Homili 7 Desember 2022

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXXII
Tit. 1:1-9
Mzm. 24:1-2,3-4ab,5-6
Luk. 17:1-6.

Mengampuni lebih sungguh

Adalah Ivern Ball (1926-1992). Penyair dan penulis berkebangsaan Inggris ini pernah berkata: “Most of us can forgive and forget; we just don’t want the other person to forget that we forgave.” (Sebagian besar dari kita dapat memaafkan dan melupakan; kita hanya tidak ingin orang lain melupakan bahwa kita mengampuni). Memaafkan dan melupakan adalah dua kata yang sangat lazim dalam kehidupan pribadi kita. Kita harus jujur untuk mengakui bahwa tidaklah mudah untuk mengampuni dan juga lebih tidak mudah untuk melupakan segala sesuatu yang sudah diperbuat oleh orang lain kepada kita. Melupakan belumlah merupakan kultur yang dimiliki oleh semua orang. Banyak orang masih terbiasa untuk mengingat-ingat kesalahan dan kejahatan yang dilakukan orang kepadanya dan berniat dia untuk membalasnya. Seharusnya, mengampuni berarti melupakan itu yang terbaik dan yang harus menjadi kultur kita.

Suatu tragedi besar dalam hidup manusia modern adalah adanya kultur kematian. Kultur kematian merupakan kultur barbaritas yang memuliakan, menyembah dan mendewakan kematian. Hanya dengan kematian, para pemuja kultur ini akan mencapai tujuan pragmatisnya yakni masuk surga seperti diajarkan oleh para gurun kebijaksanaannya. Kultur kematian, menurut Santo Yohanes Paulus II adalah daya negatif yang merusak dunia. Kultur kematian ini menunjuk kebisuan manusia di tengah persoalan humanitas yang mempertaruhkan kehidupan umat manusia. Kultur kematian yang disanjung-sanjung dan mengabaikan kultur kehidupan haruslah bisa dihindari kalau ada semangat untuk mengampuni tanpa batas. Sebuah pengampunan yang terus menerus tanpa harus menghitung berapa kesalahan yang sudah sedang dibuat oleh sesama kita.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengajarkan kita banyak hal yang dapat mrngoreksi seluruh hidup kita. Tuhan Yesus mula-mula mengingatkan kita supaya jangan membuat skandal apapun terhadap sesama, lebih lagi kepada mereka yang kecil dan miskin. Kalau saja ada orang yang menyesatkan sesama dalam pikiran, perkataan dan perbuatan maka orang itu haruslah mendapat hukuman yang setimpal. Tuhan Yesus berkata: “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini.” (Luk 17:1-2). Banyak orang dewasa atau yang memiliki kuasa lebih mudah melecehkan sesama manusia yang dianggap lemah: anak-anak dibawah umur yang menjadi korban pedofilia, para wanita yang dilecehkan, para bahwahan yang diiming-iming sesuatu sehingga muncul para korban pelecehan seksual. Lebih baik bagi mereka diikat batu kilangan dan buang ke laut.

Tuhan Yesus juga menegaskan supaya kita pandai menjaga diri di hadapan Tuhan dan sesama. Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus mengatakan: “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (Luk 17: 3-4). Kalau ada saudara atau saudari yang berbuat dosa dan mau mengakui dosanya maka imam harus selalu bersedia untuk mendengar dan melepaskan dosa mereka. Maka di sini, sakramen tobat adalah sakramen yang membantu kita untuk sadar diri sebagai orang berdosa dan siap untuk bertobat dan percaya kepada Injil. Di samping sakramen tobat, sakramen Ekaristi juga menjadi sakramen yang menunjukkan Yesus yang hadir secara nyata dan yang kita imani sebagai Tuhan. Sakramen Ekaristi membantu kita untuk memiliki iman yang kuat akan Dia yang tersalib, wafat dan dimakamkan.

Mengampuni itu memiliki kuasa tersendiri. Semakin banyak kita mengampuni maka sikap lepas bebas kita semakin berkembang dan kita akan menerima semua orang apa adanya. Mengampuni berarti melupakan. Semakin kita melupakan kesalahan atau perbuatan jahat orang maka kita akan semakin menjadi manusia yang merdeka. Apa untungnya kita mengingat-ingat kesalahan orang? Tidak ada untungnya sama sekali! Maka kita perlu berubah dan mulai memangun kultur kehidupan bukan kultur kematian.

Pada hari ini kita mulai membaca tulisan santo Paulus kepada Titus. Titus adalah seorang Yunani yang tidak bersunat yang kemudian menjadi pengikut Kristus. Paulus menyebut dia sebagai “anak yang sejati menurut iman yang dimiliki bersama”, sehingga Titus mungkin adalah salah seorang anak rohani Santo Paulus. Santo Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan kita akan kriteria untuk memilih pemimpin-pemimpin Gereja. Syarat-syarat bagi seorang pemimpin Gereja adalah: “Supaya dapat menetapkan penatua-penatua di setiap kota, seperti yang telah kupesankan kepadamu yakni orang-orang yang tak bercacat, yang mempunyai hanya satu isteri, yang anak-anaknya hidup beriman dan tidak dapat dituduh karena hidup tidak senonoh atau hidup tidak tertib.” (Tit 1:5-6).

St. Paulus juga menambahkan wejangan kepada Titus: “Sebab sebagai pengatur rumah Allah seorang penilik jemaat harus tidak bercacat, tidak angkuh, bukan pemberang, bukan peminum, bukan pemarah, tidak serakah, melainkan suka memberi tumpangan, suka akan yang baik, bijaksana, adil, saleh, dapat menguasai diri dan berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya” (Tit 1:7-9).

Seorang pemimpin jemaat haruslah memiliki wawasan yang luas untuk mengayomi para anggota jemaat. Pemimpin jemaat memiliki kekuatan untuk membina komunitas supaya komunitas terbuka pada semangat saling mengampuni dan berdamai satu sama lain. Mengampuni menjadi indah ketika semua orang berusaha untuk melupakan kesalaha-kesalahan yang sudah pernah dilakukan. Hanya dengan demikian maka komunitas benar-benar hidup layak di hadirat Tuhan.

P. John Laba, SDB