Homili 13 Februari 2021

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-V
Kej 3:9-24
Mzm 90: 2.3-4.5-6.12-13
Mrk 8:1-10

Membangun rasa empati

Banyak orang merasa takut untuk menjadi miskin. Perasaan ini bukan hanya muncul selama masa pandemi ini saja tetapi sebelum masa pandemi, perasaan ini juga sudah menguasai orang-orang tertentu. Namun saya memiliki sebuah pengalaman bersama Kelompok Pelayan Belas Kasih Allah Satu Leopold. Komunitas yang berbasis di Citra Garden dan Lippo Utara ini memiliki sebuah program bernama 5R2I (Lima Roti, Dua Ikan) untuk menolong sesama yang sedang mengalami kesulitan di masa pandemi ini. Gerakan ini memang sangat menggugah banyak orang untuk menyumbang dana. Ada yang memiliki dana tetapi tidak tahu mau menyumbang ke mana dan tepat sasaran, ada yang memberi dari sedikit yang mereka miliki. Dan sampai saat ini masih saja ada orang yang terlibat dalam gerakan 5R2I ini. Saya melihat perasaan empati untuk berbagi ini sebagai suatu hal yang sangat indah dan layak untuk dikembangkan secara terus menerus. Ini adalah pekerjaan Tuhan yang diwariskan kepada kita semua.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang menarik perhatian kita semua. Penginjil Markus mengisahkan bahwa banyak orang mengikuti Yesus hingga para pengikut yang sudah tiga hari bersama-Nya ini mengalami kelaparan. Dalam situasi seperti ini, Tuhan Yesus mengedukasi para murid-Nya untuk berempati atau berbela rasa dengan orang banyak ini. Artinya dari sedikit yang mereka miliki, mereka harus berbagi supaya orang banyak bisa mengalami kepuasan (rasa kenyang). Sedikit yang mereka miliki adalah tujuh buah roti dan beberapa ikan. Secara manusiawi memang tidak akan memuaskan dan mengenyangkan banyak orang, namun bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Para murid belajar dari Yesus karena dari sedikit yang mereka miliki yakni tujuh roti dan beberapa ikan, dapat mengenyangkan sekitar empat ribu orang.

Apa yang Tuhan Yesus lakukan untuk mengedukasi para murid supaya berbagi? Tuhan Yesus berbicara dengan para murid-Nya dan meyakinkan mereka bahwa dari sedikit yang mereka miliki, mereka dapat memuaskan dan mengenangkan banyak orang. Mula-mula Tuhan Yesus menyuruh orang-orang itu duduk di atas tanah. Selanjutnya Tuhan Yesus berekaristi bersama mereka. Ia mengambil ketujuh roti, menucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada para murid untuk dibagikan kepada orang banyak. Tuhan Yesus juga mengucap berkat bagi ikan-ikan dan menyuruh para murid untuk membagikan ikan-ikan itu kepada orang banyak. Orang banyak itu makan roti dan ikan sampai kenyang bahkan masih ada sisa sebanyak tujuh bakul.

Roti dan ikan adalah dua jenis makanan yang memiliki makna simbolis yang istimewa. Roti adalah simbol yang mengarahkan kita akan Tuhan Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai Roti yang turun dari Surga (Yoh 6:51). Yesus bahkan mengatakan: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barag siapa yang percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” (Yoh 6:35). Yesus adalah Roti Ekaristi yang memuaskan kita semua. Dia hadir secara nyata dalam Ekaristi saat ini. Dialah adalah Allah yang tersamar. St. Thomas Aquino menulis Adoro Te Devote. Ada kata-kata yang menggugah hati kita: “Allah yang tersamar, Dikau kusembah, sungguh tersembunyi, roti wujudnya. Sluruh hati hamba tunduk berserah, Ku memandang Dikau, hampa lainnya”. Yesus sungguh-sungguh menunjukkan diri-Nya sebagai makanan yang dipecah-pecah, dibagi-bagi dan semua mendapatkan kepuasan. Kita hendaknya serupa dengan Yesus yang siap untuk dipecah-pecah dan dibagi-bagi untuk kebaikan banyak orang. Jumlah roti adalah tujuh yang menunjukkan kesempurnaan. Maka roti sungguh manjadi santapan yang sempurna. Ikan adalah simbol penting dalam tradisi kekristenan. Dalam masa penganiayaan digunakan simbol ikan yang dalam bahasa Yunan disebut ΙΧΘΥΣ (IKHTHUS). ΙΧΘΥΣ (IKHTHUS) kepanjangannya adalah Iesous KHristos, Theou Uios, Soter, artinya Yesus Kristus, Putera Allah, Sang Penyelamat.

Dalam bacaan pertama kita mendengar kelanjutan kisah Adam dan Hawa. Kedua manusia pertama ini mengalami godaan dari iblis sehingga mereka jatuh ke dalam dosa. Mereka lalu mencari jalan untuk bersembunyi dan strategi untuk membela diri di hadapan Tuhan. Tuhan Allah memanggil dan bertanya kepada manusia: “Di manakah engkau?” Manusia dengan polos mengakui dirinya di hadirat Tuhan bahwa ia merasa takut dan malu karena telanjang di hadapan Tuhan, sehingga dia juga bersembunyi. Tuhan menanyakan mereka apakan mereka memakan buah dari pohon yang dilarang bagi mereka untuk memakannya. Sekarang perhatikan kelemahan manusia di hadapan Tuhan: Adam mengatakan bahwa Hawa yang memberinya buah untuk dimakannya. Hawa mengatakan bahwa ular adalah biangnya sehingga ia memakan buah itu. Tuhan mendengar omongan kedua manusia yang diciptakan-Nya sempurna adanya dan memberikan kutukan kepada ular. Sedangkan kepada manusia, Tuhan menghukum mereka setimpal dengan perbuatannya. Wanita akan merasa kesakitan saat melahirkan, dan laki-laki harus bekerja keras supaya tanah yang dikutuk Tuhan dapat memberi hidup kepadanya.

Dampak dari dosa asal memang sangat jelas. Manusia harus belajar untuk memahami apa artinya penderitaan dann kemalangan dalam hidupnya. Supaya dapat bertahan hidup maka manusia harus bekerja dan hidup dari keringatnya sendiri. Tuhan Yesus saja bekerja sebagai tukang kayu supaya dapat menafkahi ibunya Maria selama tujuhbelas tahun (Yesus dari usia 13-30). Akibat dari dosa adalah penderitaan dan kemalangan hingga kematian menjemput. Mari kita tetap berusaha untuk hidup layak di hadirat Tuhan. Tuhan memberikan kasih dan kebaikan kepada kita. Mari kita juga berusaha supaya semua anak Tuhan juga mengalami kasih dan kebaikan dari Tuhan di masa pandemi ini. Kasih dan kebaikan yang nyata dalam semangat untuk berempati atau berbela rasa.

P. John Laba, SDB