Homili 7 Juni 2021

Hari Senin, Pekan Biasa ke-X
2Kor. 1: 1-7
Mzm. 34:2-3,4-5,6-7,8-9
Mat. 5:1-12

Menjadi kudus, siapa takut?

Kita mengenal dua orang kudus, yang sebelumnya berstatus sebagai guru dan murid. Merekalah St. Yohanes Bosco (biasa dipanggil Don Bosco) dan muridnya St. Dominikus Savio. Dalam pertemuan pertama mereka sekitar bulan Oktober 1854, terjadi sebuah dialog yang membuka wawasan kita semua tentang Hasrat untuk menjadi kudus. Ketika itu Dominikus bertanya kepada Don Bosco: “Bagaimana pendapat Pater tentang saya?” “Menurut saya, engkau adalah bahan yang bagus,” jawab Don Bosco dengan senyum lebar. “Baiklah, Pater adalah seorang tukang jahit yang hebat, jika bahannya memang bagus, ambillah saya dan jadikan saya jubah yang indah bagi Tuhan!” Demikianlah, perjumpaan istimewa ini terjadi ketika Dominikus masih berusia dua belas tahun, dan diterima sebagai seorang murid di Oratorio St. Fransiskus dari Sales di Turin. Tanda-tanda kekudusan Dominikus sebenarnya sudah ada jauh sebelumnya. Pada saat menerima komuni pertama, Dominikus berusia sekitar 8 tahun. Ia membuat janji-janji yang luar biasa di hadirat Tuhan: Pertama, Saya akan menerima Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi sesering mungkin. Kedua, Saya akan berusaha memberikan hari Minggu serta hari-hari libur sepenuhnya untuk Tuhan. Ketiga, Sahabat-sahabat terbaikku ialah Yesus dan Maria. Keempat, lebih baik mati daripada berbuat dosa. Pilihan untuk menjadi kudus sejak usia dini membuat Dominikus selalu membagi sukacita, dan melayani Tuhan dengan sukacita.

Pada Hari Senin Pekan Biasa ke-X ini kita mulai membaca Injil Matius. Sebelumnya kita membaca Injil Markus. Fokus bacaan Injil hari ini adalah tentang Sabda Bahagia. Mungkin kita sudah sering membaca Sabda Bahagia dan merenungkannya. Namun apakah Sabda Bahagia itu? Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa Yesus sendiri adalah gambaran inti dari Sabda Bahagia ini dan Dia sendirilah yang menggenapinya secara sempurna (KGK 459). Di tempat lain Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: “Sabda bahagia mencerminkan wajah Yesus Kristus dan cinta kasih-Nya. Mereka menunjukkan panggilan umat beriman, diikutsertakan di dalam sengsara dan kebangkitan-Nya; mereka menampilkan perbuatan dan sikap yang mewarnai kehidupan Kristen; mereka merupakan janji-janji yang tidak disangka-sangka, yang meneguhkan harapan di dalam kesulitan; mereka menyatakan berkat dan ganjaran, yang murid-murid sudah miliki secara rahasia; mereka sudah dinyatakan dalam kehidupan Perawan Maria dan semua orang kudus.” (KGK 1717). Kalau mau mengenal Yesus lebih dalam maka silakan membaca dan merenungkan Sabda Bahagia. Sabda bahagia juga membuka pintu harapan bagi kita semua untuk menjadi kudus.

Saya coba memfokuskan perhatian kita pada satu Sabda Bahagia ini: “Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8). Tuhan Yesus sedang menyapa setiap pribadi yang datang untuk mendengar pembicaraan dan pengajaran-Nya. Ia menyapa mereka yang suci hatinya karena mereka dapat melihat Tuhan sendiri. Orang yang suci hati atau orang yang murni hati itu memiliki hati yang transparan, tembus pandang di hadapan Tuhan. Tidak ada kepalsuan baginya di hadapan Tuhan. Orang-orang yang hidup bersama dengannya dapat merasakan dan mengagumi kekudusannya. Contoh orang yang suci hatinya adalah Bunda Maria. Dia dikandung tanpa noda dosa, memiliki hati yang tembus pandang hanya bagi Tuhan. Santo Yusuf memiliki hati yang suci sehingga dapat menerima Maria dan Yesus sebagai bagian dari hidupnya. Gereja memandang St. Yusuf sebagai Patris Corde artinya memiliki hati seorang Bapa yang kudus. Orang-orang kudus lainnya juga memiliki keadaan yang sama di hadirat Tuhan.

Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Gaudete et Exultate, memberikan refleksi tentang Sabda bahagia yang ke-8 ini. Ia menulis: “Sabda bahagia ini berbicara tentang mereka yang memiliki hati sederhana, murni dan bersih, tanpa noda, tentang hati yang sanggup mengasihi, tanpa membiarkan apa pun dalam hidupnya yang bisa mengancam, melemahkan ataupun membahayakan kasih tersebut.” (GE, 83). Apakah kita masuk dalam kategori ini? Dalam hal ini keadaan hati kita tanpa noda dan cela di hadirat Tuhan. Mari merenung dan memperbaiki diri sendiri.

Sabda Bahagia yang ke-8 ini erat terkait dengan panggilan untuk menjadi kudus. Anda dan saya dipanggil untuk menjadi kudus sesuai rencana Tuhan Allah yang hakikat-Nya adalah kudus. Sebab itu jangan takut untuk menjadi kudus. Paus Fransiskus selalu mengajarkan bahwa kita semua memiliki panggilan untuk menjadi kudus. Kita kembali ke Seruan Apostoliknya Gaudete et Exultate. Beliau mengatakan bahwa kekudusan berarti kita menjadi diri kita sendiri. Maka mereka yang memiliki hati yang tembus pandang akan melakukan pekerjaan-pekerjaan mereka dengan penuh cinta. Paus juga mengatakan bahwa kehidupan sehari-hari dan semua aktivitas hidup kita dapat mengantar kita kepada kekudusan. Sedapat mungkin kita berusaha untuk menghindari kecenderungan gnostisisme dan pelagianisme. Kita bersikap baik dalam hidup setiap hari dan kedelapan Sabda Bahagia ini merupakan jalan untuk mencapai kekudusan.

Selain bacaan Injil yang sangat meneguhkan supaya kita menyadari pangggilan kita sebagai orang kudus, mulai hari ini kita mambaca surat kedua St. Paulus kepada jemaat di Korintus. Paulus mengakui dirinya bahwa karena kehendak Allah ia menjadi rasul Kristus Yesus. Ia juga melibatkan Timotius, rekan seperjalanannya. Paulus memberikan nuansa optimisme yang sangat mendukung untuk menjadi kudus. Harapan Paulus adalah: “Kasih karunia dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai kamu.” (2Kor 1:2). Jalan kekudusan ditunjukkan oleh Paulus ketika berkata: “Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan, yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.” (2Kor 1:3-4). Kekudusan bukan kemauan kita tetapi kehendak Tuhan, kasih karunia yang diberikan Tuhan kepada kita.

Saya menutup renungan ini dengan kembali mengutip Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exultate: “Ketika hati mengasihi Allah dan sesama (lih Mat 22:36-40), ketika ini adalah niatnya yang tulus dan bukan hanya kata-kata hampa, maka itulah hati yang suci dan dapat melihat Allah. Dalam kidung kasihnya, Santo Paulus mengatakan bahwa “sekarang kita melihat dalam cermin, suatu gambaran yang samar-samar” (1Kor 13:12), namun sejauh kebenaran dan kasih benar-benar menguasai, kita akan sanggup melihat “dari muka ke muka”. Yesus menjanjikan bahwa mereka yang suci hatinya “akan melihat Allah”. (GE, 86)

Doa: Tuhan, kami bersyukur kepada-Mu karena hari ini Engkau membuka telinga kami untuk mendengar Sabda Bahagia. Bantulah kami untuk memiliki hati yang tembus pandang sehingga boleh melihat Engkau. Berilah kami kemampuan untuk mencintai seperti Engkau sendiri. Amen.

PJ-SDB