Food For Thought: Hidup ini hanya sementara saja

Semua hanya sementara saja!

Ada seorang sahabat yang malam ini mengirim sebuah pesan bijak dari Lao Tzu kepada saya, bunyinya: “Life is a series of natural and spontaneous changes. Don’t resist them — that only creates sorrow. Let reality be reality. Let things flow naturally forward in whatever way they like.” (Hidup adalah serangkaian perubahan alami dan spontan. Janganlah melawan mereka – itu semua hanya akan menimbulkan kesedihan. Biarkanlah kenyataan tetap menjadi kenyataan. Biarkan semuanya mengalir begitu saja secara alami ke depan sesuai keadaannya). Kutipan ini saya maknai sebagai sebuah rasa syukur atas hidup dan kehidupan yang sudah sedang saya jalani selama ini. Semua pengalaman hidup mengalir secara alamiah dalam bentuk pengalaman-pengalaman nyata yang sifatnya mengubah hidup ini menjadi lebih baik dari pada hari kemarin. Hati setiap kita perlu terbuka untuk menerima dan menjadikannya sebagai pengalaman hidup yang positif.

Perkataan La Tzu mengingatkan saya pada perkataan singkat yang selalu kita dengar: “Keep calm for this life is temporary” (Tenanglah karena hidup ini hanya sementara saja). Hidup ini hanya sementara sambil menunggu sebuah keabadian. Hari ini kami sebagai kolegialitas para imam di Keuskupan Agung Jakarta kehilangan dua orang sosok imam senior yang dipanggil Tuhan yakni Romo Hadiwijoyo, Pr dan Romo Ginimasela, MSC. Dua sosok yang mengabdikan diri bagi Kristus sang Imam Agung di dalam Gereja hingga saudara maut menjemput mereka. Sebagai kolega imam, kematian mereka menginspirasi saya secara pribadi untuk selalu siap kapan dan di manapun saudara maut menjemput. Di samping itu, kematian mereka menyadarkan saya bahwa hidup ini memang hanya sementara saja maka perlu ketenangan, menyingkirkan kepanikan karena ujung dari peziarahan hidup ini adalah kematian.

Santo Yakobus dalam suratnya menulis begini: “Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” (Yak 4:14). Atau sebagaimana dikatakan Daud dalam Kitab Mazmur: “Karena umurku lenyaplah seperti asap, dan segala tulangku pun terbakarlah seperti pentung api.” (Mzm 102:3). Hidup ini memang hanya bersifat sementara maka kita perlu mengisinya dengan perbuatan-perbuatan baik. Kalau kita tidak berbuat baik sekarang kepada sesama, lalu kapan lagi? Bisa saja ini adalah hari yang terakhir kita berbuat baik. Semuanya hanya sementara, hanya Tuhan yang abadi.”

Saya menutup refleksi sederhana ini dengan mengutip sebuah puisi dari Santa Theresia Lisieux: “Hidupku hanyalah sementara, sesaat berlalu. Hidupku hanyalah sehari lepas dan terbang jauh. Allahku, Kau tahu untuk mencintai-Mu di sini, di dunia aku hanya punya sehari saja.” (Puisi no.5). Yah, kesadaran kita dibangkitkan kembali untuk sadar diri bahwa hidup ini sementara saja, semuanya hanya sementara. Maka mari kita belajar untuk menjadi pribadi yang terbaik, selalu siap untuk berbuat baik kepada siapa saja.

P. John Laba, SDB