Food For Thought: Semoga amarah-Mu surut

Semoga Amarah-Mu surut!

Apakah anda belum marah hari ini? Mungkin saja anda tertawa dan beranggapan bahwa pertanyaan ini tidak masuk akal. Kalau beranggapan demikian maka anda benar karena hari ini anda sempat marah. Marah itu menandakan bahwa kita masih manusia. Saya pernah membaca buku karya Filsuf Yunani Aristoteles (384 SM – 322 SM) yakni ‘Ethica Nicomachea’. Di dalam buku ini beliau menulis: “Marah itu gampang, tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit.” Kita semua pasti sepakat bahwa perkataan Aristoteles ini sungguh nyata bahwa marah itu gampang tetapi sulit untuk marah dengan cara yang benar. Coba anda yang hari ini sempat marah dan kesal membayangkannya kembali. Anda mungkin sempat merasa paling hebat, paling kuat dan lainnya tetapi nyatanya anda tetaplah diri anda yang sekarang ini.

Thomas Jefferson (1743-1826) adalah presiden Amerika Serikat ketiga dengan tepat memberikan kiat kepada kita untuk mengolah rasa marah kita. Beliau mengatakan begini: “Ketika Anda marah, hitunglah sampai sepuluh sebelum Anda berbicara. Jika Anda sangat marah, hitunglah sampai seratus.” Cobalah anda praktekan ketika anda akan marah lagi dan anda akan melihat hasilnya. Nah, pertanyaan bagi kita adalah apakah untungnya anda marah? Ketika kita marah kita merasa diri sebagai manusia super padahal ketika itu kita adalah manusia paling lemah di antara manusia yang lain. Karena lemah maka kita kurang percaya diri dan mengekspresikan dengan marah, menggertak, mengeluarkan aneka kekerasan verbal yang berakhir pada kekerasan fisik. Cobalah anda mulai menghitung dan anda akan merasa malu karena anda bisa marah.

Santo Paulus sangat tanggap dengan situasi yang sangat manusiawi ini. Ia pernah menasihati jemaat di Efesus begini: “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” (Ef 4:26-27). Kita disindir oleh santo Paulus sampai ke sumsum karena marah kita ternyata melampaui terbenamnya matahari, bahkan bukan hanya hari tetapi berminggu, berbulan dan bertahun-tahun tetap marah. Betapa lemahnya hidup ini.

Nabi Yesaya hari ini sangat menguatkan kita. Di hadapan orang yang menganiayanya, ia memang merasa sedih. Di balik kesedihannya itu ia tetap memiliki keyakinan yang teguh kepada Tuhan. Ia bahkan memohon supaya Tuhan mengampuni dan tidak murka kepada umat Israel. Perhatikan kutipan ini: “Perhatikanlah aku, ya Tuhan, dan dengarkanlah suara pengaduanku! Akan dibalaskah kebaikan dengan kejahatan? Namun mereka telah menggali pelubang untuk aku! Ingatlah bahwa aku telah berdiri di hadapan-Mu, dan telah berbicara membela mereka, supaya amarah-Mu disurutkan dari mereka.” (Yer 18:19-20). Yeremia menderita tetapi tetap memohon supaya amarah Tuhan dapat surut. Tuhan kita Maharahim dan Dia tentu melakukannya.

Berdoalah kepada Tuhan supaya pada masa prapaskah ini anda dan saya menunjukkan kerahiman Allah kepada sesama. Jangan marah, jangan berdendam, sebaliknya kasihilah seorang akan yang lain.

PJ-SDB