Homili 24 September 2021

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXV
Hag. 2:1b-10;
Mzm. 43:1,2,3,4;
Luk. 9:19-22

Lebih fokus pada Jati Diri

Setiap orang memiliki jati diri. Ada yang konon sedang mencari jati dirinya, ada yang sudah menemukan dan menghayati jati dirinya. Namun ada juga yang belum mengerti makna dari jati dirinya sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jati diri merupakan ciri-ciri-ciri, gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda, bisa pula berarti identitas, inti, jiwa, semangat, dan daya gerak dari dalam atau spiritualitas. Makna jati diri menjadi sebuah deskripsi yang jelas tentang diri pribadi setiap orang: ciri khas, identitas semangat dari pribadi seseorang yang dirasakannya sendiri dan diamati oleh orang lain. Orang yang fokus pada jati dirinya mampu mengetahui siapakah dirinya sendiri, dia menyadari segala kelebihan dan kekurangannya, orang lain mengobesrvasi dan menyatakan pendapat tentang dirinya, kemampuan pribadi untuk berefleksi tentang dirinya.

Pada hari ini kita berjumpa dengan Yesus dari Injil. Penginjil Lukas menceritakan bahwa Tuhan Yesus mengutus para murid-Nya untuk pergi berdua-dua untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus. Tuhan Yesus sendiri menyertai mereka dan tentu saja mereka sukses menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan Yesus: memberitakan Injil dan menyembuhkan orang-orang sakit (Luk 9: 6). Selanjutnya dikisahkan bahwa Yesus sedang berdoa seorang diri dan para murid datang kepada-Nya. Ia memandang mereka dengan penuh kasih dan bertanya kepada mereka tentang ‘Jati diri-Nya’ di mata orang-orang setelah menerima penginjilan, penyembuhan dan kenyang karena mukjizat penggandaan roti dan ikan. Pertanyaan Yesus: “Kata orang banyak, siapakan Aku ini?” Tentu saja karena pertanyaan tentang ‘kata orang’ maka jawabannya juga mudah bagi para murid Yesus. Inilah jawaban cepat dari mereka: “Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan, bahwa seorang dari nabi-nabi dahulu telah bangkit.” (Luk 9:19).

Mengapa orang mengingat Yohanes Pembaptis? Banyak yang mengingat Yohanes Pembaptis karena Dialah yang tampil sederhana, menyerukan tobat dengen aksi membaptis di sungai Yordan demi menyiapkan kedatangan sang Mesias. Dialah nabi terakhir yang dibunuh oleh Herodes. Nama Elia dikenang karena orang-orang Yahudi percaya bahwa Elia akan datang mendahului sang Mesias. Di samping itu sosok Elia memang manusia luar biasa yang diangkat Tuhan ke surga. Ada yang mengenang nabi-nabi di dalam Kitab Suci yang sudah meninggal dunia dan bangkit kembali. Banyak pendapat yang disampaikan untuk menyatakan jati diri Yesus. Tentu saja semua yang dikatakan orang tentang jati diri Yesus ini hanya deskripsi tertentu yang tidak sesuai dengan Yesus yang sebenarnya. Yesus adalah Anak Allah bukan manusia biasa seperti para nabi.

Pertanyaan tentang jati diri Yesus semakin sulit ketika Yesus bertanya: “Menurut kamu, siapakah Aku?” Tentu saja pertanyaan ini sulit karena setiap pribadi dituntut untuk menjawabnya dengan tulus dan jujur. Petrus dengan kuasa Tuhan menjawab: “Mesias dari Allah.” Bagi Petrus, Yesus adalah Mesias, Kristus, Dia yang diurapi dari Allah. Saya merasa yakin bawah pada saat itu mata dan telinga semua murid terbuka karena mendnegar sesuatu yang unik. Yesus selama itu dikenal sebagai Rabi, pembuat mukjizat, kini Petrus mengakui sebagai Mesias dari Allah. Mendengar pengakuan Petrus ini, Yesus tidak menepuk dada dan mengatakan, “Gue gitu lho!” Dia malah melarang para murid-Nya untuk tidak mengatakan secara terang-terangan bahwa Dia adalah Mesias dari Allah. Mengapa demikian? Yesus menghendaki supaya semua orang mengakui-Nya ketika menyaksikan Paskah dan kemuliaan-Nya. Itu sebabnya Ia tidak hanya melarang para murid, tetapi ia juga berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Luk 9:22).

Bacaan Injil hari ini membuka wawasan kita untuk melihat sosok Yesus, jati diri Yesus sebagai Mesias dari Allah. Sosok sebagai Mesias adalah gambaran kasih Allah yang begitu sempurna bagi dunia. Yesus sendiri berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17). Jati diri Yesus yang sempurna adalah ‘Kasih’ (1Yoh 4:8.16). Tugas kita sebagai Gereja saat ini adalah mewartakan jati diri Yesus sebagai Kasih yang sempurna kepada semua makhluk. Dialah satu-satunya Mesias dari Allah. Dialah Mesias yang menderita bukan Mesias yang jaya. Dia menyelamatkan kita melalui penderitaan-Nya hingga wafat di kayu salib.

P. John Laba, SDB