Homili 11 Maret 2022

Hari Jumat Pekan I Prapaskah
Yeh. 18:21-28
Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8
Mat. 5:20-26

Buah-buah pertobatan!

Setiap orang memiliki masa lalunya tersendiri. Ada orang yang memulai masa mudanya begitu saleh tetapi pada akhirnya menjadi orang jahat di kemudian hari. Ada orang yang memulai masa mudanya sebagai orang jahat tetapi pada akhirnya menjadi orang kudus di kemudian hari. Banyak orang kudus pernah mengalami hidup seperti ini. Perbandingan seperti ini selalu ada di dalam diri manusia, sangat tergantung pada tempat di mana orang itu bertumbuh dan berkembang serta proses-proses empiris yang mempengaruhi totalitas hidupnya. Saya dapat membayangkan diri saya sendiri. Ketika masih tinggal bersama-sama dengan orang tua di kampung halaman sangatlah berbeda dengan saya yang saat ini sudah 33 tahun berada dalam komunitas biara Salesian Don Bosco, bepergian ke mana-mana dan menjumpai banyak orang dengan latar belakang hidup yang berbeda-beda. Semua ini sangat mempengaruhi seluruh hidup saya: dalam berkomunitas, cara berpikir dan memandang segala sesuatu di sekitar saya. Itu sebabnya masa lalu saya berbeda dengan masa sekarang saya, namun masa lalu tetaplah menjadi guru kehidupan bagi saya. Darinya saya belajar untuk terus menerus berefleksi dan berbenah diri supaya menjadi lebih baik lagi.

Dalam kehidupan sebagai orang beriman pun demikian. Setiap orang memiliki relasi dengan Tuhan dan sesama yang unik. Tidak pernah ada orang yang memiliki kesamaan dalam berelasi dengan Tuhan, demikian pun dengan sesamanya. Kita dapat memperhatikan bangsa Israel yang mengembara di padang gurun. Musa, Harun dan Yosua memiliki pengalaman berelasi dengan Yahwe yang berbeda dengan kebanyakan umat Israel saat itu. Sebab itu Tuhan menjadikan mereka ini sebagai pemimpin yang tentu saja belajar juga dari pengalaman masa lalu mereka masing-masing. Musa misalnya, adalah sosok yang cepat emosi ketika berhadapan dengan orang Mesir, tetapi dia berani meninggalkan kasutnya di hadapan Tuhan, dia benar-benar berubah untuk bisa mengubah bangsa Israel di hadapan Tuhan. Tuhan juga memanggil para nabi untuk bernubuat dan mengubah kehidupan bangsa Israel untuk menjadi serupa dengan Tuhan sendiri. Para nabi mulai berubah dari dalam dirinya sehingga dapat mengubah sesamanya. Maka perubahan itu selalu dimulai dari diri kita bukan dari diri sesama.

Saya merasa sangat dikuatkan oleh Tuhan pada hari ini. Nabi Yehezkiel menyampaikan pesan pertobatan kepada bangsa Israel supaya dapat hidup di hadirat Tuhan. Buah pertobatan kaum pendosa atau orang fasik adalah hidup bukan kematian. Tuhan berkata begini: “Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan kebenaran, ia pasti hidup, ia tidak akan mati.” (Yeh 18:21). Pertobatan yang menyeluruh adalah menghindari dosa, berpegang dan setia pada perintah-perintah Tuhan, dan dengan melakukan keadilan dan kebenaran dalam hidupnya. Tuhan akan melupakan dosa dari seorang fasik yang sungguh-sungguh bertobat. Banyak orang mengalami hal seperti ini. Saya juga mengalami kasih dan kemurahan Tuhan dan selalu percaya bahwa Tuhan tidak menghitung dosa-dosa saya tetapi melihat iman dan kasih kepada-Nya dan kasih kepada sesama manusia.

Selanjutnya dikatakan oleh nabi Yehezkiel bahwa kalau ada orang benar berubah menjadi orang fasik maka tidak ada kehidupan bagi dia. Tuhan berkata: “Jikalau orang benar berbalik dari kebenarannya dan melakukan kecurangan seperti segala kekejian yang dilakukan oleh orang fasik, apakah ia akan hidup? Segala kebenaran yang dilakukannya tidak akan diingat-ingat lagi. Ia harus mati karena ia berobah setia dan karena dosa yang dilakukannya.” (Yeh 18:24). Mungkin kita bertanya,  mengapa Tuhan menghendaki demikian? Karena buah dari kecurangan adalah kematian. Maka yang lebih baik adalah melakukan keadilan dan kebenaran sehingga membuahkan hidup. Pertobatan sejati berarti melakukan keadilan dan kebenaran dan menghasilkan hidup selamanya di hadirat Tuhan.

Tuhan Yesus sendiri mengoreksi cara hidup para murid dan pengikut-pengikut-Nya. Dalam kotbah di bukit, Yesus berkata: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 5:20). Mengapa demikian? Karena para ahli Taurat dan orang-orang Farisi selalu berpikir bahwa mereka melakukan kebenaran dan keadilan padahal sesungguhnyua tidak demikian. Sifat legalis tidak mencermikan kebenaran dan keadilan di dalam hidup mereka. Hal lain yang penting di sini adalah kemampuan untuk bertobat dan berdamai dengan Tuhan dan sesama. Yesus berkata: “Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Mat 5:23-24). Sebuah pertobatan sejati adalah ketika kita membuka diri dan membiarkan diri kita berdamai dengan Tuhan dan sesama di dalam Kristus.

Masa prapaskah menjadi indah karena transformasi diri yang radikal di hadirat Tuhan dan sesama. Transformasi diri itu dapat membuat kita semakin akrab dan serupa dengan Tuhan dan sesama. Santo Paulus berkata: “Berilah dirimu didamaikan dengan Allah.” (2Kor 5:20). Di tempat lain Paulus berkata: “Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.” (Kol 3:15). Mari mengisi masa prapaskah dengan damai dalam diri, dengan sesama dan dengan Tuhan.

P. John Laba, SDB