Homili 13 Januari 2022

Hari Kamis, Pekan Biasa I
1Sam. 4:1-11
Mzm. 44:10-11,14-15,24-25
Mrk. 1:40-45

Bukan demi popularitas

Masa pandemi memanggil kita semua untuk bermurah hati kepada semua orang. Secara alamiah, orang pasti tergerak untuk menolong siapa saja yang sedang mengalami musibah, lintas batas yakni suku, ras, agama dan budaya. Satu kata yang selalu diucapkan adalah bantuan kemanusiaan karena semua orang merasa sama, senasib sebagai manusia. Ini adalah sebuah sikap yang positif dalam hidup berdampingan sebagai sesama manusia. Dalam membantu sesama, prinsip transparansi selalu menjadi sebuah prioritas utama. Soal uang dan bantuan lainnya memang sensitif sehingga sekecil apapun bantuan itu perlu dilaporkan dengan asas keterbukaan atau transparansi. Maka dibutuhkan laporan yang jelas dan lebih akurat lagi disertai foto-foto sehingga kepercayaan para penderma itu tetap terjaga. Prinsip ini sangat baik karena menyangkut tanggung jawab moral dalam hidup bersama.

Kita semua sepakat untuk memberikan laporan yang jelas dan transparan. Nilai kejujuran, keadilan terkandung dalam laporan dan dapat mempererat tali kepercayaan penerima dan pemberi bantuan. Namun hal manusiawi yang selalu muncul adalah sebuah kebiasaan untuk menghitung-hitung kebaikan yang kita berikan kepada sesama yang sangat membutuhkan. Pikirkanlah orang-orang yang dengan tangan kanan memberi bantuan dan tangan kiri memegang tongsis untuk memotret, memposting di media sosial dan menghitung kebaikan-kebaikannya sendiri. Atau orang lain menghitung-hitung kebaikan sesamanya dan mengagungkannya. Tentu saja ini juga hal yang baik tetapi ketika keadaran ini ditutup oleh kesombongan dan keinginan untuk membangun popularitas maka bantuan kemanusiaann itu tidak bermakna apa-apa. Kita hanyalah penerus bantuan Tuhan, karena segalanya adalah milik Tuhan. Nama Tuhan harus semakin populer dan dimuliakan bukan nama kita sendiri, nama penderma yang dimuliakan dan dipopulerkan. Semua bantuan kemanusiaan demi popularitas akan hilang maknanya.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang indah. Ada seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus. Sambil berlutut ia memohon supaya Tuhan Yesus menyembuhkan-Nya. Orang kusta ini memang beda dengan kebanyakan orang kusta yang memilih menyendiri karena dianggap najis oleh orang-orang pada masa itu. Reaksi Yesus kepada orang kusta yang tahu diri dan berani merendahkan diri di hadirat-Nya adalah Dia tergerak hati oleh belas kasihan untuk menolongnya. Tuhan Yesus tidak seperti para imam zaman itu yang melihat orang kusta sebagai orang najis. Dia berbelas kasih dengan cara yang radikal. Sebab itu sebagai wujud nyata belas kasih-Nya, Ia mengulurkan tangan, menjamah, berbicara dan menyembuhkan. Betapa indahnya kisah penyembuhan ini. Orang kusta adalah simbol manusia berdosa yang dibersihkan atau dikuduskan Tuhan. Ia datang kepada Yesus untuk memohon kesembuhan sebagai tanda pertobatannya.

Pertobatan orang berdosa adalah hal yang jauh lebih mulia daripada popularitas hidup semata. Maka Tuhan Yesus langsung mengatakan kepada orang kusta yang sembuh ini: “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapapun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.” (Mrk 1:44). Perkataan Tuhan Yesus ini sangat bermakna. Tuhan Yesus tidak membutuhkan popularitas, sanjungan yang sifatnya manusiawi semata. Dialah yang menunjukkan wajah kerahiman Allah dan sepatutnya disembah dan dimuliakan. Perintah Yesus kepada orang kusta yang sembuh ini adalah supaya dia dapat diterima kembali di dalam komunitas dan ikut memuliakan kasih dan kebaikan Tuhan. Para imam dan sesama umat ikut melihat dia sebagai orang yang tahir dan dengan sendirinya kiblat hidup mereka terarah kepada Tuhan.

Sayang sekali karena orang kusta yang sudah menjadi tahir ini lebih mengutamakan yang tidak diingikan Yesus yakni popularitas sehingga menghalangi Yesus untuk mewartakan Injil. Kita membaca: “Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.” (Mrk 1:45). Sekali lagi, Tuhan Yesus tidak bermaksud untuk menjadi populer. Akibat kebahagiaan orang kusta yang sembuh dan tidak dapat mengontrol diri maka Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi. Ia menyendiri di padang gurun.

Hal lain yang penting adalah kesombongan rohani yang selalu menguasai hidup kita. Orang yang mengejar popularitas bisa menunjukkan kesombongan rohaninya secara samar-samar dan terang-terangan. Sebagai contoh pertikaian antara orang-orang Ibrani yang diceritakan dalam bacaan pertama. Orang-orang Ibrani yang mengandalkan Tabut Perjanjian akhirnya tetap kalah dari kaum Filistin karena mereka mencari popularitas belaka. Mereka berkata: “Mengapa Tuhan membuat kita terpukul kalah oleh orang Filistin pada hari ini? Marilah kita mengambil dari Silo tabut perjanjian Tuhan, supaya Ia datang ke tengah-tengah kita dan melepaskan kita dari tangan musuh kita.” (1Sam 4:3). Orang yang memiliki kesombongan rohani akan mudah menjauh dari Tuhan bila doanya tidak dikabulkan atau mengalami pergumulan hidup. Ia akan mudah menghitung-hitung kebaikannya di hadirat Tuhan dan sesamanya.

Hal yang terpenting dalam hidup ini bukan soal popularitas atau ketenaran. Bukanlah ‘jempol’ yang terpenting dalam hidup ini. Namun hal yang terpenting adalah pertobatan radikal untuk hidup layak di hadirat Tuhan. Hati yang bersih, hati yang murni yang membuat orang dapat melihat Allah jauh lebih unggul daripada popularitas manusiawi semata. Kita berusaha untuk menyerupai Tuhan Yesus dalam hidup ini, bukan popularitas yang menjadi segalanya, melainkan pertobatan batin yang membuat kita sungguh-sungguh menjadi manusia bagi manusia yang lain dan menjadi anak-anak Tuhan. Hari ini gunakanlah waktumu sejenak untuk menyerupai Tuhan Yesus: mengulurkan tangan, menjamah, berbicara dan menyembuhkan sesamamu.

P. John Laba, SDB