Homili 7 Maret 2023

Hari Selasa, Pekan II Prapaskah
Yes 1:10.16-20
Mzm 50:8-9.16bc-17.21.23
Mat 23:1-12

Keteladanan itu penting dan harus!

Salah satu kesulitan orang tua masa kini adalah dalam hal mendidik anak. Saya pernah mendengar sharing pasutri. Mereka mengaku perlu membuat kontrak dengan anak mereka berkaitan dengan jadwal hariannya. Misalnya, jam sekian anak harus fokus pada belajar, jam sekian anak bisa main hp dan game online dan seterusnya. Di pihak orang tua pun demikian, selama jadwal yang diberikan sesuai kontrak dengan anak berlangsung maka mereka pun tidak bisa menonton DraKor kesukaan mereka dan menggunakan HP. Kalau saja salah satunya melanggar kontrak maka bisa terjadi keributan dalam rumah. Pasutri itu mengatakan, “Kami selalu berusaha untuk menjadi panutan, pemberi teladan baik kepada anak kami.” Keteladanan hidup yang baik itu memang penting dan harus ditanamkan di dalam diri anak-anak sejak usia dini.

Tuhan menyapa kita pada hari selasa Prapaskah kedua ini. Kita belajar untuk menunjukkan keteladanan yang baik kepada anak-anak atau siapapun yang ada di sekitar kita. Perhatikan perkataan Tuhan Yesus kepada para murid dan orang banyak sebagai kritikan kepada kaum Farisi dan para ahli Taurat: “Turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.” (Mat 23:3). Kita harus jujur dan mengakui bahwa ada banyak ajaran dan nasihat-nasihat terbaik yang bisa kita berikan kepada siapapun namun terkadang semua itu tidak sinkron dengan perbuatan-perbuatan nyata dalam hidup kita. Banyak orang hanya bisa bermulut manis tetapi perbuatannya jauh dari manisnya perkataannya. Nah di sini sebenarnya butuh keteladanan hidup yakni perkataan yang keluar dari mulut itu sinkron dengan perbuatan yang nyata.

Tuhan Yesus memberi contoh-contoh nyata bagaimana tidak sinkronnya perkataan dan perbuatan kaum Farisi dan para ahli Taurat: mereka suka meletakkan beban kepada orang lain tanpa berempati dengan mereka, suka memamerkan diri dan berpikir bahwa mereka lebih baik, lebih saleh dari orang lain, mereka cenderung gila hormat, dan mereka juga seakan menyamakan diri dengan Tuhan. Berkaitan dengan ini Tuhan Yesus memberi nasihat kepada para murid-Nya supaya jangan berlaku seperti orang-orang Farisi dan para ahli Taurat: “Janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dan janganlah kamu menyebut siapapun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapamu, yaitu Dia yang di sorga. Janganlah pula kamu disebut pemimpin, karena hanya satu Pemimpinmu, yaitu Mesias.” (Mat 23:8-10).

Keteladanan hidup yang paling besar bukan berdasar pada kehebatan manusiawi kita tetapi pada kerendahan hati kita. Orang besar itu hebat bukan karena kuasanya melainkan karena semangat mereka yang berapi-api untuk melayani sesama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Kerendahan hati itu diwujudkan dengan mengutamakan mereka yang seperti ini. Kerendahan hati nampak dalam semangat melayani dan tidak meninggikan dirinya. Kerendahan hati itu ditandai dengan upaya untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan yang jahat. Melalui nabi Yesaya, Tuhan berkata: “Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yes 1:16-17).

Saya mengingat perkataan St. Thomas dari Villanova ini: “Kerendahan hati adalah induk dari banyak kebajikan karena darinya lahir ketaatan, rasa takut, rasa hormat, kesabaran, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kedamaian. Orang yang rendah hati dengan mudah mematuhi semua orang, takut menyinggung perasaan siapa pun, berdamai dengan semua orang, dan bersikap baik kepada semua orang.” Super sekali dan lakukanlah dalam hidupmu di masa Prapaskah ini!

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip Santo Fransiskus dari Sales. Ia berkata: “Titik tertinggi dari kerendahan hati adalah tidak hanya mengakui kehinaan seseorang, tetapi juga mengambil kesenangan di dalamnya, bukan karena kurangnya keluasan atau keberanian, tetapi untuk memberikan kemuliaan yang lebih besar pada Keagungan Ilahi, dan untuk menghargai sesama lebih tinggi daripada diri sendiri.” Kerendahan hati menjadi pintu masuk bagi keteladanan hidup kristiani kita.

P. John Laba, SDB