Homili 23 Maret 2023

Hari Kamis, Pekan IV Prapaskah
Kel. 32:7-14
Mzm. 106:19-20,21-22,23
Yoh. 5:31-47

Musa Lama dan Musa Baru beraksi

Adalah Dalai Lama. Beliau pernah berkata: “Dunia saat ini tidak membutuhkan lebih banyak orang sukses. Dunia saat ini justru sangat membutuhkan lebih banyak sosok pembawa damai, penyembuh, pemulih, pendongeng, dan pencinta semua orang.” Saya sepakat dengan Dalai Lama. Kita saat ini lebih membutuhkan pribadi yang mau menjadi manusia bagi sesama manusia yang lain, tanpa memandang orang apakah yang ada di sekelilingnya. Bahwa dia adalah manusia maka sudah cukuplah bagi kita untuk mengasihinya. Sosok Musa dan Yesus sebagai Musa Baru sangat menginspirasi kita untuk memperjuangkan kehidupan orang yang tidak memiliki harapan supaya memiliki harapan.

Pada hari ini mata kita tertuju pada sosok Musa Lama (bacaan pertama) dan Musa Baru (bacaan Injil). Musa Lama berasal dari suku Lewi. Ayahnya bernama Amram dan ibunya bernama Yokhebed. Musa memiliki dua orang kakak kandung, yaitu Harun dan Miriam. Harun adalah juru bicara Musa di hadapan Firaun dan nantinya akan menjadi imam besar bangsa Israel. Dia memimpin bangsa Israel dalam ibadah di kemah suci. Miriam menjadi seseorang yang memimpin kelompok Lewi dalam menaikkan puji-pujian kepada Tuhan sementara ibadah dijalankan. Berdasarkan penafsiran Taurat Musa dianggap memiliki beberapa orang istri, yaitu: Zipora, anak Rehuel (Kel. 2:21-22) dan Seorang perempuan Kush (Bil. 12:1). Namun ada kepercayaan Yahudi yang menganggap bahwa Musa hanya mempunyai satu istri, di mana Zipora karena berkulit gelap disebut sebagai perempuan Kush. Perempuan Kush yang diambil oleh Musa ini juga merupakan pemantik pemberontakan yang diadakan oleh Harun dan Miriam. Keturunan Musa dengan Zipora Gersom dan Eliezer. (Kel. 18:3-4).

Musa dipanggil Tuhan untuk memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Ketika berada di sekitar gunung Sinai, bangsa Israel menyembah berhala dengan membuat anak lembu tuangan. Pada saat itu Musa masih berada di puncak gunung Sinai bersama Tuhan Allah. Orang-orang Israel berkata: “Hai Israel, inilah Allahmu yang telah menuntun engkau keluar dari tanah Mesir.” (Kel 33:28). Tuhan kecewa dan berkata: “Telah Kulihat bangsa ini dan sesungguhnya mereka adalah suatu bangsa yang tegar tengkuk. Oleh sebab itu biarkanlah Aku, supaya murka-Ku bangkit terhadap mereka dan Aku akan membinasakan mereka, tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar.” (Kel 32:9-10).

Dalam situasi ini Musa hadir sebagai sosok pendamai Allah dan bangsa Israel. Ia berusaha melunakkan hati Tuhan Allah dengan bernegosiasi. Musa berkata: “Mengapakah, Tuhan, murka-Mu bangkit terhadap umat-Mu, yang telah Kaubawa keluar dari tanah Mesir dengan kekuatan yang besar dan dengan tangan yang kuat? Mengapakah orang Mesir akan berkata: Dia membawa mereka keluar dengan maksud menimpakan malapetaka kepada mereka dan membunuh mereka di gunung dan membinasakannya dari muka bumi? Berbaliklah dari murka-Mu yang bernyala-nyala itu dan menyesallah karena malapetaka yang hendak Kaudatangkan kepada umat-Mu. Ingatlah kepada Abraham, Ishak dan Israel, hamba-hamba-Mu itu, sebab kepada mereka Engkau telah bersumpah demi diri-Mu sendiri dengan berfirman kepada mereka: Aku akan membuat keturunanmu sebanyak bintang di langit, dan seluruh negeri yang telah Kujanjikan ini akan Kuberikan kepada keturunanmu, supaya dimilikinya untuk selama-lamanya.” (Kel 32:11-13). Tuhan Allah pun mendengar Musa dan Ia menyesal dengan semua rancangan malapetaka kepada umat-Nya di kaki gunung Sinai. Musa hadir sebagai perantara dan pendamai antara Tuhan dan umat Israel yang berdosa.

Tuhan Yesus sering disebut sebagai Musa Baru. Ia hadir dan menunjukkan jati diri-Nya kepada banyak orang Yahudi setelah menyembuhkan seorang lumpuh di dekat kolam Betesda. Yesus bersaksi tentang diri-Nya sendiri bahwa Dia memiliki kuasa untuk menyembuhkan dan bahwa relasi-Nya dengan Tuhan itu begitu menyatu sehingga Ia memanggil-Nya sebagai Bapa. Allah yang disapa sebagai bapa terus bekerja dan Yesus pun turut bekerja. Selanjutnya Yesus berkata: “Kalau Aku bersaksi tentang diri-Ku sendiri, maka kesaksian-Ku itu tidak benar; ada yang lain yang bersaksi tentang Aku dan Aku tahu, bahwa kesaksian yang diberikan-Nya tentang Aku adalah benar.” (Yoh 5:31-32). Sesungguhnya ada tiga kesaksian penting: kesaksian dari pihak manusia yakni kesaksian dari Yohanes pembaptis, kesaksian dari segala pekerjaan yang diserahkan Bapa supaya Yesus melaksanakannya (Yoh 5:35) dan kesaksian dari Bapa sendiri yang mengutus-Nya (Yoh 5:36). Di sini kita melihat sosok Yesus sebagai Utusan Bapa untuk menyelamatkan manusia. Dia adalah damai kita (Ef. 2:14). Yesus sebagai Musa baru beraksi dengan memberi diri secara total untuk menyelamatkan manusia. Dia tidak hanya bernegosiasi seperti Musa lama, tetapi Yesus mendokan dan memberi diri bagi Gereja.

Masa Prapaskah membantu kita untuk merenungkan kembali kasih Allah yang begitu besar kepada kita. Dia menjadikan Musa sebagai pendamai bagi diri-Nya dengan umat Israel yang jatuh ke dalam dosa menyembah berhala. Dia mengutus Yesus Kristus Putera-Nya untuk melakukan pekerjaan yang menyelamatkan bahkan diri-Nya sendiri yang hingga saat ini kita kenang dalam Ekaristi. Mengakhiri homily ini, saya mengutip Paus Benediktus XVI pernah berkata: “Biarlah terang-Mu bersinar dalam masyarakat, di dalam kehidupan politik dan ekonomi, di dalam budaya dan penelitian. Bahkan jika itu hanya sebuah kerlip di tengah begitu banyak cahaya yang menipu. Itu tetap menarik kekuatan dan kemegahannya dari Bintang Kejora yang agung, Kristus yang bangkit.”

P. John Laba, SDB