Homili 2 Januari 2021

Hari Sabtu 2 Januari 2021
Peringatan Wajib Basilius Agung
Gregorius dr Nazianze
1Yoh. 2:22-28;
Mzm. 98:1,2-3ab,3cd-4;
Yoh. 1:19-28

Belajar rendah hati

Adalah George Eliot (1819-1880). Penulis berkebangsaan Inggris ini pernah berkata: “Saya merasa lebih baik bagi jiwa saya untuk menjadi rendah hati sebelum misteri urusan Tuhan, dan tidak membuat keributan tentang apa yang tidak pernah bisa saya mengerti.” Perkataan sederhana ini memiliki makna yang dalam tentang betapa luhurnya kebajikan kerendahan hati. Kita butuh kebajikan kerendahan hati ini di hadirat Tuhan dan sesama. St. Agustinus sebelumnya memiliki pengalaman masa lalu yang gelap. Ia pernah menjadi pribadi yang sombong karena lebih mengandalkan dirinya dari pada Tuhan. Setelah mengalami pertobatan, ia sungguh takluk di hadirat Tuhan. Ia mengakui bahwa kerendahan hati adalah sebuah kebajikan yang dapat membawa manusia kepada Tuhan. Santo Agustinus bahkan mengatakan, hal pertama adalah kerendahan hati, selanjutnya adalah kerendahan hati, dan pada akhirnya adalah kerendahan hati. Artinya bahwa kebajikan kerendahan hati ini merupakan jalan Tuhan yang membawa manusia kepada kesempurnaan hidup.

Apakah kita memiliki kebajikan kerendahan hati? Kita semua memiliki kebajikan kerendahan hati karena Tuhan sendiri menempatkannya secara gratis di dalam hati kita. Tuhan sendiri bersemayam di dalam hati kita. Dialah yang lemah lembut dan rendah hati (Mat 11:29). Dia sendiri yang menuntun kita kepada diri-Nya sebagai Tuhan. Raja Daud mengakui imannya dengan berkata: “Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati.” (Mzm 25:9). Bahkan Tuhan sendirilah yang memhakotai orang-orang-orang yang rendah hati (Mzm 149: 4). St. Paulus menasihati jemaat di Efesus: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.” (Ef 4:2). Bercermin pada perkataan Tuhan ini, kebajikan kerendahan hati dapatlah menjadi mahkota kehidupan kita karena kita memperolehnya secara cuma-cuma dari Tuhan.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok yang berbagi hidup dan kebajikannya kepada kita. Dialah Yohanes Pembaptis. Penginjil Yohanes bersaksi bahwa pada suatu kesempatan ada orang-orang Lewi dan para iman sebagai utusan orang-orang Yahudi, datang dan menanyakan jati diri Yohanes Pembaptis dengan pertanyaan: “Siapakah engkau?”. Yohanes Pembaptis digambarkan oleh penginjil sebagai sosok yang rendah hati sebab ia mengaku dan tidak berdusta bahwa ia bukan Mesias, bukan Elia dan bukan nabi yang akan datang. Yohanes mengaku sebagai: “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan! seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” (Yoh 1:23).

Kita dapat membayangkan sosok Yohanes dan orang-orang masa kini. Terlalu berbeda! Orang-orang masa kini lebih menonjolkan kesombongan diri, menganggap orang lain begitu saja tidak seperti dirinya sendiri. Yohanes Pembaptis jujur dan tidak berdusta, dia menampilkan diri apa adanya. Ada orang-orang tertentu masa kini akan mengatakan: “Ya ialah, matamu ada di mana? Akulah yang engkau pikirkan dan katakana itu” meskipun perkataannya itu bukan menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya. Orang tidak malu-malu untuk melakukan kebohongan publik tentang dirinya. Contoh nyata: di dalam gereja selalu ada orang yang sakit jiwa sehingga mengakui diri sebagai romo, bruder , frater atau suster padahal bukan. Banyak kasus penipuan terjadi di gereja-gereja atau tempat peziarahan karena pengakuan ‘para gadungan ini’.

Ada perwakilan orang Farisi yang mempertanyakan kerasulan Yohanes Pembaptis saat itu yakni dia membaptis, padahal ia mengaku bukan Mesias, bukan Elia dan bukan juga nabi yang akan datang. Dia hanya suara yang berseru demi pertobatan orang untuk menyambut sang Mesias. Sebab itu Yohanes Pembaptis menjawabi pertanyaan orang Farisi ini dengan berkata: “Aku membaptis dengan air; tetapi di tengah-tengah kamu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian dari padaku. Membuka tali kasut-Nyapun aku tidak layak.” (Yoh 1:26-27). Ketika itu Yesus sudah berada di tengah-tengah mereka, hanya mereka belum mengenal-Nya. Dengan rendah hati Yohanes bahkan mengatakan ketidaklayakannya untuk membuka tali sepatu Yesus, sang Mesias. Yohanes Pembabtis sungguh merupakan sosok yang rendah hati. Penginjil Lukas bersaksi: “Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan.” (Mrk 1:6).

Apa yang harus kita lakukan?

Yohanes dalam bacaan pertama memberikan petunjuk-petunjuk yang membuka jalan kepada kerendahan hati. Pertama, supaya kita jangan menjadi pendusta karena menyangkal Yesus. Orang sombong mudah berdusta dan merasa seolah-olah dirinya seperti Tuhan. Orang suka berdusta dianggap sebagai anti kristus. Kedua, Supaya kita benar-benar beriman dengan mengakui Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Pengakuan Trinitaris ini sangatlah penting dalam kehidupan iman kita karena akan membantu kita untuk tinggal di dalam Tuhan. Ketiga, Orang yang rendah hati tinggal di dalam Tuhan dan jaminannya adalah hidup abadi. Hidup abadi adalah harapan bagi kita semua.

Saya mengakhiri homili hari ini dengan mengutip perkataan St. Basilius Agung. Ia mengatakan: “Di samping setiap orang beriman, ada seorang malaikat sebagai pelindung dan gembala yang menuntunnya kepada kehidupan”. Malaikat pelindung mengantar kita untuk menjadi pribadi yang rendah hati dan mampu melayani Tuhan dan sesama seperti malaikat. St. Basilius Agung selalu menunjukkan kerendahan hatinya dengan menyediakan waktu untuk menolong kaum miskin papa. Ia bahkan mendorong orang-orang miskin untuk menolong mereka yang lebih miskin dari diri mereka sendiri. Ia berkata: “Berikanlah makanan terakhirmu kepada pengemis yang mengetuk pintumu, dan percayalah akan belas kasihan Tuhan.” Hanya orang rendah hati yang bisa berlaku demikian seperti St. Bsilius. St. Gregorius menunjukkan kerendahan hatinya dalam semangat pengampunan. Dikisahkan bahwa pada saat menjabat sebagai Uskup Konstantinopel, ia mempertobatkan banyak orang dengan khotbah-khotbahnya yang mengagumkan. Ketika itu ada seorang pemuda berencana untuk membunuhnya. Namun pada akhirnya pemuda itu bertobat serta memohon pengampunan dari Gregorius. St. Gregorius sungguh mengampuninya serta membawanya ke jalan yang benar dengan kelemahlembutan serta kebaikan hatinya. Mari kita belajar menjadi rendah hati seperti Tuhan Yesus dan para kudus.

P. John Laba, SDB