Homili 18 Maret 2021

Hari Kamis, Pekan Prapaskah ke-IV
Kel. 32:7-14;
Mzm. 106:19-20,21-22,23;
Yoh. 5:31-47

Mengalami Kerahiman Allah

Pada hari ini saya mengikuti vaksin kedua covid-19 di Rumah Sakit Santo Carolus Jakarta. Ketika berada di ruang tunggu untuk pemeriksaan kesehatan sebelum vaksinasi, saya mengingat kembali dua minggu sebelumnya yakni pada awal bulan Maret yang lalu. Pada saat itu, sebelum vaksin, petugas medis mengukur tekanan darah saya dengan alat tensi digital. Dan hasilnya mencengangkan yakni 188/110. Saya hanya tertawa memandang perawat yang mengukurnya. Perawat bertanya kepada saya: “Mengapa anda tertawa? Tensi anda sangat tinggi.” Saya menjawabnya, “Saya tidak percaya pada alat tensi ini karena biasanya angka tensi saya adalah 120/80.” Perawat itu mengatakan lagi, “Apakah bapa mau divaksin dan siap menerima resikonya?” Saya menjawab, “Ya, saya jamin bahwa tidak ada resiko negatif apapun yang akan saya alami”. Saya lalu menerima vaksin pertama tanpa ada masalah apapun. Dan tadi pagi sambil mengantri saya mengingat kembali pengalaman ini. Sempat ada dialog dengan para perawat tentang tekanan darah saya. Saya mengatakan, “Biasanya tekanan darah saya 120/80”. Setelah selesai mengukurnya perawat itu mengatakan, “Romo hebat ya, tepat sekali perkiraanmu. Tekanan darahmu 120/80 Romo.” Saya tersenyum dan siap untuk divaksin untuk kedua kalinya.

Masing-masing kita memiliki pengalaman-pengalaman tertentu yang sederhana, kelihatan tak bermakna namun sebenarnya memberikan makna yang besar dalam hidup kita. Pengalaman saya ini sederhana tetapi sebenarnya dapat menakutkan sekiranya tadi pagi tensi saya menunjukkan angka yang serupa dengan alat tensi digital dua minggu sebelumnya. Saya sempat berdoa sejenak dalam keheningan untuk memohon kasih dan kebaikan Tuhan supaya semua proses berjalan dengan baik. Dan saya bersyukur karena Tuhan mendengarkan doaku, Tuhan menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepadaku. Cinta kasih dan kebaikan Tuhan dalam hal-hal sederhana yang saya alami pada hari ini.

Tuhan senantiasa membimbing kita melalui sabda-Nya untuk merasakan dan mengalami kerahiman-Nya. Bangsa Israel mengalami kasih dan kerahiman Tuhan Allah ketika dengan penuh kasih Dia memanggil Musa untuk menjadi pemimpin yang membawa keturunan Yakub keluar dari tanah Mesir. Perjalanan selama empat puluh tahun di padang gurun merupakan sebuah ziarah iman. Bangsa Israel mengalami jatuh dan bangun di hadirat Tuhan. Mereka tegar tengkuk, bersungut-sungut dan menyakiti hati Tuhan dan juga Musa yang memimpin mereka. Hal yang sangat menyakitkan adalah mereka menyembah berhala. Ketika itu Musa sedang berada di atas gunung Sinai. Orang-orang Israel menunggu di kaki gunung Sinai. Mereka menyembah berhala dengan membuat anak lembu tuangan, sujud dan menyembahnya sambil berkata: “Hai Israel, inilah Allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir” (Kel 32:8).

Tuhan melihat perbuatan bangsa Israel dan mengatakan bahwa mereka tegar tengkuk. Mereka keras hati di hadirat Tuhan. Tuhan berencana untuk menunjukkan murka dan membinasakan mereka, sedangkan Musa tetap diperhatikan dan Tuhan berjanji untuk menjadikannya sebagai bangsa yang besar. Dalam situasi seperti ini, Musa menunjukkan kewibawaan sebagai seorang pemimpin. Ia tidak mengingat dirinya sendiri, tetapi mengingat bangsanya. Ia. Berusaha untuk melunakkan hati Tuhan dengan perkataan-perkataannya berikut ini: “Mengapakah, Tuhan, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat? Mengapakah orang Mesir akan berkata: Dia membawa mereka keluar dengan maksud menimpakan malapetaka kepada mereka dan membunuh mereka di gunung dan membinasakannya dari muka bumi? Berbaliklah dari murka-Mu yang bernyala-nyala itu dan menyesallah karena malapetaka yang hendak Kaudatangkan kepada umat-Mu. Ingatlah kepada Abraham, Ishak dan Israel, hamba-hamba-Mu itu, sebab kepada mereka Engkau telah bersumpah demi diri-Mu sendiri dengan berfirman kepada mereka: Aku akan membuat keturunanmu sebanyak bintang di langit, dan seluruh negeri yang telah Kujanjikan ini akan Kuberikan kepada keturunanmu, supaya dimilikinya untuk selama-lamanya.” (Kel 32:11-13).

Di sini kita melihat sifat heroik Musa sebagai pemimpin bangsa Israel di hadirat Tuhan. Ia tidak memikirkan dirinya, menjaga kursinya, menjaga keluarga dan keturunannya. Tuhan sendiri berjanji untuk menjadikan keturunan Musa sebagai bangsa yang besar. Ini tentu menggiurkan. Namun Musa memiliki hati nurani. Musa mencintai panggilannya sebagai pemimpin yang harus membawa bangsa Israel ke tanah terjanji, memimpin mereka untuk tetap berada di hadirat Tuhan yang Maharahim. Sikap dan keteladan Musa yang terungkap dalam perkataannya ini sungguh melunakan hati Tuhan. Maka inilah sikap Tuhan: Tuhan menyesal di hadapan Musa karena malapetaka yang dirancangkan-Nya atas umat-Nya. Tuhan Allah kita sungguh luar biasa. Dia murka, Dia ingin melenyapkan bangsa yang tegar tengkuk tetapi jati diri-Nya sebagai kasih dan kerahiman tidak berubah. Dia tetaplah Allah yang maharahim, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya.

Musa adalah sosok di dalam dunia Perjanjian Lama yang menunjukkan wajah kerahiman Allah. Dalam bacaan Injil kita berjumpa dengan Tuhan Yesus yang menunjukkan wajah kerahiman Allah Bapa. Ia datang ke dunia untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa. Pekerjaan-pekerjaan Bapa itulah yang memberi kesaksian tentang jati diri Yesus sebagai Dia yang menghadirkan wajah kerahiman Allah Bapa. Allah Bapa yang Maharahim memberikan kesaksian tentang relasi-Nya dengan Yesus sebagai Anak dalam kasih (Roh Kudus). Yesus berkata: “Tetapi Aku mempunyai suatu kesaksian yang lebih penting dari pada kesaksian Yohanes, yaitu segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku.” (Yoh 5:36).

Yesus adalah Musa baru. Dalam bacaan Injil kita juga mendengar perkataan ini: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku akan mendakwa kamu di hadapan Bapa; yang mendakwa kamu adalah Musa, yaitu Musa, yang kepadanya kamu menaruh pengharapanmu. Sebab jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia telah menulis tentang Aku. Tetapi jikalau kamu tidak percaya akan apa yang ditulisnya, bagaimanakah kamu akan percaya akan apa yang Kukatakan?” (Yoh 5:45-47). Kita diingatkan untuk kembali ke Kitab Suci. Di dalamnya kita mengenal wajah Allah yang Maharahim di dalam diri Yesus Kristus Putera-Nya.

Pada hari ini kita patut bersyukur kepada kerahiman Tuhan. Dia mengasihi kita dan setia mengampuni dosa dan salah kita. Tuhan saja menyesal atas segala murka yang direncanakan-Nya kepada kita, mengapa kita masih sulit untuk menyesali amarah kita kepada sesama? Mari kita terus mewartakan kasih dan kerahiman Allah kepada sesama manusia.

P. John Laba, SDB