Homili 12 Februari 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-V
Kej. 3:1-8
Mzm. 32:1-2,5,6,7
Mrk. 7:31-37

Semuanya baik adanya

Ada seorang pemuda yang membagi pengalaman rohaninya. Ia mengaku pernah belajar di sebuah Kampus, di mana dia dan beberapa teman adalah mahasiswa dari agama dan etnis yang berbeda. Banyak tantangan yang mereka alami dari pergaulan dan juga nilai-nilai yang mereka terima sebagai hasil studinya. Dengan penuh ketekunan ia berhasil menyelesaikan studi tepat waktu dan kini mempekerjakan beberapa teman kuliah dari suku dan agama mayoritas di kampusnya zaman doeloe. Setelah beberapa tahun ia perlahan-lahan menyadari bahwa peengalaman masa lalu adalah guru kehidupan. Dengan berbuat baik maka perbuatan baik itu kembali kepadanya dan sekarang dia terus berbuat baik. Mengapa harus berbuat baik? Dia mengatakan alasannya, yakni karena Tuhan sendiri menjadikan segala sesuatu baik dan indah adanya. Saya senang mendengar sharingnya ini karena dari usia yang masih muda ia sudah memiliki kekuatan dalam berpikir positif.

Tuhan selalu menjadikan segala sesuatu baik adanya dan indah pada waktunya. Semua ini dilakukan secara sempurna oleh Tuhan Yesus. Penginjil Markus mengisahkan bagaimana Tuhan Yesus dan para murid melakukan perjalanan dari Galilea ke Tirus sekitar 63 Km. Tirus adalah sebuah tempat di luar komunitas Yahudi. Bagi orang Yahudi, tak ada keselamatan bagi mereka. Namun Tuhan Yesus mencapai kota ini dan melakukan mukjizat penyembuhan seorang anak dari perempuan Yunani berkebangsaan Siro Fenisia. Dari Tirus, Tuhan Yesus dasn rombongannya melanjutkan perjalanan 40 Km ke kota Sidon yang juga terletak di pinggir laut tengah. Dari Sidon mereka melewati daerah pegunungan hingga tiba di daerah dekapolis di wilayah Galilea. Perjalanan sejauh 100-140 Km. Ini tentu sangat melelahkan Yesus dan para murid-Nya. Namun Ia melakukan semua ini dengan penuh kasih karena untuk itulah Dia diutus Bapak e dunia.

Ketika mereka tiba di daerah Dekapolis, orang membawa kepada Yesus seorang yang tuli dan gagap. Kita bisa membayangkan bahwa orang ini sangat menderita dan mengalami penderitaan akibat dibully. Berbagai kekerasan verbal dan kekerasan fisik mungkin dialaminya dari orang-orang dekatnya juga. Tuhan Yesus seakan melakukan sakramen inisiasi kepada orang yang gagap dan tuli ini. Penginjil Markus bersaksi: “Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.” (Mrk 7:33-35). Ini sebuah tanda yang membuat orang-orang takjub dan tercengang kepada Yesus dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” (Mrk 7:37). Meskipun Yesus sendiri melarang mereka namun saya yakin bahwa nama Yesus semakin dikenal di mana-mana karena keberanian orang-orang yang mengalami kesembuhan. Dia menyelamatkan semua orang.

Kisah Injil ini sangat kaya maknanya bagi kita semua. Apa yang saya maksudkan dengan kaya maknanya?

Pertama, Kita memandang Yesus yang selalu berkeliling dn berbuat baik. Ia melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk berbuat baik. Berbagai Tindakan penyembuhan merupakan tanda-tanda keselamatan universal atau bagi semua orang. Misalnya anak dari perempuan Yunani di Tirus dan orang yang gagap dan tuli di daerah Dekapolis. Perbuatan baik itu tidak mengenal kelelahan sebab yang dicari bukan keharuman nama melainkan keselamaan jiwa-jiwa.

Kedua, Pihak keluarga selalu menjadi pontefice atau jembatan keselamatan. Kita mengingat sang ibu di Tirus dan keluarga orang gagap dan tuli. Mereka begitu terbuka kepada Yesus dan berharap supaya Yesus menyembuhkan. Yesus melakukannya dengan sempurna dan keluarga menjadi bahagia. Tuhan juga menjadikan kita sebagai jembatan keselamatan bagi orang lain.

Ketiga, Tuhan memberikan sebuah model inisiasi Kristen dengan merabah lidah orang gagap dan berkata Efata artinya terbukalah. Dengan demikian Tuhan Yesus mau menekankan satu sikap apostolik yang harus kita lakukan dalam hidup ini yakni mendengar sabda dengan baik dan melakukannya dalam hidup. Kita juga harus berani untuk bersaksi dengan mewartakan Injil dalam kata dan tidakan nyata. Kita butuh Yesus untuk menyembuhkan telingan dan melepaskan ikatan dalam lidah kita karena telinga kita normal tetapi lebih tuli dari orang tuli terhadap Sabda Tuhan. Kita bermental bekicot sehingga tidak berani berbicara dengan Tuhan dan tentang Tuhan dan sabda-Nya.

Keempat, Tantangan bagi kita adalah godaan untuk tidak berani mewartakan Injil dan bersaksi di dunia ini. Manusia pertama mengalami godaan iblis sehingga mereka jatuh karena menyalahgunakan kebebasan yang Tuhan berikan kepada mereka. Pada saat ini kita juga menghadapi banyak godaan. Pohon pengetahuan masih berbuah lebat dan iblis masih ada dan seperti singa yang mengaum hendak memangsa kita. Mari kita mengandalkan Tuhan dan sabda-Nya supaya menang melawan iblis.

Sungguh luar biasa Sabda Tuhan pada hari ini. Kita mengucapkan selamat merayakan Imlek bagi saudari dan saudara yang merayakannya. Tuhan memberkati kita semua dan tetap menjadikan semua indah dan baik adanya.

P. John Laba, SDB