut janggutnya. Ia juga tidak menyembunyikan mukanya ketika akan dinodai dan diludahi. Sang hamba Yahwe ini sungguh-sungguh menderita. Kita membayangkan orang lain atau kita sendiri ketika dipukul di punggung sekali saja, pasti sakit rasanya. Pikirkanlah orang-orang yang mencabut janggut di pipi, sangat sakit sehingga orang berteriak dan menangis. Atau ketika muka kita diludahi dan dinodai. Semua tindakan ini memang menyakitkan sekali, namun sang Hamba Yahwe menerimanya dengan lapang dada. Pikiran kita juga tertuju kepada Tuhan Yesus. Ia juga dicambuk banyak kali dan taka da satu kata keluhan pun keluar dari mulutnya. Demikian pula wajah-Nya yang kudus diludahi dan dinodai. Semuanya itu Tuhan Yesus terima demi keselamatan manusia.

Ada satu hal yang menguatkan kita semua dari sang hamba ini yaitu kesetiaannya kepada Yahwe. Ia merasakan pertolongan Tuhan sehingga ia mengakui bahwa ia tidak mendapat noda. Tuhan juga meneguhkan hati sang hamba laksana gunung batu, sehingga ia tidak mendapat malu. Tuhan benar-benar menjadi satu-satunya penolong yang setia. Mari kita memandang Yesus. Dia mengalami penderitaan yang besar laksana sang Hamba Yahwe yang menderita. Ia tidak mengeluh dan memberintak. Ia malah memberi diri-Nya, membiarkan diri-Nya menderita karena Ia sangat mencintai manusia.

Dari Hamba Yahwe yang menderita kita belajar bahwa dalam hidup kita selalu ada penderitaan dan kemalangan. Tidak seorang pun yang luput dari penderitaan dan kemalangan. Sang Hamba Yahwe yang menderita ini tidak merasa sendirian. Ia merasakan pertolongan yang datang dari Tuhan sehingga seberat apa pun penderitaan dan kemalangan, ia siap untuk mengalaminya. Tuhan adalah andalan dalam hidupnya. Kita seharusnya demikian yakni mengandalkan Tuhan sebagai penolong kita. Kita berani melepaskan hidup lama dengan segala kesombongannya dan siap menerima hidup baru di dalam Kristus yang menderita, sengsara dan bangkit dengan jaya.

Dalam bacaan Injil kita mendengar kisah seorang murid yang menjadi pengkhianat Yesus. Tentu ini berbeda dengan murid yang tidak lain adalah Hamba Yahwe sendiri. Namanya Yudas Iskarot. Nama Yudas Iskariot (Ibrani; Isyqeriyot yang artinya orang Keriot. Keriot kemungkinan menjadi tempat asal Yudas, di Moab, atau yang di selatan Hebron. Yudas Iskariot bukan penulis kitab Yudas, hanya namanya saja yang sama dengan Yudas Tadeuz. Yudas menjual Yesus kepada para imam kepala. Ia tanpa beban mengatakan:”Apa yang hendak kamu berikan kepadaku, supaya aku menyerahkan Dia kepada kamu?” Mat 26:15). Mereka membayar Yudas dengan tiga puluh uang perak kepadanya atau setara dengan Rp.329.000. Yesus yang mahal, Anak Allah ternyata dibeli oleh para imam kepala dengan harga murah meriah. Yudas melakukan ini karena ia bersifat tamak. Pada akhirnya Yudas Iskariot memilik masa depan suram dan membunuh dirinya.

Mari kita merenungkan hidup kita. Kita sepakat untuk hidup sebagai murid namun apakah kita setia sebagai murid yang siap untuk mendengar, tidak mengecewakan orang lain, siap untuk menderita seperti Kristus sang Guru kita. Kita sepakat untuk mengandalkan Tuhan kapan dan di mana saja kita berada. Dalam kesulitan apapun, kita berusaha untuk tetap tersenyum, siap menderita untuk kebahagiaan orang lain. Kita harus mawas diri sebab Yudas juga ada di dalam diri kita. Kapan saja kita dapat menjadi pengkhianat bagi Tuhan dan sesama. Semangat pemuridan kita tunjukkan dengan hidup seturut ajaran dan teladan Kristus sendiri.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply