Homili 11 Februari 2021

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-V
Maria di Lourdes
Hari Orang Sakit Sedunia
Kej. 2:18-25;
Mzm. 128:1-2,3,4-5;
Mrk. 7:24-30

Betapa aku mengasihi engkau!

Saya terpesona dengan orang tuaku. Mereka berdua sudah meninggal dunia. Ayah saya meninggal dunia pada tanggal 14 Februari 1997. Ibu saya meninggal dunia pada tanggal 22 November 2020. Kedua-duanya sama-sama mewariskan harta yang luar biasa dalam hidup kami anak-anak mereka. Salah satu harta yang mereka wariskan adalah kasih dan kebaikan hati. Di balik karakter keras dan lembut yang mereka tunjukan dalam mengedukasi, prinsip-prinsip untuk menjadi orang yang mampu mengasihi dan berbuat baik kepada semua orang itu sangat mereka tekankan. Saya bangga memiliki mereka karena dari merekalah saya belajar untuk menjadi seorang imam yang selalu berusaha untuk mengasihi dan berbuat baik kepada semua orang. Terima kasih bapa Klemens dan mama Maria atas harta yang sangat berharga ini. Saya merasa yakin bahwa pada hari ini kita semua memiliki pengalaman yang unik dan indah bersama kedua orang tua kita. Tentu saja dari pengalaman kebersamaan itu bukan berarti mereka tidak memiliki kekurangan. Mereka adalah manusia yang memiliki banyak kekurangan namun kekurangan-kekurangan mereka adalah kekuatan yang membentuk anak-anak supaya tidak jatuh ke dalam satu lubang yang sama. Harapan mereka adalah anak-anak harus menjadi lebih baik dari pada mereka.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan tentang hidup Misioner Yesus. Dia berkeliling dan berbuat baik, tidak hanya di daerah Israel tetapi juga hingga lintas batas yakni di daerah Tirus dan Sidon. Ini adalah daerah di luar komunitas Yahudi namun kedatangan-Nya membawa cerita dan berkat tersendiri. Tuhan Yesus melakukan perjalanan yang cukup jauh sekitar 63 Km dari Galilea menuju ke Tirus dan dari Tirus ke Sidon sekitar 40 Km. Ia bersama para murid-Nya melakukan perjalanan melewati dari pegunungan hingga ke sekitar laut tengah karena kedua kota yakni Tirus dan Sidon berada di pinggir laut Tengah. Sungguh merupakan suatu perjalanan Yesus ‘keluar’ yang luar biasa.

Dalam perjalanan kali ini, Yesus berjumpa dengan seorang wanita Yunani berkebangsaan Siro Fenisia yang percaya kepada Yesus dan meminta-Nya untuk menyebuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan roh jahat. Perempuan asing ini datang kepada Yesus, bersujud di hadapan-Nya dan memohon belas kasih Yesus untuk menyembuhkan anaknya. Mula-mula Yesus mengomentari permintaan perempuan ini dengan mengatakan bahwa Ia datang untuk menyelamatkan sisa-sisa Israel. Inilah perkataan Yesus: “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” (Mrk 7: 27). Namun perempuan ini tetap menunjukkan rasa percayanya kepada Yesus. Ia berkata: “Benar, Tuhan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.” (Mrk 7:28). Tuhan Yesus melihat iman perempuan ini maka Ia berkata: “Karena kata-katamu itu, pergilah sekarang sebab setan itu sudah keluar dari anakmu.” (Mrk 7:30). Mukjizat Yesus sungguh terjadi bukan hanya di Isreal tetapi juga di luar Israel. Hanya ada keselamatan dalam nama Yesus.

Dari kisah Injil ini, satu hal yang menarik perhatian kita adalah peran penting seorang ibu sebagai orang tua untuk membawa anaknya kepada keselamatan. Ibu dari anak yang kerasukan roh jahat ini sangat mengasihi anaknya sehingga ia mencari jalan untuk menyelamatkannya. Ia tidak mencari dukun tetapi mencari Tuhan Yesus, satu-satunya yang dapat menyembuhkannya secara total. Ia datang kepada Yesus, berlutut sambil memohon dan mengungkapkan imannya kepada Yesus. Imannya menyelamatkan anaknya yang sedang sakit.

Pada hari ini kita juga merayakan hari orang sakit sedunia, bertepatan dengan peringatan penampakkan Bunda Maria di Lourdes kepada gadis berusia 14 tahun bernama Bernadedette Subirous. Bunda Maria menampakkan diri sebanyak delapan kali dari 11 Februari sampai 16 Juli 1858. Pada tangal 25 Maret 1858, Bunda Maria mengatakan dirinya kepada Bernadette: “Akulah yang dikandung tanpa noda dosa”. Paus Yohanes Paulus II menjadikan tanggal 11 Februari sebagai hari orang sakit sedunia. Hal yang penting dilakukan oleh para imam hari ini adalah memberikan sakramen perminyakan kepada orang-orang sakit. Paus Fransiskus pada hari ini memberi pesannya yang istimewa kepada orang-orang sakit dengan tema: “Hanya satu Rabimu dan semua adalah saudara” (Mat. 23: 8). Saling percaya adalah prinsip dasar perawatan bagi orang sakit. Di dalam suratnya ini beliau menulis: “Pengalaman sakit membuat kita merasakan kerapuhan kita dan, pada saat yang sama, kebutuhan bawaan akan orang lain. Kondisi sebagai makhluk ciptaan menjadi sungguh terasa dan kita jelas menyadari ketergantungan kita pada Tuhan. Pada saat sakit kita sungguh merasakan ketidakpastian, ketakutan, kadang kecemasan menyelimuti pikiran dan hati; kita menemukan diri kita dalam situasi tidak berdaya, karena kesehatan kita tidak bergantung pada kemampuan atau ‘kecemasan’ kita (Mat 6:27).” Ini pengalaman manusiawi tetapi sangat bermakna bagi kita semua.

Kita kembali ke tema homili hari ini: “Betapa aku mengasihi engkau”. Kita sudah mendapat jawaban yang tepat sekali bahwa Tuhan Yesus berkeliling dan berbuat baik. Ia menunjukkan cinta kasih-Nya yang besar kepada kaum papa dan miskin. Dia seakan memandang orang sakit dan berkata: “Lihatlah, betapa Aku mengasihi engkau”. Sikap yang sama ditunjukkan oleh ibu dari anak yang kerasukan roh jahat di Tirus. Ia menunjukkan kepada anaknya: “Lihatlah betapa aku mengasihi engkau”. Tuhan dan orang tua mengasihi dan kita pun harus mengasihi.

Kasih itu berasal dari Tuhan. Sejak penciptaan manusia, Tuhan sudah memberikan meterai untuk saling mengasihi. Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam supaya mereka sepadan. Adam bahkan berkata: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki. Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” (Kej 2:23-24). Cinta yang menyatukan dan menguduskan membuat manusia saling menghargai satu sama lain. Para suami dan istri saling mengasihi dan mereka menjadi satu daging. Para orang tua mengasihi anak-anaknya karena anak-anak adalah darah daging orang tuanya sendiri. Cinta sejati itu luar biasa!

P. John Laba, SDB