Homili 8 November 2022

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XXXII
Tit 2:1-8.11-14
Mzm 37:3-4.18.23.27.29
Luk 17:7-10

Pastor berbau domba

Saya memulai homili hari ini dengan mengutip perkataan Paus Fransiskus kepada para imam dari Prancis yang sedang belajar di Roma pada tanggal 7 Juni 2021 yang lalu. Ia mengatakan: “Jadilah gembala berbau domba.” Pesan ini memiliki makna yang sangat mendalam. Para romo dipanggil pastor atau gembala. Seorang gembala yang baik haruslah berbau domba: mengenali domba-domba gembalaannya, tinggal bersama mereka, berempati dengan mereka, ikut merasakan penderitaan bersama domba-dombanya. Seorang pastor atau gembala harus berani ‘turba’ atau turun ke bawah untuk mengenal dan merasakan lebih dalam pengalaman rohan dan jasmani bersama umat atau domba. Perkataan Bapa suci ini juga sekaligus menegaskan tentang kesadaran tinggi para gembala untuk melayani umatnya.

Perkataan bapa Suci Paus Fransiskus mengingatkan saya pada gelar kepausan yakni Servus servorum Dei yang diucapkan oleh Paus Gregorius Agung. Servus servorum Dei berarti ‘hamba dari segala hamba Allah’ masih tetap dipakai oleh para Bapa Suci hingga saat ini. Hamba dari segala hamba Allah mengandaikan sebuah dedikasi yang tinggi dalam melayani sebagai abdi Tuhan. Artinya bahwa dalam hidup bakti, sebagai seorang imam, biarawan dan biarawati haruslah memiliki keadaran sebagai hamba Tuhan. Hamba yang selalu siap untuk mengabdi Tuhan kapan dan di mana saja. Semangat pengabdian ini amatlah bernilai di dalam hidup setiap hari.

Kita mendengar bacaan-bacaan Kitab Suci yang sangat menginspirasi pada hari ini. Tuhan Yesus sedang berbicara dengan para murid-Nya tentang semangat penghambaan dalam melayani Tuhan dan sesama. Dalam dunia agrikultur, sangat dibutuhkan para pekerja untuk membajak tanah dan menggembalakan ternak sang tuan. Sang hamba yang bekerja seharian, pada sore hari dia kembali ke rumah dan bertemu dengan majikannya. Majikan tetap akan memerintahkan hamba itu untuk menyiapkan makanan dan minuman bagi majikannya. Setelah majikannya kenyang baru gilirannya untuk makan dan minum. Lihatlah contoh ini yang sebenarnya masih terjadi di dalam hidup kita setiap hari. Mari kita mulai dengan semangat pelayanan para ART (Asisten Rumah Tangga) kita. Mereka melayani keluarga dan komunitas tanpa menuntut tambahan gaji setiap saat. Ingatlah setiap ibu di dalam keluarga yang selalu siap untuk melayani keluarga. Suami dan anak-anak hanya melihat makanan tersedia di atas meja, pakaian sudah dicuci dan digosok dengan rapi. Sayang sekali karena tidak ada ucapan terima kasih kepada sang ibu yang melayani keluarga.

Semangat dan hati sebagai hamba memang sangat penting di dalam keluarga kita masing-masing. Para ART dan ibu rumah tangga tidak mencari popularitas tetapi mereka semata-mata melayani karena mereka memang sadar untuk melayani. Mereka melayani karena kasih kepada keluarga dan komunitas. Tanpa ada kasih maka tanpa ada juga pelayanan yang sempurna. Itu sebabnya seorang murid Kristus harus sadar diri bahwa dia adalah seorang abdi yang siap untuk melayani. Prinsipnya adalah: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” (Luk 17:10). Setiap orang dengan profesi apapun tentu merupakan pelayan yang mengabdikan dirinya sampai tuntas untuk kebaikan dan kesalamatan saudara yang lain. Maka prinsip ini sangat bagus, hamba-hamba yang tidak beguna di mata manusia tetapi tentu bukan di mata Tuhan.

Servus servorumu Dei. Hamba dari segala hamba Tuhan. Ini adalah kata-kata yang bernilai pada saat ini. Kita tidak hidup untuk bersenang-senang saja tetapi hidup untuk melayani dan mengabdi Tuhan dan sesama. Kita semua pasti mengingat lirik lagu ‘Hidup ini adalah kesempatan’. Ada kata-kata yang patut kita renungkan bersama: “Hidup ini adalah kesempatan. Hidup ini untuk melayani Tuhan (Jangan sia-siakan). Jangan sia-siakan waktu yang Tuhan beri, hidup ini hanya sementara. Oh Tuhan, pakailah hidupku. Selagi aku masih kuat. Suatu saat aku tak berdaya, hidup ini sudah jadi berkat.” Hiidup untuk melayani adalah hidup penuh berkat.

Santu Paulus dalam bacaan pertama mengatakan kepada Titus untuk menasihati jemaat supaya mencapai hidup yang bermakna. Hidup yang bermakna kalau kita menghayatinya dengan baik untuk kebaikan diri kita dan kebaikan sesama sesuai keadaan hidup kita. Inilah nasihat santo Paulus: “Laki-laki yang tua hendaklah hidup sederhana, terhormat, bijaksana, sehat dalam iman, dalam kasih dan dalam ketekunan. Demikian juga perempuan-perempuan yang tua, hendaklah mereka hidup sebagai orang-orang beribadah, jangan memfitnah, jangan menjadi hamba anggur, tetapi cakap mengajarkan hal-hal yang baik dan dengan demikian mendidik perempuan-perempuan muda mengasihi suami dan anak-anaknya hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya, agar Firman Allah jangan dihujat orang.’ (Tit 2:1-5). Lalu bagaimana dengan orang muda? Santo Paulus mengatakan kepada Titus untuk menasihati kaum muda hidup mereka bermakna sepeti ini: “Berani menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik.” (Tit 2:6-7).

Paulus menasihati Titus sebagai anak dan saudara dalam pewartaan. Ia mengatakan kepada Titus: “Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita. Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita.” (Tit 2:7-10).

Bagi saya semua nasihat Paulus kepada Titus adalah sikap gembala berbau domba. Paulus adalah gembala berbau domba di hadapan Titus karena dia berbicara dan mengalami sendiri kasih dan kebaikan Tuhan. Dia tidak menata kata tetapi menata seribu satu pengalaman sebagai hamba Tuhan dan diharapkan supaya Titus dapat menghayatinya bersama jemaat yang dipimpinnya. Kesaksian hidup itu penting karena internalisasi semua perkataan. Kata-kata sungguh menjadi pedoman bagi kesaksian hidup yang nyata. Mari kita menjadi gembala berbau domba yang berprinsip: “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.” Dan tentu saja ‘Servus servorum Dei’ atau hamba dari segala hamba Tuhan. Kita pasti bisa.

P. John Laba, SDB