Homili Peringatan Hati Tersuci Maria – 2020

PW. Hati Tersuci Santa Perawan Maria
Yes. 61:9-11
MT 1Sam. 2:1,4-5,6-7.8abcd; R 1a
Luk. 2:41-51

Maria menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya

Orang tua selalu memiliki keistimewaan tertentu yang dirasakan oleh setiap anaknya. Ketika orang tua itu sudah tidak ada, dan ada kesempatan anak-anak berkumpul bersama saat liburan, pasti ada cerita tentang masa kecil yang berhubungan dengan orang tua. Ada cerita pengalaman yang menggambarkan suasana bahagia, sedih, terharu dan lain sebagainya. Kita semua mengingat pepatah ini: “Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.” Orang tua juga demikian, mereka meninggal dunia serta merta meninggalkan jasa baiknya bagi setiap anak mereka. Orang tua meninggalkan kesucian hidupnya yang terpancar dalam setiap kebaikan-kebaikan yang diwariskannya kepada anak-anaknya. Ada anak yang menyakiti bahkan merampas yang menjadi haknya orang tua tetapi mereka tetaplah sosok yang mengalah dan menerima anak apa adanya. Terkadang sebagai orang tua, mereka tetap menyimpan ‘perkara-perkara’ khususnya hubungan dengan anaknya di dalam hati mereka.

Pada hari ini bersama seluruh Gereja Katolik, kita mengenang Bunda Maria sebagai ibu Yesus. Setelah kita merayakan Hari Raya Hati Kudus Yesus dengan meriah, Gereja mengingatkan kita bahwa di balik kebesaran nama Yesus Tuhan kita yang memiliki Hati Kudus, ada sosok ibu yang pasti memiliki hati yang suci. Kesucian hati Maria terpancar dalam kebersamaan dengan Yusuf dan Yesus Anaknya. Kita mendapatkan kisah yang melukiskan kesucian hati Bunda Maria melalui kisah yang kita dengar bersama di dalam Injil Lukas.

Di dalam Injil Lukas digambarkan bagaimana Bunda Maria dan suaminya Yusuf menunjukkan diri sebagai orang Yahudi tulen. Mereka berdoa dan melakukan kewajiban hidup beriman mereka di hadapan Yesus Anak mereka. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan berziarah ke Yerusalem dan beribadah di dalam Rumah Tuhan di Yerusalem. Peziarahan ditempuh dengan berjalan kaki dari Nazareth ke Yerusalem dengan jarak tempuh sekitar 150 km. Perjalanan yang cukup jauh, dan butuh beberapa hari sambil membawa bekal perjalanan. Sungguh sebuah pengorbanan untuk mencari dan menemukan Tuhan secara bersama di dalam keluarga.

Dikisahkan bahwa setelah semua upacara peribadatan selesai maka keluarga kudus bersama para peziarah lain kembali ke Nazareth. Selama di Yerusalem, Maria dan Yusuf seakan memberi kepercayaan kepada Yesus yang berumur dua belas tahun untuk bersama-sama dengan teman-teman sebaya-Nya. Sebab itu pada saatnya kembali ke Nazareth mereka juga beramai-ramai kembali tanpa mencari apakah Yesus ada bersama teman-teman sebaya-Nya. Setelah sehari perjalanan baru Maria dan Yusuf mencari Yesus dan ternyata mereka tidak menemukan-Nya. Mereka pun segera kembali ke Yerusalem dan mencari-Nya selama tiga hari. Di hari yang ketiga mereka menemukan Yesus sedang duduk di antara para cendekiawan Yahudi sambil bersoal jawab. Penginjil Lukas berkisah: “Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya.” (Luk 2:46-47). Lihatlah nilai-nilai yang ditunjukkan oleh Maria dan Yusuf. Di satu pihak mereka memberikan rasa tanggung jawab pribadi kepada Yesus, tidak posesif dan super protektif. Mereka menunjukkan kasih kepada Yesus dengan kembali, mencari dan menemukan-Nya.

Selanjutnya, pada saat menemukan Yesus, Maria menunjukkan keibuan dan kesucian hatinya di hadapan Yesus. Ia berkata: “Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (Luk 2:48). Maria tidak terpancing secara emosional dan serta merta memarahi Yesus karena sudah mencari-Nya selama tiga hari. Ia justru bertanya dengan pertanyaan yang sederhana tetapi mendalam bagi Yesus. Reaksi Yesus ketika mendapat pertanyaan dari ibunya seakaan-akan Dia tidak mengormatinya. Yesus memang mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan dan Maria adalah manusia. Maka Yesus berkata: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk 2:49). Sebagai manusia biasa, Maria dan Yusuf bahkan tidak mengerti perkataan yang Yesus ucapkan di hadapan mereka. Yesus sebagai Anak menunjukkan jati diri-Nya sebagai Anak dengan taat kepada Maria dan Yusuf. Mereka kembali ke Nazareth. Yesus bertumbuh menjadi dewasa, disayangi oleh Tuhan dan manusia. Maria sendiri dengan pengalaman ini menyimpan segala perkara di dalam hatinya.

Dari kisah Maria di dalam Injil Lukas ini, kita menemukan kesucian hati Maria yang terpancar dalam hidupnya sebagai ibunda yang baik. Hati tersuci Maria menjadi nyata dalam tanggung jawabnya sebagai seorang ibu. Dia adalah pendidik pertama dalam hal iman. Kebersamaan sebagai satu keluarga yang berziarah ke rumah Tuhan di Yerusalem merupakan tanda nyata kesucian hati Maria. Dia tetap mau bersatu dengan Tuhan Allah, bukan secara pribadi saja tetapi bersama di dalam keluarga. Hati tersuci Maria menjadi nyata dalam kesabaran untuk mencari dan menemukan Yesus. Dia juga menyimpan semua perkara di dalam hatinya. Tetapi dari semua ini, kesucian hati Maria adalah ungkapan kasihnya yang besar kepada Tuhan dan kepada kita. Hati tersuci adalah hati penuh cinta, hati penuh pengorbanan. Dan benar, cinta yang suci dan tulus itu penuh pengorbanan. Bunda Maria membuktikannya dalam hidupnya.

Pada hari ini keluarga-keluarga dan kita secara pribadi perlu belajar untuk menjadi seperti Bunda Maria. Dia menjadi model kekudusan kita. Kita berdoa dan memohon supaya Bunda Maria memberi hatinya kepada kita supaya hati kita juga suci seperti hatinya. Semoga cinta Bunda Maria kepada Yesus menjadi cinta kita kepada Yesus juga.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply