Homili 28 Mei 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-VIII
Sir. 44:1,9-13;
Mzm. 149:1-2,3-4,5-6a;
Mrk. 11:11-26

Betapa sulitnya berdoa dan menjadi pendoa!

Pada pagi hari ini saya kembali mengingat sebuah perkataan dari St. Theresia dari Kalkuta: “Buah keheningan adalah doa. Buah doa adalah iman. Buah iman adalah cinta. Buah cinta adalah pelayanan. Buah pelayanan adalah damai.” Saya sangat senang dengan perkataan orang kudus modern ini. Kalau kita mau berdoa dengan baik, butuh suasana yang mendukung seperti keheningan, selain tempat yang memadai untuk berdoa. Dengan berdoa kita bisa bertumbuh dalam iman dan tentu dengan sendirinya akan berdampak pada cinta, palayanan dan damai di dalam hidup kita, kepada Tuhan dan sesama.

Apa itu doa? Di dalam Katekismus Gereja Katolik dikatakan begini: “Doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik.” Dari mana kita berbicara, kalau kita berdoa? Dari ketinggian kesombongan dan kehendak kita ke bawah atau “dari jurang” (Mzm 130:1) hati yang rendah dan penuh sesal? Siapa yang merendahkan diri akan ditinggikan (Bdk. Luk 18:9-14). Kerendahan hati adalah dasar doa, karena “kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa” (Rm 8:26). Supaya mendapat anugerah doa, kita harus bersikap rendah hati: “Di depan Allah, manusia adalah seorang pengemis.” (KGK, 2559). Dari Katekismus Gereja Katolik ini, kita dibantu untuk memahami makna doa yakni kita mengangkat jiwa dan pikiran kita kepada Tuhan. Dengan mengangkat jiwa dan pikiran kepada Tuhan maka sebenarnya dalam situasi apa saja kita dapat berbicara dengan sepenuh hati dan pikiran dengan Tuhan. Satu hal yang penting dalam doa kita adalah sikap rendah hati di hadirat Tuhan. Kita memiliki kebajikan kerendahan hati karena kita sadar diri bahwa kita ini orang berdosa dan butuh menyesal dan bertobat.

Para Bapa Gereja dan orang-orang kudus mengatakan bahwa ketika kita berdoa kita perlu berusaha untuk melewati tingkatan-tingkatan yang penting. Tingkat pertama, kesadaran bahwa kita berdoa ‘kepada’ Tuhan. Dengan perkataan berdoa ‘kepada’ Tuhan, rasanya Tuhan masih begitu jauh maka kalau berdoa masih ‘kepada’-Nya. Pengalaman ini pernah dialami oleh para murid Yesus. Mereka juga berdoa ‘kepada’ Tuhan. Tingkat kedua, berdoa ‘bersama’ Tuhan. Kita percaya kepada Allah yang menyertai kita. Dia bahkan mengutus Yesus Kristus Putera-Nya sebagai Imanuel, Allah beserta kita. Sebab itu kita tidak bisa terus berdoa ‘kepada’ Tuhan. Kita perlu naik tingkat menjadi berdoa ‘bersama’ Tuhan. Para murid Yesus menyadarinya sehingga setelah melihat Yesus berdoa, mereka meminta Yesus: “Tuhan, ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-muridnya.” (Luk 11:1). Yesus menjawab mereka: “Apabila kamu berdoa, katakanlah…” (Luk 11:2). Pada saat itu Yesus bersama para murid-Nya berdoa bersama-sama. Mereka sama-sama menyapa Allah sebagai Bapa. Para murid berdoa bersama Tuhan, sang Imanuel. Tingkat ketiga, Berdoa adalah kasih. Kita tidak berhenti pada tingkat kedua yakni berdoa ‘bersama’ Tuhan. Kita mesti berusaha untuk melebur dan menyatu dengan Tuhan dalam doa. Maka doa adalah ‘kasih’ karena Allah sendiri adalah kasih (1Yoh 4:8.16).

Mari kita mengevaluasi kehidupan doa kita. Kita selalu bangga ketika berdoa bahkan ada yang menyatakan diri dan mengakui dirinya sebagai pendoa. Apakah anda berada pada tingkat pertama di mana anda masih merasa berdoa ‘kepada’ Tuhan? Artinya anda masih merasa Tuhan begitu jauh. Apakah anda sudah meninggalkan tingkat ‘berdoa kepada’ Tuhan menjadi ‘berdoa bersama Tuhan’? Atau anda sudah mencapai tingkat yang paling sempurna yaitu berdoa adalah kasih karena anda begitu menyatu dengan Dia yang adalah kasih. Banyak kali orang boleh mengakui diri sebagai pendoa tetapi nyatanya tetap tertatih-tatih dan hanya bisa berhenti pada tingkat ‘berdoa kepada Tuhan’ saja. Maka kita butuh kebajikan kerendahan hati dan pertobatan supaya kita dapat berdoa’ bersama’ Tuhan atau bahkan berdoa adalah ‘kasih’. Periksalah bathinmu dan katakan sejujurnya kepada Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar bacaan Injil tentang Tuhan Yesus menguduskan bait Allah. Dia melihat bahwa orang-orang pada zaman-Nya menggunakan rumah Tuhan untuk berbisnis meskipun hanya di halaman Bait Allah. Dia bahkan mengatakan: “Rumah-Ku akan disebut rumah doa bagi segala bangsa? Tetapi kamu ini telah menjadikannya sarang penyamun!” (Mrk 11:17; Yes 56:7; Yer  7:11). Tuhan Yesus sedang mengoreksi kita yang sering tidak menguduskan rumah Tuhan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan kita. Mungkin saja kita tidak seperti orang-orang zaman Yesus yang berjualan di halaman Bait Allah tetapi kita menajiskan rumah Tuhan dengan cara yang lain: berpikiran kotor dan berprasangka buruk terhadap sesama umat, berkata kasar kepada sesama umat, berlaku tidak jujur di dalam Gereja. Semua ini masih terjadi di dalam gereja kita. Rumah doa menjadi rumah dosa.

Namun saya lebih tertarik kepada perkataan Tuhan hari ini: “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu. Dan jika kamu berdiri untuk berdoa, ampunilah dahulu sekiranya ada barang sesuatu dalam hatimu terhadap seseorang, supaya juga Bapamu yang di sorga mengampuni kesalahan-kesalahanmu.” (Mrk 11:24-25). Ketika berdoa maka kita perlu beriman. Kita percaya bahwa Tuhan memang ada dan Dia pasti mendengar doa-doa kita. Kita juga berusaha untuk memiliki hati yang bersih, tanpa beban maka butuh keterbukaan untuk mengampuni. Kita tidak bisa berdoa dengan baik kalau kita memiliki hati yang kotor dan masih sulit mengampuni. Kalau mau menjadi pendoa yang hebat, rajinlah mengaku dosa dan hiduplah dalam damai. Kalau belum memenuhi kriteria ini maka jangan sombong untuk mengatakan diri sebagai pendoa.

Betapa sulitnya berdoa dan menjadi pendoa. Ada saja kesombongan rohani, berdoa dengan mengatur Tuhan, tidak menguduskan rumah Tuhan. Lihatlah orang katolik kalau berpakaian ke Gereja atau misa online. Hanya bisa bilang ckckc. Kita tidak sama dengan teman-teman di sebelah yang selalu rapi kalau pergi berdoa. Lalu apakah kita harus tetap seperti ini? Apakah kita masih mau situasi ini: “Sesudah Yesus masuk ke Bait Allah, mulailah Ia mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya, dan Ia tidak memperbolehkan orang membawa barang-barang melintasi halaman Bait Allah.” (Mrk 11:15-16). Mungkinkah kita juga seperti pohon ara yang tidak berbuah. Tuhan kasihanilah kami orang berdosa ini.

P. John Laba, SDB