Homili 27 Mei 2021

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-VIII
Sir. 42:15-25;
Mzm. 33:2-3,4-5,6-7,8-9;
Mrk. 10:46-52

Masih buta juga!

Saya pernah mendengar sharing pengalaman dari seorang sahabat selama rekoleksi bersama. Ia mengaku mampu secara ekonomis, artinya hidupnya selalu berkecukupan. Dia bisa hidup seperti ini karena ia mengaku selalu tekun dalam bekerja. Sekecil apapun pekerjaan itu, ia tetap melihatnya bernilai dan layak untuk dikerjakannya. Namun satu hal yang selalu mengganjal kehidupan pribadinya adalah ia merasa sangat sulit untuk bersifat sosial. Ia adalah sosok pribadi yang selalu membuat perhitungan di dalam hidupnya. Sebab itu, semangat empati, semangat berbagi belum menjadi habitus baginya. Bahkan kadang ia menutup mata, tidak peka terhadap kebutuhan sesamanya. Situasi ini berubah ketika ia mengikuti rekoleksi-rekoleksi umat. Salah seorang pewarta selalu mengulangi kalimat ini dalam perwartaannya yakni ‘berilah dengan sukacita dan jangan pernah merasa akan jatuh miskin sebab Tuhan sendiri akan menjaga dan melindungi serta mencukupkan kebutuhan hidupmu’. Dia terpesona dengan kata-kata ini. Ini juga menjadi saat pertama, ia berbalik kepada Tuhan. Dia merasa bahwa selama itu ia memiliki mata tetapi masih buta juga. Sekarang dia selalu memberi bantuan kepada sesama dan tidak pernah merasa kekurangan suatu apapun.

Saya selalu mengingat sosok yang membagikan pengalamannya ini. Hingga saat ini dia tetap berbagi dan tidak pernah merasa jatuh miskin. Ia mengatakan kepadaku: “Romo, rejeki memang dari Tuhan dan selalu datang karena Tuhan murah hati kepada saya. Saya juga harus tetap bermurah hati.” Saya membayangkan kalau ada sepuluh, dua puluh, seratus orang yang berprinsip seperti ini maka dunia ini akan berubah menjadi lebih baru, lebih segar karena semua orang menjadi saudara yang saling mempersatukan dan meneguhkan.

Pada hari ini kita mendengar kisah lanjutan tentang Tuhan Yesus di dalam Injil Markus. Kali ini Dia bersama para murid-Nya sedang dalam perjalanan menuju ke Yerusalem dengan melewati kota Yerikho. Sosok Yesus sangat dikenal karena mukjizat-mukjizat yang dilakukannya di Galilea. Maka wajar saja ketika Dia melewati kota Yerikho, terlihat begitu banyak orang yang berbondong-bondong mengikuti-Nya. Di antara mereka yang berbondong-bondong mengikuti-Nya terdapat seorang pemuda yang buta dan sedang mengemis di pinggiran kota Yerikho. Pemuda ini tanpa nama, mungkin karena cacat yang dimilikinya maka dia hanya disapa: “Bartimeus’ artinya anak dari Timeus. Dengan tidak menyebut nama aslinya kiranya penginjil Markus mau mengatakan bahwa si pengemis buta adalah kita yang sebenarnya memiliki mata tetapi nyatanya buta.

Kekhasan dari si pengemis buta, si anak Timeus ini adalah bahwa dia memiliki keberanian untuk memohon kepada Tuhan Yesus. Dia mengetahui diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Sebab itu dia mencari tahu siapakah yang sedang lewat di depannya. Ketika mendengar nama Yesus dari Nazaret maka ia berusaha untuk menyapa-Nya: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:47). Ini adalah sapaan berdasarkan pengenalannya terhadap Yesus. Yesus adalah anak Daud. Ketika mendapatkan halangan dari sesamanya dia mengubah sapaan kepada Yesus: “Anak Daud, kasihanilah aku!” (Mrk 10:48). Ketika Yesus mendengar dan memanggilnya, ia mengubah sapaannya lagi kepada Yesus: “Rabuni” (Mrk 10:51). Buah dari dialog ini adalah kesembuhan dan menjadi pengikut: “Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.” (Mrk 10:52). Mengikuti Yesus sampai tuntas, menderita bersama Yesus dan bahagia bersama Yesus. Lihatlah perkembangan iman dari Anak Bartimeus ini. Meskipun dia lebih mengenal Yesus sebagai sungguh-sungguh manusia namun memiliki perkembangan iman yang sangat signifikan: dari Yesus sebagai anak Daud menjadi Rabuni artinya Guruku. Dari seorang pengemis buta tanpa arti menjadi murid Yesus yang sempurna.

Proses transformasi ini terjadi karena Yesus. Anak Timeus memang berusaha tetapi tokoh utamanya tetap Yesus. Perhatikan sikap Yesus ketika mendekati orang yang sangat membutuhkan pertolongan-Nya: Dia berhenti sejenak, meminta orang untuk memanggil Anak Timeus untuk mendekat, berdialog dari hati ke hati dengan pertanyaan yang langsung menuju ke hatinya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” (Mrk 10:51) dan buah dari dialog adalah kesembuhan: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Mrk 10:52). Yesus luar biasa. Dia mengetahui kebutuhan hidup manusia dan menganugerahkannya secara total. Bagaimana dengan kita ketika behadapan dengan orang-orang yang sangat membutuhkan?

Kisah Injil yang sangat meneguhkan ini membuat kita berefleksi dan bertanya dalam hati kita: “Siapakah yang buta?” Kisah Injil ini menunjukkan bukan hanya satu orang buta tetapi banyak orang buta. Satu orang buta yakni Anak Timeus. Dia buta secara fisik tetapi menyerahkan kebutaannya itu kepada Tuhan Yesus dan Tuhan Yesus menyembuhkannya. Usaha besar dipihaknya merupakan ungkapan iman yang besar kepada Yesus. Dia bertransformasi dari buta secara fisik dan mental menjadi orang normal yang mengikuti Yesus dan mengetahui arah hidup yang jelas. Dia sungguh manusia pendoa!

Ada juga banyak orang buta yang sedang mengikuti Yesus. Mereka memiliki mata tetapi tidak melihat. Mereka adalah ‘banyak orang menegornya supaya ia diam.’ (Mrk 10:48). Mereka memiliki mata tetapi tidak melihat sesamanya yang sangat membutuhkan. Mungkin saja mereka adalah kita yang selalu menghalangi sesama untuk bersatu dengan Tuhan dan suka tertawa di atas penderitaan orang lain. Sebaiknya kita seharusnhya menjadi sesama yang memiliki mata dan meneguhkan sesama yang menderita: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.” (Mrk 10:49). Orang seperti ini masih memiliki mata dan melihat dengan jelas. Kita seharusnya seperti orang-orang ini.

Dalam masa pandemi ini kita menemukan begitu banyak Bartimeus di sekitar kita. Apakah kita cukup peka ketika melihat mereka yang menderita? Apakah kita berani bereksodus untuk menyapa orang-orang yang sudah kehilangan harapan di dalam hidupnya? Kalau saja kita masih punya mata yang normal maka kita akan tergerak hati untuk memberi dan memberi supaya sesama kita juga bahagia seperti yang kita rasakan. Kalau tidak bersikap demikian maka kita ‘masih buta juga’ atau kita masih menderita rabun. Lalu sampai kapan dan kapan lagi kita akan menolong sesama kalau bukan saat ini? Mari kita semakin mengasihi, semakin terlibat dan semakin menjadi berkat bagi para Bartimeus masa kini.

Tuhan memberkati kita semua.

P. John Laba, SDB