Food For Thought: Dengan hati penuh syukur

Dengan hati penuh syukur

Pada siang hari ini saya mendapat sebuah pesan singkat berupa kutipan perkataan Santo Paulus, bunyinya: “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya.” (Flp 3:20-21). Saya membacanya berulang kali dan merenungkannya, meskipun saya sendiri sudah mengungkapkannya dalam homili saya di hari Minggu Prapaskah kedua ini. Satu kata yang keluar dalam hati dan pikiran saya adalah ‘dengan hati penuh syukur’. Hati penuh syukur karena Santo Paulus meyakinkan kita untuk memiliki orientasi hidup yang jelas bahwa kewargaan kita adalah di dalam surga, yang sekarang sedang kita alami hanya bersifat sementara saja. Ini sungguh luar biasa. Kita semua juga merasa bersyukur karena Tuhan sendirilah yang akan mengubah tubuh kita yang hina dan fana ini sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia. Kita berbangga dan bersyukur karena rencana dan kehendak Tuhan untuk menjadikan tubuh kita serupa dengan-Nya.

Sambil merenung tentang hati yang penuh syukur, pikiran saya tertuju pada kehidupan kita setiap hari. Kecenderungan paling besar di dalam hidup kita adalah sering melupakan hal-hal yang positif dan mengingat hal-hal yang buruk atau negatif dalam diri kita. Orang tidak akan melupakan begitu saja emosi yang tidak teratur atau buruk, pengalaman hidup yang tidak menyenangkan, lingkungan di sekitar kita yang mempengaruhi hidupnya. Dari situ orang cenderung menjadi pribadi yang sulit untuk bersyukur. Mengapa orang memiliki kebiasaan memikirkan hal-hal yang buruk, gelap dalam hidupnya? Karena orang memiliki ‘bias negatif’ atau ‘negativity bias’. Artinya, seseorang memiliki cara berpikir dan cara memaknai sesuatu di mana dia lebih berfokus pada hal-hal buruk dan mengabaikan hal-hal yang baik yang terjadi dalam hidupnya. Jadi informasi negatif di dalam dirinya lebih kuat dibandingkan dengan informasi positif.

Sebagai contoh, ketika orang duduk bersama sebagai peer group, mereka sering curhat bersama. Saya merasa yakin bahwa sebagian besar curhat yang mereka perbincangkan adalah pada kejadian-kejadian buruk yang terjadi pada orang lain. Isi gosipnya adalah tentang kelemahan-kelemahan orang lain dan melupakan kelemahan diri sendiri. Pikiran-pikiran negatif lebih mudah menguasai hidup pribadi orang-orang tertentu dari pada kekuatan pikiran positif.

Apa yang harus dilakukan

Supaya kita bisa keluar dari bias negatif terhadap sesama manusia maka ada beberapa kiat yang dapat kita lakukan:

Pertama, Kita perlu belajar untuk jujur dengan diri sendiri. Kita mengenal diri, kelebihan dan kekurangan kita. Dengan pengenalan diri seperti ini, kita akan belajar untuk bersikap jujur dengan diri sendiri. Kedua, Kita perlu merasa yakin dengan diri sendiri. Kita perlu peduli dengan hal-hal yang kita rasakan di dalam hidup kita. Ketiga, berani mengapresiasi diri. Pribadi yang matang adalah pribadi yang mampu mengapresiasi, berterima kasih pada kehidupan. Keempat, berusaha untuk menyeimbangkan emosi diri. Kita memiliki kecenderungan terhadap hal-hal positif dan juga negatif. Namun demikian dengan hal-hal negatif kita belajar untuk menjadi lebih baik lagi. Dengan hal-hal positif kita berusaha untuk semakin menjadi manusia.

Memiliki hati yang penuh syukur itu penting dan harus. Hidup kita bermakna karena memiliki rasa syukur yang keluar dari dalam hati bukan sekedar sebuah pikiran semata. Maka berusahalah untuk berbenah diri. Hidup ini hanya sementara, maka syukurilah dan isilah dengan hal-hal yang berguna di dalam hidup ini.

P. John Laba, SDB