Homili 5 Januari – Injil untuk Daily Fresh Juice (DFJ)

Hari Rabu, sesudah Penampakan Tuhan
1Yoh. 4:11-18
Mzm. 72:1-2,10-11,12-13
Mrk. 6:45-52

Lectio:

“Sesudah memberi makan lima ribu orang, Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan berangkat lebih dulu ke seberang, ke Betsaida, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang. Setelah Ia berpisah dari mereka, Ia pergi ke bukit untuk berdoa. Ketika hari sudah malam perahu itu sudah di tengah danau, sedang Yesus tinggal sendirian di darat. Ketika Ia melihat betapa payahnya mereka mendayung karena angin sakal, maka kira-kira jam tiga malam Ia datang kepada mereka berjalan di atas air dan Ia hendak melewati mereka. Ketika mereka melihat Dia berjalan di atas air, mereka mengira bahwa Ia adalah hantu, lalu mereka berteriak-teriak, sebab mereka semua melihat Dia dan merekapun sangat terkejut. Tetapi segera Ia berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan anginpun redalah. Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil.”
Demikianlah Sabda Tuhan
Terpujilah Kristus

Renungan:

Duh… hatinya tetap degil juga!

Saya mengucapkan selamat memasuki tahun 2022, ini adalah hari kelima dalam bulan Januari. Rasanya waktu yang Tuhan berikan kepada kita terus mengalir begitu cepat maka kita perlu berusaha untuk maju terus dalam menjalani hidup secara jasmani dan rohani. Kita semua tentu tidak bisa menutup mata dengan berbagai kesulitan hidup sebagai dampak lanjut dari pandemi C-19 yang masih berkepanjangan. Omicron menghantui kita semua saat ini. Ada saja rasa takut, gelisah mengahantui seluruh hidup kita. Namun saya meminjam satu perkataan penting dari Santo Paulus yang mengatakan bahwa kita semua ‘lebih dari pemenang’ (Rom 8:37). Dengan demikian kita jangan takut karena Tuhan tetap menyertai kita semua.

Pada hari ini kita membaca dan mendengar sebuah kisah Injil yang indah. Tuhan Yesus berekaristi, peduli dengan orang banyak yang berbondong-bondong datang kepada-Nya. Dengan kuasa-Nya sebagai Anak Allah, Ia menggandakan roti dan ikan untuk memberi makan kepada lima ribu orang. Tuhan Yesus mengajar para murid sebuah semangat empati yang mendalam, dari sedikit yang mereka miliki tetapi dapat memuaskan begitu banyak orang. Maka tepatlah perkataan ini: ‘indahnya berbagi’. Setelah peristiwa yang menakjubkan banyak orang di Galilea ini, Yesus segera memerintahkan para murid-Nya untuk naik ke perahu dan berangkat ke seberang Betsaida. Tuhan Yesus tetap merendahkan diri di hadirat Bapa dengan bersyukur karena telah melakukan mukjizat yang membawa begitu banyak orang untuk memuliakan-Nya di surga. Rasa syukur ini dimiliki Yesus dan sekaligus mengajar kita untuk memiliki hati yang penuh syukur.

Para murid melakukan perjalanan di danau Galilea sendirian dan melewati kegelapan. Mereka mungkin masih bercerita dan berbangga karena mukjizat yang terjadi dan bahwa mereka juga ikut menyaksikan dan terlibat untuk berbagi bersama Yesus. Perjalanan malam di atas danau memang menakutkan. Para murid Yesus dan orang Yahudi kebanyakan juga masih percaya bahwa di dalam air ada ‘penunggu’ atau ‘pemilik kekuatan gaib’. Maka ketika mereka kesulitan dalam berlayar karena angin sakal tentu mereka sangat ketakutan. Lebih lagi ketika melihat Yesus berjalan di atas air pada jam tiga malam. Dalam keyakinan mereka, waktu seperti itu adalah waktunya hantu-hantu menunjukkan dirinya kepada manusia. Maka tidak heran ketika mereka juga merasa takut melihat Yesus berjalan di atas air dan berteriak seraya mengira bahwa Yesus adalah hantu. Tuhan Yesus menenangkan mereka saat masuk ke dalam perahu dan angin sakal pun hilang. Tuhan Yesus mengubah mindset mereka dengan kasih dan kuasa-Nya: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” Sikap para murid saat itu adalah sangat tercengang, dan bingung di hadapan Yesus. Mereka tidak mengerti dan hati mereka tetap degil.

Mari kita membayangkan peristiwa yang indah ini. Seandainya kita berada dalam perahu yang sama dengan para murid, apa yang kiranya kita lakukan? Pasti ada yang berteriak ketakutan, ada yang berkali-kali membuat tanda salib sambil menyebut nama Yesus dan Bunda Maria, dan ada juga yang mungkin langsung mengambil rosario dan berdoa rosario. Pokoknya, kita banget saat mengalami angin sakal dalam hidup ini.

Salah satu alasan mengapa kita bersikap demikian adalah karena hati kita tetap degil. Kata degil dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti tidak mau menuruti nasihat orang; keras kepala; kepala batu. Orang yang berhati degil itu tidak peka tergadap situasi di dalam hidupnya. Kita sudah memasuki tahun 2022 tetapi hati kita tetap degil juga. Hmm malu sekali di hadirat Tuhan. Seharusnya kita menjadi bijak dalam hidup untuk terbuka dan berempati seperti Yesus kepada sesama yang lain.

Kisah para murid dan Tuhan Yesus di dalam Injil biasanya berakhir positif tetapi pada hari ini kisahnya berakhir negatif: “Mereka sangat tercengang dan bingung, sebab sesudah peristiwa roti itu mereka belum juga mengerti, dan hati mereka tetap degil.” Saya memfokuskan perhatian kita pada perkataan ‘hati mereka tetap degil’. Dalam Bahasa Yunani kata degil atau keras adalah πεπωρωμένη (pepōrōmenē) yang berarti hati yang seolah ditutupi oleh suatu yang tebal, mengeras sehingga membuat tidak insaf. Di sini, hati para murid tetap degil, keras padahal mereka sudah melihat jelas-jelas mukjizat penggandaan roti yang terjadi dan Yesus barusan berjalan di atas air. Hanya Yesus yang dapat melakukan tanda heran seperti ini. Nah, para murid adalah kita. Kita sudah memasuki tahun 2022 tetapi hati kita masih beku, kaku, tertutup kepada Tuhan. Kita masih merana karena beban hidup dan ‘atas nama’ pandemi. Kita masih sulit untuk move on.

Mari kita berdoa supaya Tuhan mengubah hati kita yang degil ini. Semoga Tuhan memberi kita hati yang baru, yang tahu bersyukur, penuh rasa kagum atas kasih dan kebaikan-Nya. Semoga hati kita terbuka dan membiarkan Tuhan terlibat dalam hidup kita.

P. John Laba, SDB