Homili 26 Agustus 2022

Hari Jumat Pekan Biasa ke-XXI
1Kor. 1:17-25
Mzm. 33:1-2,4-5,10ab,11
Mat. 25:1-13

Memberitakan Kristus Tersalib

Ada seorang tokoh umat yang mengaku merasa terusik oleh perkataan sesamanya dari gereja lain tentang perbedaan salib di gereja katolik yang masih memiliki patung Tubuh Kristus yang menempel di salib atau salib dengan Corpus dengan salib di gereja mereka tanda corpus. Dia merasa kesal karena sesamanya itu seolah menuduh bahwa orang katolik seolah-olah belum percaya bahwa Yesus sudah bangkit, bahkan lebih dari itu ada anggapan bahwa orang katolik menyembah berhala. Dia lalu meminta saya untuk menjelaskan kepadanya, paling kurang ketika dia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan dari orang yang sama, dia juga mudah untuk menjelaskannya. Saya merasa yakin bahwa tokoh umat ini bukan satu-satunya yang merasa terusik dengan celotehan sesama dari gereja yang lain. Mungkin kelemahan umat adalah bagaimana menjelaskannya kepada mereka.

Saya menyimak pengakuan dan curhat tokoh umat ini dan berusaha untuk menenangkannya. Saya mengatakan kepadanya bahwa kita perlu menjelaskan kepada mereka dengan sederhana dan dengan hati bukan dengan emosi. Pertama, bahwa kita orang katolik memiliki salib yang masih mempunyai patung Tubuh Kristus (Corpus) yang melekat pada Salib bukanlah menunjukkan bahwa kita belum percaya pada kebangkitan Kristus. Mengapa? Karena dalam Credo sangat jelas kita ungkapkan: “…yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati.” Maka sangatlah jelas bahwa kita mengakui kebangkitan Kristus bukan hanya mereka yang memiliki salib tanpa Corpus. Kedua, Kita sebagai orang katolik tidak menyembah berhala. Bahwa masih ada Corpus di salib bukan berarti kita menyembah patung atau Corpus itu, tetapi patung atau Corpus itu hanya membantu kita untuk memusatkan konsentrasi kita kepada Pribadi Yesus Kristus. Kita melihat sesuatu yang jauh diluar dari patung atau Corpus yakni aspek pengorbanan Kristus sendiri bagi keselamatan kita.

Penjelasan seperti ini memang perlu dan harus kita ketahui supaya dapat menjelaskan kepada orang lain secara meyakinkan. Santo Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus mengatakan bahwa Kristus mengutusnya bukan untuk membaptis melainkan untuk mewartakan Injil. Mewartakan Injil berarti mewartakan Pribadi Kristus sendiri yang pernah hidup, menderita di salib, wafat dan bangkit dengan jaya. Paulus mengatakan bahwa pemberitaan tentang salib memang suatu kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan, pewartaan Injil merupakan suatu kekuatan Allah. Mengapa demikian? Sebab mewartakan Injil berarti mewartakan Pribadi ilahi yang kedua yakni Yesus Kristus, sang Imanuel yang berada di tengah-tengah kita.

Selanjutnya, Santo Paulus mengatakan: “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1Kor 1:22-24). Paulus membedakan dengan jelas pemahaman orang Yahudi dan Yunani. Orang-orang Yahudi lebih fokus pada tanda-tanda dan bahwa salib adalah kebodohan, orang Yunani lebih fokus pada hikmat. Lalu di mana posisi orang yang beriman? Orang beriman justru melihat bahwa Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.

Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Santo Paulus dalam surat yang sama juga mengakui: “Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa- apa di antara kamu, selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (1Kor 2:2). Pengakuaan iman semacam ini menunjukkan hikmat yang diberikan Tuhan kepada Paulus untuk mengenal Kristus lebih dalam. Tentu saja bukan hanya Paulus, kita semua yang dipanggil, yang membaca dan mendengarkan Sabda Tuhan juga memiliki hikmat untuk melihat Kristus sebagai kekuatan Allah dan hikmat Allah. Perkataan Paulus ini sekaligus mempertegas perkataan ini: “In Cruce salus” yang berarti pada salib ada keselamatan bukan ada jin sebagaimana pernah diungkapkan oleh seseorang di negeri +62 ini. Dalam setiap jalan salib kita semua mengungkapkan dalam doa: “Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia”. Perkataan ini juga merupakan doa yang terbaik bagi kita sambil memandang Dia yang tersalib.

Apa yang harus kita lakukan?

Kita semua sedang berziarah di dunia ini menuju kepada keabadian. Dengan memandang salib hari demi hari, kita mesti melihat ke depan untuk bertumbuh sebagai orang beriman yang berhikmat atau yang bijaksana bukan orang beriman yang bodoh. Penginjil Matius menceritakan perumpamaan Yesus tentang sepuluh gadis, di mana ada lima gadis yang bijaksana yang memiliki pelita dan minyak. Ada juga lima gadis yang bodoh yang memiliki pelita tanpa minyak. Perumpamaan ini mengatakan tentang hidup kita setiap hari yang hanya puas sebagai orang yang dibaptis. Ada di antara kita yang hanya puas sebagai orang di baptis dan tidak berjuang untuk mempertahankan iman hingga masuk ke dalam Kerajaan Surga. Ada yang bangga sebagai orang yang dibaptis dan beruasaha untuk mempertahankan imannya sambil memandang Kristus tersalib.

Mari kita memeriksa bathin kita, apakah kita benar-benar berhikmat di hadapan Tuhan sebagai pengikut Dia yang disalibkan? Atau kita masa bodoh dan tidak mempertahankan iman kita? Perkataan Tuhan ini patut kita renungkan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya aku tidak mengenal kamu. Karena itu, berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya.” (Mat 25:12-13).

P. John Laba, SDB