Homili 25 Juni 2020

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XII
2Raj 24:8-17
Mzm. 79: 1-2, 3-5, 8,9
Mat 7:21-29

Menjadi orang bijaksana

Democritus adalah seorang pemikir berkebangsaan Yunani. Ia pernah berkata begini: “Orang yang bijaksana adalah mereka yang tidak berduka cita akan hal-hal yang ia tidak miliki dan merasa bahagia dengan apa yang telah ia miliki.” Saya sepakat dengan definisi ‘orang bijaksana’ menurut Democritus yang sangat sederhana ini. Memang seharusnya demikian bahwa seorang dikatakan bijaksana kalau ia tidak berdukacita atau tidak bersedih hati karena ia tidak memiliki apa yang dimiliki orang lain, dan merasa bahagia dengan apa yang sedang dimilikinya. Kalau saja orang tidak memperhatikan hal ini maka mudah sekali ia menjadi avarice atau pribadi yang suka menimbun atau mengumpulkan barang-barang yang sebenarnya dia juga tidak membutuhkannya. Kita menemukan tipe orang avarice ini dalam kehidupan setiap hari.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus yang dengan begitu terbuka dan berterus terang menjelaskan secara praktis Sabda Bahagia kepada para murid-Nya. Mula-mula Yesus mengajak para murid-Nya supaya setia dalam segala hal dan dalam setiap waktu kehidupan. Kesetiaan itu ditunjukkan dengan melakukan kehendak Bapa di surga. Di sini kesetiaan berjalan bersama ketaatan hidup kepada Tuhan. Orang tidak hanya sekedar beripikir bahwa ia rajin berdoa dan selesai. Ia juga harus berusaha untuk taat kepada kehendak Allah. Sebab itu Yesus berkata: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku, Tuhan, Tuhan!” akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga” (Mat 7: 21). Perkataan Yesus ini membuka pikiran kita untuk sadar diri sekaligus mengevaluasi diri di hadapan Tuhan.

Banyak kali kita berpikir bahwa dengan kita aktif dalam mengikuti kegiatan kegerejaan, mengikuti ibadah bersama dan aneka kegiatan keagamaan lainnya. Apakah ini merupakan sebuah jaminan untuk memperoleh hidup kekal? Jawabannya adalah belum menjadi jaminan. Semua ini harus menjadi nyata bahwa kita sedang melakukan kehendak Tuhan Allah Bapa di dalam surga. Kehendak Allah itu tercermin dalam kasih, kebaikan, kejujuran, rasa hormat dan lain sebagainya. Tuhan Yesus justru mengenal kita karena kita setia melakukan kehendak Bapa di dalam surga. Sebaliknya kalau kita tidak setia maka Ia juga tidak akan mengenal kita. Dia bahkan mengusir kita dan menganggap kita sebagai pembuat segala kejahatan.

Apa yang harus kita lakukan?

Tuhan Yesus mengharapkan supaya kita berusaha untuk menjadi orang yang bijaksana dalam beriman kepada Tuhan. Sikap bijaksana itu kita tunjukkan dengan melakukan kehendak Allah di dalam hidup kita. Orang yang bijaksana itu mendengar setiap perkataan Yesus dan melakukannya di dalam hidupnya. Supaya para murid dapat memahami maksud dari Tuhan Yesus, maka Ia mengambil contoh-contoh praktis yang dapat merangsang pikiran mereka untuk berefleksi. Misalnya, orang yang bijaksana kalau membangun rumah pasti di atas sebuah fundasi yang kuat, dengan materi batu wadas, pasir, kerikil dan semen. Rumah itu akan berdiri kokoh dan tak ada bahaya kehancuran apapun dari angin, hujan dan banjir. Sebaliknya orang yang tidak bijaksana atau bodoh membangun rumahnya di atas pasir. Tentu saja rumah itu akan mudah roboh karena tidak ada fundasi yang kuat. Tuhan Yesus mengajar dengan contoh-contoh sederhana namun mendalam, lagi pula semua ini dilakukan sebagai seorang sosok yang berkuasa bukan seperti para ahli Taurat.

Apakah anda dan saya masih bijaksana?

Kadang-kadang kita harus berani mengatakan bahwa kita belum masuk kategori sebagai orang bijaksana. Pikiran kita masih sempit tetapi kiat berpikir seolah-olah sudah luas. Kita berpikir sudah menjadi orang katolik yang terbaik, ternyata masih ketinggalan karenan keengganan untuk belajar kekatolikan yang benar bukan asal jadi orang katolik. Kiat malas membaca Kitab Suci, malas berdoa atau kalau sempat membaca Kitab Suci dan berdoa maka sangat cepat kita puas dan membuat perhitungan dengan Tuhan. Kita mengaku orang katolik, percaya kepada Tuhan Allah Tritunggal yang Mahakudus, tetapi ternyata hidup kita jauh dari Tuhan. Hanya bisa berteriak sebagai orang katolik tetapi belum mengimani Yesus yang mengasihi, mengampuni, mudah memaafkan dan lain sebagainya. Kita masih dikuasai oleh berhala-berhala. Maka akibat yang lebih fatal adalah kita adalah orang katolik yang mengalami pembuangan di ‘Babilonia baru’ saat ini karena terlalu banyak berhala di dalam hidup kita.

Sekarang pikirkanlah berhala-berhala sembaanmu itu. Segeralah memohon pengampunan dari Tuhan supaya jangan mengalami pembuangan di ‘Babilonia baru’.

PJ-SDB