Merenung tentang Ayah

Mengenang Ayah

Pagi ini saya menjadi penumpang sebuah grab car. Ketika barusan membuka pintu, ia menyapa saya dengan ramah. Saya mulai duduk dan ia memperkenalkan dirinya, sambil perlahan-lahan mengantar saya ke tempat tujuan. Saya bertanya kepadanya apakah ia menyapa penumpang karena merupakan kebiasaan menyapa istri dan anak-anaknya di rumah. Ia mengaku memiliki kebiasaan yang baik untuk bangun lebih cepat, membangunkan istri dan anaknya, serta menyapa mereka dengan ramah. Dia menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan atau habitus yang baik.

Saya senang mendengar sharing sederhanannya ini. Saya merasa yakin bahwa dia seorang professional sebagai seorang driver yang tabah maka dia juga professional sebagai ayah yang terbaik di dalam keluarganya. Bahwa setiap kali mengawali hari baru dengan menyapa setiap pribadi di dalam keluarga adalah hal yang baik dan indah. Bagi saya, seharusnya setiap keluarga menjadikannya sebagai kultur di dalam keluarga. Saling menyapa menjadi kultur di mana orang merasa yakin tentang rasa hormat dan saling menghargai. Seorang ayah sepatutnya demikian dalam keluarga dan masyarakat.

Adalah Lydia M. Child. Beliau adalah seorang Penulis dari Amerika Serikat yang hidup pada tahun 1802-1880. Ia pernah berkata: “Tidak ada suara yang membahagiakan dan menenangkan telinga saya sebagaimana suara dan kata-kata ayah.” Setiap anak memiliki pengalaman dan kedekatan dengan sosok sang ayah. Suara ayah selalu mengubah segalanya terutama membahagiakan hati, menenangkan telinga. Banyak yang memiliki pengalaman yang berbeda, misalnya suara ayah selalu menakutkan, ayah itu represif dan lain sebagainya. Mereka yang lain mungkin mengalami hal yang berbeda ketika merenung tentang sosok ayah. Tetapi dari semua kesan, sosok ayah selalu menjadi orang nomor satu yang mengedukasi dan mengubah hidup kita. Memang, tepat sekali perkataan ini: “Cinta ayah laksana air yang mengalir tanpa henti dan tidak kering didera musim. Inilah salah satu hal yang susah dibalas oleh seorang anak.”

Ebiet G. Ade dalam lirik lagu tentang ayah mengatakan: “Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa. Benturan dan hempasan terpahat dikeningmu. Kau nampak tua dan lelah keringat mengucur deras. Namun kau tetap tabah hm. Meski nafasmu kadang tersengal. Memikul beban yang makin sarat. Kau tetap bertahan.”

Betapa berdosanya banyak orang yang tidak menghormati ayahnya, memukul dan mencaci maki. Betapa banyak anak yang menghargai ayahnya hanya karena alasan harta semata. Perintah Tuhan: “Hormatilah ayah dan ibumu” (Ul 5:16; Kel 20:12). Hari ini gunakanlah waktumu sejenak untuk mendoakan ayahmu yang masih hidup maupun yang sudah tidak ada lagi. Ayah tetaplah ayah yang hebat dan terbaik.

PJ-SDB