Homili Hari Jumat Agung – Penyembahan Salib 2021

HARI JUMAT AGUNG 2021
Pantang dan Puasa
Yes. 52:13 – 53:12;
Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25;
Ibr. 4:14-16; 5:7-9;
Yoh. 18:1 – 19:42

Berpasrah kepada Allah!

Pada Triduum menjelang perayaan Paskah tahun 2020 yang lalu, Paus Fransiskus menunjukkan sikapnya sebagai gembala bagi seluruh Gereja. Dia menjadi hamba Tuhan yang sangat berempati dengan Gereja yang sedang dilanda pandemi covid-19. Ketika itu beliau berkata: “Selama minggu-minggu ini dipenuhi dengan kecemasan dan penderitaan karena pandemi, kita mungkin bertanya pada diri sendiri pertanyaan tentang Allah: Apa yang Dia lakukan dalam menghadapi rasa sakit kita? Di mana Dia ketika semuanya salah? Mengapa Dia tidak segera menyelesaikan masalah?“ Beliau juga mengatakan bahwa kisah sengsara Yesus, yang menyertai kita di hari-hari suci ini dapat membantu kita untuk maju dengan kepercayaan dan harapan kepada Tuhan. Semua ini merupakan refleksi paus Fransiskus pada tahun 2020 yang lalu namun saya merasa bahwa refleksi ini masih tetap aktual. Hingga saat ini pandemi masih tetap menjadi kekuatan yang menakutkan bagi kita semua. Banyak umat yang tidak dapat mengikuti pekan suci karena ketakutan akan pandemi ini, di samping masalah terorisme yang menghantui kaum minoritas di negeri ini.

Pertanyaan tentang Allah dalam masa pandemi ini sebenarnya dapat dijawab oleh Tuhan sendiri di dalam Kitab nabi Yesaya, di mana dikatakan: “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau. Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku.” (Yes 49:15-16). Banyak kali kita berpikir dan bertanya tentang eksistensi Allah padahal kita sendiri merupakan lukisan indah di telapak tangan-Nya sendiri. Maka Tuhan tidak sedang tidur, tidak tidak sedang melupakan kita. Dia tetap mengasihi dan melindungi kita secara pribadi.

St. Paulus juga memberikan jawaban bagi kita untuk berani menghadapi situasi ini. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menulis: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.” (Rm 8:35-39). Kita lebih dari pemenang maka tidak ada satu apapun yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus.

Apa yang hendak Tuhan katakan kepada kita pada hari Jumat Agung ini? Tuhan melalui nabi Yesaya dalam bacaan pertama membantu mengarahkan kita untuk memandang sosok hamba yang Allah yang menderita. Sosok ini yang nantinya menjadi gambaran Yesus sang Mesias yang mengalami penderitaan hingga penyaliban di Kalvari. Dia memang mengalami penderitaan namun pada akhirnya sepanjang zaman tetap ditinggikan, disanjung, dan dimuliakan.

Nabi Yesaya menggambarkan sosok hamba yang menderita: “Banyak orang akan tertegun melihat dia, begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi?” (Yes 52: 14). Mari kita memandang sosok Yesus dalam jalan salib-Nya. Dia sangat menderita. Santa Brigita mendapat penampakan Tuhan Yesus dan Ia memberitahukan kepadanya jumlah pukulan yang diterima-Nya. Tuhan Yesus berkata kepada orang kudus ini: “Aku menerima 5.480 pukulan pada tubuh-Ku.” Dengan jumlah pukulan seperti ini, belum termasuk beratnya kayu salib yang dipikul-Nya, dalam suasana mendaki ke gunung Kalvari maka Yesus pasti sangat menderita. Sehingga tepat sekali perkataan Tuhan dalam Kitab Nabi Yesaya ini: “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.” (Yes 53:3-5).

Semua penderitaan yang dialami Yesus ini memiliki satu tujuan yakni supaya kasih Bapa sungguh-sungguh nyata yakni keselamatan bagi semua orang berdosa. Keselamatan yang merupakan rencana dan kehendak Bapa menjadi nyata karena ada ketaatan dari Yesus sang Anak. Penulis surat kepada umat Ibrani melihat sosok Yesus sebagai Imam Agung kita. Ia berkata: “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr 4:15). Iman kita kepada Kristus mengubah kiblat hidup kita. Dia seorang Imam Besar yang menunjukkan solidaritas-Nya dengan manusia.

Selanjutnya Penulis surat kepada umat Ibrani mengatakan: “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” (Ibr 5:7-9). Ketaatan Kristus merupakan bukti kepasrahan-Nya kepada Bapa. Kita pun dipanggil dalam jalan yang sama untuk berpasrah diri kepada Bapa. Yesus berpasrah diri kepada Bapa dengan mengatakan: “Eli, Eli, Lama Sabachthani!.” Artinya, “Allahku, ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku?” (Matius 27:46).

Saya menutup homily ini dengan mengutip Phillips Brooks yang berkata: “Kita dapat mengatakan bahwa pada Jumat Agung pertama sore itu telah diselesaikan dengan tindakan besar di mana terang mengalahkan kegelapan dan kebaikan mengalahkan dosa. Itulah keajaiban penyaliban Juru Selamat kita.” Sungguh luar biasa Tuhan Yesus, Penebus kita.

PJ-SDB