Homili 19 Agustus 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XX
Yeh. 34:1-11
Mzm. 23:1-3a,3b-4,5,6
Mat. 20:1-16a

Tuhan begitu murah hati bagiku

Masa covid-19 ini membuat banyak orang menjadi terbuka untuk menolong sesama yang sangat membutuhkan dan mendorong orang yang menerima bantuan untuk memiliki rasa syukur di dalam hidupnya. Perasaan empati atau berbela rasa menunjukkan kebajikan kemurahan hati yang lintas batas, artinya perasaan empati itu tidak memandang siapa yang memberi bantuan dan siapa yang menerima bantuan kemanusiaan. Bahwa dia adalah manusia sudah cukup menjadi alasan untuk menolongnya dalam kesulitan. Prinsip semacam ini sangat kristiani. Tuhan Yesus mengajarkannya kepada kita untuk selalu bermurah hati kepada semua orang. Bapa Suci Paus Fransiskus saat ini meminta Gereja untuk berempati terhadap semua korban covid-19, kepada kaum buruh dan migran. Semua gereja dan biara diharapkan membuka pintunya bagi pelayanan kaum papa miskin, kaum buruh dan migran, dan para korban covid-19. Gereja diharapkan mewujudkan cinta kasih Kristus kepada semua orang. Ini juga merupakan kesaksian Gereja di tengah dunia saat ini.

Tuhan Yesus sendiri mengajar kita sebuah perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati (Luk 10:25-37). Orang Samaria itu lawan dari orang-orang Yahudi. Tetapi ketika ada seorang Yahudi yang dirampok habis-habisan, bukan seorang imam atau seorang Lewi yang menaruh belas kasih kepada sesama Yahudi. Mereka hanya melihat dari jauh karena masih terpaku pada adat istiadat Yahudi yang melihat darah yang mengalir sebagai sebuah kenajisan. Hanya orang Samaria yang menunjukkan kemurahan hatinya kepada orang Yahudi ini. Inilah bentuk kemurahan hati orang Samaria: “Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.” (Luk 10: 33-35). Orang Samaria adalah Yesus sendiri yang bermurah hati kepada semua orang berdosa.

Beberapa hari yang lalu saya memesan sebuah Grab car. Saya mendapat seorang sopir yang sopan dan ramah, mobilnya juga bersih dan harum. Saya bertanya kepadanya tentang aktivitas hariannya dan penghasilannya dari pekerjaannya ini. Dia mengakui selama masa covid ini penghasilannya sangat menurun. Banyak kali dia kehilangan arah hidup karena tidak focus ketika memperhatikan keluarganya, terutama anak-anaknya yang masih bersekolah. Namun di saat-saat yang sulit itu ia merasa heran karena selalu saja ada orang yang murah hati dan mau berbagi dengannya. Ada yang menjadi penumpangnya, ada yang memberi sembako dan aneka sumbangan lainnya. Semua ini bukan dari keluarga atau kerabat dekatnya tetapi dari orang yang tidak ada relasi apapun dengannya, bukan keluarga, bukan sedaerah dan bukan seiman. Pada akhirnya ia mengakui bahwa Tuhan itu memang ada dan masih bermurah hati kepadanya. Saya merasa bangga dengan sopir Grab car ini. Dia tentu tidak jauh dari Kerajaan Allah.
Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang sangat menarik perhatian kita semua. Tuhan Yesus memberi sebuah perumpamaan yang mau menerangkan tentang sifat dari Tuhan sendiri yakni murah hati. Penginjil Lukas menulis perkataan dan harapan Yesus ini: “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” (Luk 6:36). Tuhan memang murah hati kepada semua orang, memperlakukan semua orang sama rata. Tuhan Yesus mengumpamakan Kerajaan Surga laksana seorang tuan rumah yang mencari pekerja pada jam-jam tertentu, mengikat kesepakatan kerja dengan mereka dan memberikan upah pada akhir hari. Dia bebas mencari siapa saja untuk bekerja di kebun anggurnya, dan pada akhir hari ia memberikan upah sesuai kesepakatan bersama yaitu satu dinar. Saya sekali karena para pekerja terutama yang bekerja lebih lama pada hari itu melakukan protes kepada tuan rumah itu karena memberi upah yang sama kepada mereka semua. Tuan rumah itu dengan tegas mengatakan bahwa pemberian upah itu sesuai dengan kesepakatan maka tidak perlu jahat mata atau iri hati.

Bacaan Injil ini saya katakan sangat menarik perhatian kita sebab Tuhan Yesus mau membuka mata kita untuk melihat-Nya sebagai sosok yang murah hati dan di pihak kita sebagai sosok yang penuh perhitungan dan bersungut-sungut kepada-Nya. Tuhan Allah kita memang hebat dan luar biasa. Ia memiliki komitmen untuk terus menerus mencari manusia untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Dalam semua waktu kehidupan, bahkan sampai saat terakhir pun, Tuhan tetap memanggil, mengajak untuk bekerja di kebun anggurnya. Ia tidak merasa rugi karena semuanya sesuai kesepakatan bersama. Kehebatan tuan rumah ditunjukkannya dengan memberi upah yang sama rata, tanpa memandang waktu kerja dari para pekerja yang dipanggilnya itu. Hal yang sama terjadi pada Tuhan. Ia menunjukkan kemurahan hati-Nya untuk menyelamatkan semua orang. Orang berdosa dianugerahi pertobatan supaya selamat.

Namun sayang sekali karena manusia ciptaan Tuhan yang paling mulia ini selalu memiliki perhitungan-perhitungan tertentu. Manusia saling menghitung satu sama lain dan saling menghitung dengan Tuhan sendiri. Mereka yang kerja dari pagi hari di kebun anggur merasa lebih berhak dibandingkan dengan mereka yang baru bergabung. Orang yang sudah lama dibaptis berpikir bahwa merekalah status quo keselamatan dibandingkan dengan para baptisan baru. Pikiran seperti ini membuat banyak warga Gereja yang kecewa karena merasa lebih berjasa terhadap gereja dibandingkan dengan para pendatang baru. Tuhan dengan tegas mengatakan: “Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir.” (Mat 20:16).

Apa yang gereja butuhkan saat ini?

Tuhan melalui nabi Yehezkiel menunjukkan keperihatinan-Nya terhadap kawanan domba yang tercerai berai dan tersesat karena para gembala tidak menunjukkan sifat kegembalaannya yang baik. Tuhan berjanji untuk melepaskan kawanan domba-Nya dari mulut para gembala yang tidak becus dan Dia sendiri saja yang bertindak sebagai gembala atas kawanan domba-Nya. Tuhan tidak membuat perhitungan dengan domba-domba-Nya. Dia malah bermurah hati kepada kawanan domba dengan berkata: “Dengan sesungguhnya Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya.” (Yeh 34:11).

Di sini dengan sangat jelas Gereja membutuhkan Tuhan sebagai Gembala yang baik. Dia sebagai Gembala yang baik senantiasa menginspirasi Gereja untuk memperhatikan semua orang tanpa memandang siapakah orang itu. Tuhan sebagai Gembala yang baik menginspirasi Gereja untuk selalu bermurah hati kepada kawanan domba. Dalam konteks ini kita memahami maksud Tuhan untuk melayani sesama yang miskin dan menderita. Mereka adalah para korban covid-19, kaum buruh dan imigran dari segala suka dan bangsa, Bahasa dan budaya yang tidak diperhatikan orang lain. Gereja berempati, terbuka dan peduli laksana gembala yang memperhatikan kawanan domba. Optio fundamental pelayanan kaum papa miskin atau kaum kecil ini benar-benar menunjukkan wajah Allah kita yang murah hati. Apakah anda juga murah hati?

PJ-SDB