Homili 22 Mei 2020

Hari Jumat, Pekan ke-V Paskah
Kis. 18:9-18
Mzm. 47:2-3,4-5,6-7
Yoh. 16:20-23a

Jangan takut!

Pada pagi hari ini saya mengingat sebuah perkataan dari Aristoteles. Inilah perkataan sang Filsuf: “Manusia pemberani bukanlah seseorang yang tak pernah merasa takut, tetapi seseorang yang takut pada hal-hal yang seharusnya, pada waktu yang tepat, dengan cara yang benar.” Kita semua pernah merasa takut. Ketika masih kecil banyak di antara kita takut dengan suasana gelap, akibatnya kalau tidur harus ditemani atau lampu kamar dibiarkan menyala. Ada yang takut dengan hewan tertentu, ulat, ular, kecoa, cecak dan lain sebagainya. Ada anak-anak kecil yang takut dengan lawan jenisnya maka kalau digoda dengan lawan jenisnya ia akan menangis. Rasa takut menjadi bagian dari hidup kita. perasaan takut membuat orang menderita, menangis, merasa kehilangan dan aneka pengalaman batin lainnya. Kata-kata penghiburan yang selalu kita dengar dari sesama adalah jangan takut, masih ada kesempatan, orang sehebat anda masih takut ya… dan lain sebagainya. Rasa takut menjadi bagian dari hidup kita bukan karena kita tidak berani melainkan karena kita takut pada hal-hal yang seharusnya, pada waktu yang tepat dan dengan cara yang benar.

Bacaan-bacaan liturgi pada hari ini menggambarkan hidup kita yang nyata di hadapan Tuhan dan sesama. Penginjil Yohanes melanjutkan laporannya tentang amanat perpisahan yang dilakukan Yesus kepada para murid-Nya pada malam perjamuan terakhir. Ketika itu Yesus mengungkapkan aspek-aspek manusiawi dari kita semua yakni menangis, meratap, dukacita dan sukacita. Yesus tahu bahwa para murid akan merasa kehilangan karena Dia pergi kepada Bapa. Itu sebabnya Ia berkata: “Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.” (Yoh 16:20). Kita sudah sedang mengalami semua ini, di saat covid-19 masih membunuh begitu banyak saudara dan saudari kita. Banyak yang menangis dan meratap serta berduka. Ini sebuah kenyataan hidup saat ini. Namun semua ini tidaklah menjadi keabadian. Yesus sendiri mengatakan dukacita kita akan berubah menjadi sukacita. Ketika kita masih beriman dan berharap kepada Tuhan maka Ia akan mengeluarkan kita dari tangisan, ratapan dan dukacita manusiawi.

Tuhan Yesus mengambil salah satu contoh konkret. Seorang perempuan akan merasakan dukacita, dan rasa sakit pada saat bersalin. Ada yang melahirkan secara normal, ada yang melalui operasi sesar. Ini tentu bukanlah hal yang mudah karena penuh dengan resiko yaitu kematian sebagai ibu atau kematian bayi atau kematian kedua-duanya. Menakutkan! Namun setelah melahirkan anaknya, ia akan melupakan rasa sakitnya karena melihat anaknya yang berbaring di sisinya. Ini merupakan kelebihan dan kehebatan seorang ibu yang menjadi pelajaran bagi semua orang untuk menerima dan bertahan dalam penderitaannya. Dengan contoh ini Yesus juga mengingatkan para murid dan kita semua bahwa dukacita adalah bagian dari pengalaman hidup manusia, “tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu.” (Yoh 16: 22). Duka cita selalu mendahului sukacita. Dengan Roh Kebenaran, sukacita di dalam diri kita akan menjadi abadi dan sempurna.

Perkataan Tuhan Yesus ini pernah dialami oleh Paulus dalam perjalanan misionernya. Ia pernah dilempari dengan batu di Listra (Kis 14:19 dst) dan nyaris tewas namun ia tetap melanjutkan tugas misionernya. Ia pernah dipenjara dan dipukul hingga babak belur di Filipi namun dibebaskan secara luar biasa. Sebagai misionaris Paulus mengalami dukacita, banyak penderitaan dan penolakan sebagaimana dicontohkan di atas. Itulah sebabnya ketika Paulus tiba di Korintus, Tuhan mengingatkannya: “Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam! Sebab Aku menyertai engkau dan tidak ada seorangpun yang akan menjamah dan menganiaya engkau, sebab banyak umat-Ku di kota ini.” (Kis 18:9-10). Perkataan Tuhan Yesus ini berkaitan dengan pengalaman penderitaan Paulus di Filipi dan penolakannya di Athena. Secara manusiawi Paulus pasti takut, apalagi penderitaan yang datang bertubi-tubi. Namun cintanya kepada Tuhan Yesus sangatlah kuat. Ia berkata: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan”. (Flp 1:21). Ia bertahan dalam penderitaan dan melayani Tuhan Yesus sampai tuntas.

Pengalaman dukacita, tangisan derita kembali dialami Paulus di Korintus selama ia tinggal di sana selama satu setengah tahun. Ketika itu Galio menjadi gubernur Akhaya, orang-orang Yahudi bangkit melawan Paulus, menghadapkannya ke pengadilan dengan tuduhan yang tidak benar. Ini adalah tuduhannya: “Ia ini berusaha meyakinkan orang untuk beribadah kepada Allah dengan jalan yang bertentangan dengan hukum Taurat.” (Kis 18:13). Untunglah Galio menunjukkan kebijaksanaannya dengan mengusir orang-orang Yahudi karena tuntutan mereka tidak dikabulkan dan tidak berdasar. Galio berkata: “Hai orang-orang Yahudi, jika sekiranya dakwaanmu mengenai suatu pelanggaran atau kejahatan, sudahlah sepatutnya aku menerima perkaramu, tetapi kalau hal itu adalah perselisihan tentang perkataan atau nama atau hukum yang berlaku di antara kamu, maka hendaklah kamu sendiri mengurusnya; aku tidak rela menjadi hakim atas perkara yang demikian.” (Kis 18:14-15). Paulus akhirnya meninggalkan Korintus menuju ke Siria.

Hidup kita bermakna ketika pengalaman penderitaan berubah menjadi sukacita. Kita tidak harus berhenti pada pengalaman penderitaan semata karena masih ada Tuhan yang melihat dan mendengar rintihan kita. St. Paulus mengatakan, tidak ada satu apapun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Sebab itu jangan takut. Tuhan selalu memiliki rencana yang indah bagi kita semua.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply