Homili Hari Rabu dalam Pekan Suci – 2021

HARI RABU DALAM PEKAN SUCI
Yes. 50:4-9a;
Mzm. 69:8-10,21bcd-22,31,33-34;
Mat. 26:14-25.

Bersama sang Hamba Yahwe

Adalah Pythagoras (580 SM – 504 SM). Beliau dikenal sebagai seorang Filsuf dan ahli matematika berkebangsaan Yunani. Dengan menyebut nama Pytagoras ini, saya langsung mengenang masa-masa lalu saya ketika masih mengajar di sekolah. Banyak kali saya berusaha membangun pemahaman para peserta didik tentang dalil Pythagoras dan manfaatnya dalam kehidupan sehar-hari. Dalil ini mengatakan tentang segitiga siku-siku, di mana dikatakan bahwa panjang alas kuadrat tambah panjang tinggi kuadrat sama dengan panjang sisi miring kuadrat. Artinya, apabila panjang alas segitiga kita sebut a, panjang tingginya adalah b, dan panjang sisi miringnya adalah c, maka menurut dalil Pythagoras dapat dirumuskan seperti ini: a2 + b2 = c2 (a kuadrat di tambah b kuadrat sama dengan c kuadrat). Dalam hidup sehari-hari dalil ini berguna untuk menghitung ketinggian suatu benda atau bisa jadi untuk menentukan posisi sebuah kapal yang berada di atas lautan.

Terlepas dari hal yang bersifat matematis ini, saya mengingat sebuah perkataannya yang bagus yakni: “Derajat kebaikan seorang hamba yang paling tinggi adalah yang hatinya dapat terpuaskan oleh Tuannya Yang Mahabenar sehingga dia tidak membutuhkan perantara antara dirinya dengan Tuannya itu.” Fokus perhatian saya adalah pada kata hamba. Bagi Pythagoras, hati seorang hamba dapat terpuaskan oleh sang Tuan karena kebaikan yang dilakukannya sebagai hamba kepadanya. Di sini ada persekutuan erat antara Tuan dan hambanya. Ada semacam simbiosis mutualisma yang terjadi antara hamba dan tuan atau sebaliknya tuan dan hambanya.

Selama tiga hari terakhir dalam pekan suci ini, semua mat akita tertuju pada sosok sang hamba yang menderita. Hamba yang dilukiskan oleh Yesaya ini memang sangat istimewa. Dia adalah seorang hamba yang mampu menjelaskan hidupnya di hadirat Tuhan Allah. Sosok hamba ini memang hamba yang menderita. Kekhasan sang hamba ini adalah Tuhan memberinya lidah dan pendengaran sebagai seorang murid. Dengan lidah supaya setiap perkataan sang hamba dapat memberi semangat baru kepada orang yang letih lesu. Tuhan juga mempertajam pendengaran sang hamba setiap pagi supaya mendengar seperti seorang murid (Yes 50:4). Hamba ini istimewa karena dia bisa mendengar dengan baik dan menjadi pribadi yang taat. Ketaatannya sempat membuatnya menderita namun dibalik semuanya ini benar-benar menjadikannya sebagai seorang pemenang sejati. Perhatikan perkataan Tuhan melalui nabi Yesaya ini: “Tuhan Allah telah membuka telingaku, dan aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang. Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes 50:5-6).

Hamba ini tetap luar biasa. Ia menderita secara fisik dan verbal. Dengan hanya membayangkannya saja, rasanya kita tidak mampu menjadi serupa dengan sang hamba yang menderita ini. Namun apa yang menjadi kekuatannya? Ia tetap mengandalkan Tuhan. Ia berkata: “Tetapi Tuhan Allah menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yes 50:7). Tuhan Allah sungguh-sunggu menjadi penolong sejati bagi hamba-Nya yang dianiaya dan sangat menderita.

Nubuat Yesaya menjadi sebuah kenyataan. Tuhan Yesus dalam dunia Perjanjian Baru menyempurnakan sosok Hamba Yahwe yang menderita ini. Dia mengalami penganiayaan, punggungnya dipukul, janggutnya dicabut dengan kasar, wajah-Nya diludahi. Dia benar-benar sosok yang sangat menderita. Dalam situasi menderita ini, Dia tidak melupakan Tuhan sebab Tuhan adalah penolong baginya.

Pengalaman Yesaya adalah pengalaman Gereja, pengalaman kita sepanjang masa pandemi ini. Di banyak tempat umat tidak dapat merayakan pekan suci ini karena masih mewabahnya covid-19. Maka misa daring tetap berlanjut. Hidup juga makin susah. Banyak orang yang tidak bisa makan dan minum. Ini adalah penderitaan Gereja masa kini dan kita butuh untuk tetap mengandalkan Tuhan dalam segala hal, sebab ‘sine me nihil potestis facere’ (Yoh 15:5). Belakangan ini para teroris menggunakan kesempatan untuk membunuh diri dan orang lain. Sungguh, pengalaman nabi Yesaya menjadi bagian dari pewartaan kepada orang-orang yang menderita demi membangun kebenaran dan keadilan. Pengalaman nabi Yesaya menjadi pengalaman Yesus dan pengalaman Gereja saat ini.

Tuhan memberkati kita semua,

P. John Laba, SDB