Homili 9 Februari 2021

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-V
Kej. 1:20 – 2:4a;
Mzm. 8:4-5,6-7,8-9;
Mrk. 7:1-13

Hatimu begitu jauh!

Saya selalu mengingat sebuah pengalaman ketika berada di ruang tunggu sebuah airport. Saya memperhatikan sepasang muda yang kelihatan sedang menghadapi suatu masalah. Sang cowok berbicara dengan nada yang agak tinggi dan mukanya kelihatan memerah. Sang cewek sebaliknya kelihatan begitu tenang dan berusaha untuk meladeni setiap perkataan sang cowok. Pada akhirnya sang cewek memandangnya dan berkata: “Kita sudah lama berjalan bersama, ternyata hatimu begitu jauh dariku!” Suasana di antara mereka terdengar sepi, sang cowok berdiri seraya mengambl ransel bawaannya dan berjalan menjauh dari tempat duduknya. Saya melihat situasi pasangan muda ini dan membayangkan betapa banyak pasangan muda yang seperti ini atau mungkin lebih jahat dari yang saya saksikan di airport, dan tentu ada juga yang lebih baik lagi dari mereka berdua.

Satu hal yang perlu kita miliki di dalam hidup ini adalah kemampuan untuk mengenal diri dan mengenal sesama manusia. Kalau saja kita mengenal diri dengan baik maka dengan sendirinya kita juga dapat menerima diri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Hal yang sama dapat juga terjadi ketika kita mampu mengenal dengan baik sesama di sekitar kita dan berusaha untuk menerima sesama kita. Mengenal diri dan mengenal sesama membuat kita bertumbuh sebagai pribadi yang matang dan bahagia. Tanpa mengenal diri maka perkataan ini tetap akan datang ke dalam hidup kita: “Ternyata hatimu begitu jauh dariku!”

Pada hari ini saya sangat kagum dengan sosok Yesus. Ia mendapat tamu kehormatan yaitu orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Kaum Farisi dan para ahli Taurat hadir untuk mengamati beberapa murid Yesus yang makan dengan tangan yang belum dibersihkan. Mereka sangat legalis dan mematuhi adat dan kebiasaan sebagai orang Yahudi, salah satu contohnya adalah membersihkan tangan sebelum makan. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat bahkan mengajukan protes kepada Yesus: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?” (Mrk 7:5). Melihat hal ini, Yesus berkata: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Mrk 7:6-8).

Mari kita memandang diri kita di hadirat Tuhan. Banyak kali kita merasa dekat dengan Tuhan padahal sebenarnya kita begitu jauh. Tidak ada sinkronisasi antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Maka tepatlah perkataan nabi Yesaya: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.” (Yes 29:13). Perkataan ini menohok hidup kita yang nyata. Misalnya, kita mungkin saja mengakui diri kita dan berbangga sebagai orang yang sudah dibaptis, aktif dalam hidup menggereja, memimpin kelompok kategorial tetapi hidup kita secara pribadi jauh dari Tuhan. Padahal kita ini diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah (Kej 1:26-27). Maka ketika kita memuliakan Allah hanya dengan mulut dan lupa memakai hati maka ini merupakan sebuah kekurangan yang besar. Perkataan ini mengandaikan cinta kasih yang besar kepada Tuhan dan sesama. Apakah kita mampu mengasihi Tuhan dan sesama? Kalau kita seperti ini maka hati kita begitu jauh dari Tuhan. Artinya kita tidak berdoa, mengangkat hati dan pikiran kepada Tuhan.

Tuhan memberkati kita semua,

P. John Laba, SDB