Homili 4 Maret 2021

Hari Kamis, Pekan Prapaskah II
Yer. 17:5-10;
Mzm 1:1-2,3,4,6;
Luk. 16:19-31

Tuhanlah penolong kita

Pada pagi hari ini saya mendapat sebuah pesan singkat dari seorang sahabat berupa kutipan ayat Kitab Suci ini: “Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.” (Yes 41:10). Saya tersenyum karena saya barusan merenung tentang pengalaman kemarin sore saat mengantri untuk divaksin di halaman parkiran bawah tanah Masjid Istiqlal Jakarta 03032021. Saya memaknai pengalaman kemarin sebagai sebuah pengalaman iman di mana semua orang baik yang divaksin dan memvaksin itu mengandalakan pertolongan Tuhan. Banyak kali saya memiliki pengalaman memarkir kendaraan di parkiran bawah tanah. Biasanya sirkulasi udaranya tidak membuat nyaman sehingga ada keinginan untuk cepat menjauh dari tempat parkiran. Tetapi apa yang terjadi kemarin dalam mengantri untuk mendapatkan vaksinasi covid-19 di parkiran bawah tanah masjid Istiqlal Jakarta?

Pada tanggal 03032021 menjadi giliran bagi pemuka agama Katolik dan Hindu untuk mendapatkan vaksin covid-19. Dari pagi para pemuka agama dan umat yang menjadi ‘pemuka agama dadakan’ memenuhi halaman parkiran bawah tanah Masjid Istiqlal. Para petugas kesehatan dan para relawan sudah siap dari pagi-pagi di tempat. Para pemuka agama mengantri selama lebih dari dua jam untuk mendapatkan pelayanan vaksinasi. Suasana panas sehingga menimbulkan keringat, ada yang kelaparan karena datang ke tempat tanpa sarapan, mengantri penuh kegelisahan, ada yang phobia jarum suntik dan masih banyak fenomena yang dialami para pemuka agama yang mengantri itu. Semua tersenyum setelah mendapatkan vaksinasi dan surat pengantar untuk vaksin kedua nanti.

Saya memaknai pengalaman ini sebagai sebuah pengalaman akan pertolongan dari Tuhan. Untuk mendapatkan pertolongan dari Tuhan, orang tidak hanya duduk dan menadahkan tangan saja. Orang harus berusaha, berkurban, menderita untuk mendapatkan pertolongan. Orang mesti “masuklah melalui pintu yang sesak itu” (Mat 7:13). Sebab itu saya memperhatikan para imam, biarawan dan biarawati juga para pelayan Gereja yang mendapat ujian kesabaran untuk mengantri hingga mendapatkan vaksinasi seperti sedang melewati pintu yang sempit. Bagi saya ini adalah pengalaman prapaskah yang benar karena memiliki nilai pengharapan dan pengurbanan. Saya sangat mengagumi para petugas medis dan relawan yang tidak kenal lelah melayani seharian. Ini adalah pelayanan lintas batas, tanpa memandang agama, suku dan ras. Tuhan sungguh bekerja, memberikan pertolongan kepada orang yang menaruh harapannya kepada Tuhan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini membantu kita untuk membuka diri kepada Tuhan yang senantiasa menolong kita di saat suka maupun duka. Nabi Yeremia adalah sosok yang berbuat baik tetapi dizalimi oleh orang-orang dekatnya. Mereka bersekongkol untuk menganiayanya karena perbuatan baik yang sudah dilakukannya. Pada saat yang sulit ini, Yeremia menaruh harapan kepada Tuhan. Dia bahkan berdoa supaya orang-orang yang menzaliminya tidak mendapatkan murka Tuhan. Pada hari ini kita mendapat kekuatan lagi dari nabi Yeremia. Ia berbicara tentang dua kutub kehidupan di hadirat Tuhan yakni kutuk dan berkat.

Kita mendengar Tuhan berkata: “Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada Tuhan!” (Yer 17:15). Dalam hidup setiap hari banyak orang lupa diri sehingga mengandalkan kekuatannya sendiri atau mengandalkan kekuatan manusia dan manusiawi semata. Tuhan Yesus sendiri dalam Injil mengatakan ‘sine me nihil potestis facere’ (Yoh 15:5) artinya terlepas dari Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Itulah sebabnya Tuhan mengatakan kepada orang yang mengandalkan dirinya: “Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.” (Yer 17:16).

Selanjutnya melalui nabi Yeremia, Tuhan juga berkata: “Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan!” (Yer 17:17). Seharusnya hidup seperti inilah yang harus kita jalani. Lebih baik mengandalkan Tuhan dari pada mengandalkan diri sendiri. Kalau kita mengandalkan Tuhan maka berkat adalah milik kita. Dan Tuhan berkata tentang orang yang mengandalkan Tuhan: “Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.” (Yer 17:18).

Hidup kita dalam dua kutub yang berlawanan ini yakni kutuk dan berkat membuka wawasan kita untuk menyikapinya dengan bijak. Apakah kita berhenti dengan hanya mengandalkan diri sendiri atau kita mengetahui kerapuhan manusiawi sehingga lebih mengandalkan Tuhan. Mungkin kita cepat puas ketika kita melakukan suatu pekerjaan dan berhasil dan kita berpikir bahwa ini semua semata-mata karena keringat kita, padahal sebenarnya adalah rahmat Tuhan. Maka masa prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk mengandalkan Tuhan bukan mengandalkan diri kita sendiri. Kita mengubah mindset kita bahwa Tuhan adalah kekuatan dan harapan kita bukan diri kita menjadi pusat segalanya.

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang si Lazarus yang miskin untuk menunjukkan pentingnya kita tetap berharap kepada pertolongan Tuhan untuk mendapatkan keselamatan. Nama Lazarus berasal dari bahasa Ibrani: אלעזר, Elʿāzār, Eleazar, artinya “Allah (telah) menolong”. Sosok Lazarus ini digambarkan sebagai sosok yang benar-benar mengharapkan pertolongan Tuhan: “Badannya penuh dengan borok, berbaring dekat pintu rumah orang kaya itu, dan ingin menghilangkan laparnya dengan apa yang jatuh dari meja orang kaya itu. Malahan anjing-anjing datang dan menjilat boroknya. Kemudian matilah orang miskin itu, lalu dibawa oleh malaikat-malaikat ke pangkuan Abraham.” (Luk 16: 20-22). Sosoknya ini diperlawankan dengan orang kaya yang tidak memperhatikan orang miskin di sekitarnya.

Masa prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk berdoa lebih baik lagi, berpuasa dan berderma atau beramal. Berkaitan dengan beramal, kita berusaha untuk mewujudkan sharing is caring atau berbagi sebagai tanda kepedulian. Di sekitar kita masih banyak Lazarus dan kita hendaknya menjadi serupa dengan Tuhan yang menolong, berbagi sebagai tanda kepeduliaan. Tuhan menolong kita, kita pun bertugas untuk menolong sesama kita.

P. John Laba, SDB