Homili 12 Maret 2022

Hari Sabtu Pekan I Prapaskah
Ul. 26:16-19
Mzm. 119:1-2,4-5,7-8
Mat. 5:43-48

Jalan kekudusan kita

Pada pagi hari ini saya kembali membaca buku seruan Apostolik Gaudete et Exultate (Bersukacita dan Bergembiralah) dari Paus Fransiskus tertanggal 19 Maret 2018 yang lalu. Saya terkesan langsung dengan kata-kata pertama dari Bapa Suci di dalam buku ini: “Tuhan meminta segalanya dan Dia mengaruniakan kehidupan sejati, kebahagiaan yang untuknya kita diciptakan. Dia menghendaki kita kudus, dan tidak mengharapkan kita puas diri dalam sikap tawar hati, suam-suam kuku, tidak konsisten. Sesungguhnya panggilan kepada kekudusan tampak dalam berbagai cara sejak dari halaman-halaman pertama Kitab Suci. Tuhan menunjukkan hal itu kepada Abraham: “Hiduplah di hadapan- Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1).” (GE,1). Satu kalimat yang menginspirasi saya untuk berefleksi adalah: “Tuhan menghendaki kita untuk menjadi kudus.” Saya teringat pada perkataan Santo Paulus: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” (Ef 1:4). Tuhanlah yang memiliki kehendak dan maksud supaya kita menjadi kudus bukan kita yang menghendaki kekudusan diri kita. Tuhan menghendaki supaya kita menjadi kudus dan tak bercacat di hadirat-Nya.

Pada hari ini mengakhiri pekan pertama Prapaskah. Sebagaimana kita ketahui bahwa fokus perhatian kita pada pekan pertama ini adalah pada sosok Tuhan Yesus yang mengalahkan pencobaan iblis di padang gurun. Pencobaan atau godaan akan harta duniawi yang bersifat sementara saja, godaan akan kekuasaan dan godaan atas kebiasaan pansos yang sering menggoda untuk mencari popularitas semata. Godaan atau pencobaan iblis kepada Tuhan Yesus adalah godaan-godaan yang sering kali kita alami di dalam hidup kita. Banyak di antara kita juga pernah mengalami pencobaan atau godaan sehingga ada yang sudah sedang menjadi gila: gila harta, gila kuasa dan gila pansos. Benar-benar tingkat gila!

Apakah kita harus puas dengan kegilaan duniawi ini? Tidak! Tuhan tidak pernah menghendaki kita untuk menjadi gila seperti ini. Hidup itu hanya sementara saja, untuk apa atau apa pentingnya menjadi gila? Tuhan justru menghendaki kekudusan hidup kita maka Ia membuka pintu kekudusan bagi kita semua. Kita mendengar dalam Kitab Ulangan perkataan Tuhan melalui Musa kepada bangsa Israel, supaya mengikuti jalan kekudusan karena Tuhan Allah kudus adanya. Maka apa yang harus dilakukakan bangsa Israel saat itu untuk menjadi bangsa yang kudus? Pertama, Mereka harus setia untuk melakukan perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan dari Tuhan. Kedua, Mereka perlu mendengar suara Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai Allah bagi bangsanya. Ketiga, Bangsa Isarel menjadi umat kesayangan Tuhan karena bangsa ini setia melakukan perintah dan ketetapan-Nya. Kata kuncinya adalah bahwa jalan kekudusan bangsa ini ditempuh melalui kesetiaan untuk melakukan segala perintah dan ketetapan-ketetapan dari Tuhan. Kekudusan adalah milik kita juga ketika kita mengikuti jalan-jalan Tuhan bukan jalan-jalan manusiawi kita.

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil menantang kita yang membaca Injil hari ini untuk mewujudkan kekudusan hidup dengan melewati semacam ‘pintu yang sempit’. Yang saya maskudkan dengan ‘pintu yang sempit’ adalah bahwa kita harus melakukan perintah Tuhan dalam hal ini perintah kasih kepada Tuhan dan kasih kepada sesama dengan unik. Dalam kotbahnya di bukit, Tuhan Yesus membuka jalan-jalan kekudusan kepada kita, misalnya ketika Ia berkata: “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” (Mat 5:43-44). Kita mengasihi semua orang seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Kasih kita kepada semua orang lintas batas. Musuh sekalipun kita harus mengasihinya. Ini memang sangat berat! Musuh kok dikasihi. Tuhan Yesus di sini tidak hanya berbicara tetapi Dia juga melakukannya: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Luk 23:24). Beranikah kita melakukan perintah kasih di dalam hidup ini? Beranikah setiap pasangan hidup tidak hanya duduk dan menghitung-hitung kesalahan pasangannya tetapi saling mengampuni dan menerima apa adanya? Apakah para orang tua dapat mengasihi anak-anak dan anak-anak mengasihi orang tuanya yang rewel dan menjengkelkan atau hanya duduk dan saling  membuat litani kesalahan orang tua, anak dan melupakan perbuatan kasihnya?

Jalan kekudusan bagi kita adalah menjalankan perintah kasih yang Tuhan ajarkan dan teladankan sendiri. Hanya dengan mengasihi kita dapat menjadi sempurna seperti Bapa di surga sempurna atau kudus adanya. Kita mengasihi sesama manusia seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Kita mengasihi tanpa batas sebagaimana Tuhan sendiri: “yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Tuhan melakukan kasih-Nya tanpa memilih atau memilah manusia. Orang jahat dan orang baik diberikan matahari. Orang benar dan tidak benar diberikan hujan. Tuhan tidak hanya memberikan kepada umat pilihan-Nya. Kaum pendosa seperti para pemungut cuka, koruptor masih dapat mengasihi sesama manusia, orang-orang yang tidak mengenal Allah masih membiasakan dirinya untuk memberi salam atau membawa damai kepada sesama. Lalu bagaimana dengan kita yang beriman dan percaya kepada Allah? Ini sekali lagi menjadi jalan kekudusan kita.

Saya mengakhiri homili tentang jalan-jalan kekudusan ini dengan kembali mengutip perkataan Paus Fransiskus ini: “Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat Allah: dalam diri orangtua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum. Di dalam kegigihan perjuangan mereka untuk terus maju hari demi hari, saya melihat kekudusan dari Gereja yang militan. Sering kali hal tersebut merupakan kekudusan dari “pintu sebelah”, mereka yang hidup dekat dengan kita. Mereka mencerminkan kehadir- an Allah, atau dengan kata lain “tingkat menengah kekudusan” (GE, 7). Jadilah orang kudus dalam hidup dan pengabdianmu.

P. John Laba, SDB