Homili 5 Oktober 2020

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXVII
Gal. 1:6-12
Mzm. 111:1-2,7-8,9,10c
Luk. 10:25-37

Belajar menjadi sesama manusia

Adalah Pablo Casals (1876-1973). Beliau adalah seorang komponis dan pemain Cello berkebangsaan Spanyol, pernah berkata: “Kedalaman makna hidup manusia ditentukan oleh kemampuannya untuk peduli kepada sesama.” Sekilas kata-kata ini seolah-olah tanpa makna, tetapi sebenarnya sangat bermakna. Kita menunjukkan jati diri kita sebagai manusia yang berhati nurani ketika kita peduli, berempati atau berbela rasa terhadap sesama manusia. Kalau saja kita tidak peduli dan tidak berbela rasa maka kita bukanlah manusia yang bersifat sosial tetapi manusia berhati serigala buas. Serigala itu menang buasnya tetapi kalah dalam situasi tertentu karena tanpa hati nurani. Kita sebagai manusia memiliki hati nurani maka wajarlah kita dapat berinteraksi dengan sesama manusia, dan selalu terarah kepada kebaikan. Kedalaman makna hidup kita dapat dilihat dari keterbukaan hati untuk berempati dan peduli sama seperti Tuhan sendiri peduli dengan kita.

 

Pada hari ini kita semua diingatkan pada sebuah pertanyaan yang bagus: “Siapakah sesamaku manusia?” (Luk 10:29). Tuhan Yesus mengajar dalam perumpamaan: Ada seorang Yahudi yang dirampok dan dianiaya habis-habisan. Sambil berbaring di pinggir jalan dan berdarah-darah, ada seorang imam dan seorang Levi melewati tempat itu. Mereka melihat dia berdarah-darah maka mereka melewatinya begitu saja. Bagi orang Yahudi, bagian tubuh yang berdarah itu najis. Ini merupakan alasan yang menghalangi mereka untuk berbuat baik. Selang beberapa saat, seorang Samaria lewat di situ. Relasi antara orang Yahudi dan Samaria tidaklah bagus. Mereka saling bermusuhan satu sama lain. Namun apa yang terjadi? Ternyata orang Samaria ini beda!

Apa yang dilakukan orang Samaria ini? Dia memiliki rasa belas kasih yang besar. Dia tidak memandang orang yang sekarat itu sebagai orang Yahudi, tetapi dia melihatnya sebagai sesama manusia. Sama-sama manusia harus saling menolong bukan sebagai serigala satu sama lain atau tertawa di atas penderitaan orang lain. Orang Samaria yang sedang dalam perjalanannya itu tidak merasa rugi waktu, tidak takut akan modus kalau-kalau orang sekarat itu hanya sebagai umpan untuk pemerasan oknum tertentu. Dia turun dari keledainya, menggunakan minyak dan anggur untuk mengobati luka-luka di sekujur tubuhnya, mengangkat dan meletakkannya di atas keledai tunggangannya, sedangkan dia sendiri berjalan kaki, memberi pengianapan dan membayarnya bahkan masih berjanji untuk mengganti rugi pemakaian dana yang melampaui yang dibayarkan.

Orang Samaria ini hebat. Dia menunjukkan ajaran Yesus tentang sesama yang sebenarnya. Sesama itu saling berbagi, berempati satu sama lain, saling menjaga dan melindungi, tidak mengingat kesalahan-kesalahan orang lain. Siapakah orang Samaria itu sendiri? Orang Samaria adalah Yesus sendiri. Dia yang tidak menghitung-hitung kesalahan kita. Dia selalu menghadirkan kasih Allah bagi kita semua. Di atas salib Ia mengajar tentang semangat mengampuni. Orang Samaria yang baik hati itu kaya akan pengampunan dan tidak mengenal balas dendam. Maka bagi saya orang Samaria yang baik hati adalah Yesus sendiri.

Mari kita masuk dalam pengalaman hidup kita: “Sesamaku, siapa ya?” Sebuah kalimat tanya yang bersifat mengoreksi sampai ke akar-akarnya hidup kita. Kita sedang tidak hidup di negeri yang tidak dapat dijangkau. Pada masa kini, kita hidup dalam satu negeri yang sama, suasana kekeluargaan, persaudaraan sejati dan mau menjadi sesama bagi semua orang. Kita berjuang untuk menjadi sesama yang membangun persaudaraan sejati. Kalau ada kasih maka pasti ada pengampunan. Kasih adalah segalanya, sesama segalanya karena dia atau mereka juga manusia.

Saya terinspirasi oleh kehidupan Beato Albert Marvelli. Beliau adalah orang kudus dalam keluarga besar Salesian Don Bosco. Dalam masa hidupnya, ia mengabdikan dirinya sampai tuntas sebagai seorang awam yang hebat. Dia sebagai tangan kedua para Salesian di oratorium Don Bosco. Tentu saja semua pekerjaan pasti beres kalau ada Albert. Dia juga aktif dalam hidup berorganisasi, sosok leader yang hebat. Dan sambil menolong sesama yang sangat membutuhkan, Albert tidak melepaskan dirinya dari panggilannya sebagai awam katolik, dalam hidup bermasyarakat dan menggereja. Ia berpartsipasi dalam berbagai kegiatan bahkan meninggal dunia ketika sedang bekerja. Ini sungguh sebuah kemuliaan bagi Tuhan. Hidup Beato Albert mencerminkan sosok sesama manusia yang hebat.

Menjadi sesama manusia itu butuh pengurbanan diri. Hidup sebagai sesama manusia tanpa pengurbanan itu kebohongan. Beato Albert menjadi sesama melalui pengurbanan dirinya, bahkan sampai wafat ketika sedang bekerja. Keteladanan ini memang perlu dan harus dilakukan sebagai sesama manusia. Sudakah anda menjadi sesama manusia?

PJ-SDB