Homili 24 Maret 2023

Hari Jumat, Pekan IV Prapaskah
Keb. 2:1a,12-22
Mzm. 34:17-18,19-20,21,23
Yoh. 7:1-2,10,25-30.

Salib Kristus menyelamatkan kita

Kita memasuki hari Jumat, Pekan Prapaskah IV. Satu acara penting pada setiap hari Jumat dalam masa Prapaskah adalah Ibadat Jalan Salib untuk merenungkan penderitaan Tuhan Yesus Kristus, demi keselamatan kita semua. Dalam Jalan Salib kita merenungkan ‘saat-Nya” Yesus untuk menyelamatkan kita semua. Santo Paulus dari Salib pernah berkata: “Semakin dalam salib menembus, semakin baik; semakin tidak ada penghiburan, penderitaan Anda akan semakin murni; semakin banyak makhluk yang menentang kita, semakin dekat kita bersatu dengan Tuhan.” Santo Ignasius Loyola mengatakan: “Tak ada kayu terbaik yang dapat menjadi bahan bakar api cinta kasih Ilahi, selain kayu Salib Kristus.” Pada Salib ada keselamatan kita (In Cruce Salus).

Penginjil Yohanes hari ini mengisahkan bahwa Tuhan Yesus tetap berkeliling sambil berbuat baik di Galilea. Ia tidak mau tetap tinggal di Yudea karena niat jahat orang Yahudi untuk membunuh-Nya. Apakah Yesus merasa takut dengan ancaman pembunuhan ini? Secara manusiawi Yesus tentu merasa takut, namun karena kasih-Nya maka Ia tidak merasa takut sebab alasan utama Ia datang ke dunia adalah untuk menyelamatkan manusia. Kita semua mengingat perkataan Yesus kepada Nikodemus: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Sebab itu Ia tetap pergi ke Yerusalem dengan diam-diam, tidak secara terang-terangan.

Sorot mata orang-orang di Yerusalem penuh dengan niat jahat untuk membunuh-Nya. Mereka sendiri buta terhadap semua perbuatan baik yang dilakukan Yesus dalam kata dan tanda. Mereka hanya menaruh niat jahat kepada-Nya karena Yesus bisa menyembuhkan orang pada hari Sabat dan itu berarti Yesus melawan hari Sabat, Dia juga menyapa Allah sebagai Bapa maka ini berarti Yesus menista Tuhan Allah. Hukumannya adalah kematian. Inilah perkataan beberapa orang di Yerusalem saat itu: “Bukankah Dia ini yang mereka mau bunuh? Dan lihatlah, Ia berbicara dengan leluasa dan mereka tidak mengatakan apa-apa kepada-Nya. Mungkinkah pemimpin kita benar-benar sudah tahu, bahwa Ia adalah Kristus?” (Yoh 7:25-26). Sikap orang-orang di Yerusalem, mirip dengan apa yang dikatakan dalam Kitab Kebijaksanaan: “Marilah kita menghadang orang yang baik, sebab bagi kita ia menjadi gangguan serta menentang pekerjaan kita. Pelanggaran-pelanggaran hukum dituduhkannya kepada kita, dan kepada kita dipersalahkannya dosa-dosa terhadap pendidikan kita. Ia membanggakan mempunyai pengetahuan tentang Allah, dan menyebut dirinya anak Tuhan.” (Keb 2:12-13). Orang baik selalu menjadi musuh bagi orang yang berhati jahat. Dengan kata lain, “Orang baik itu merupakan celaan atas anggapan kita, hanya melihat dia saja sudah berat rasanya bagi kita.” (Keb 2:14).

Dalam situasi seperti ini, apa kiranya reaksi Tuhan Yesus? Ternyata Tuhan Yesus tetap pada komitmen-Nya untuk berbuat baik dengan mengajar di dalam bait Allah. Komitmen Yesus adalah menyelamatkan manusia melalui ajaran-ajaran-Nya. Dia bahkan mewahyukan diri-Nya secara terang-terangan kepada orang-orang di Yerusalem: “Memang Aku kamu kenal dan kamu tahu dari mana asal-Ku; namun Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, tetapi Aku diutus oleh Dia yang benar yang tidak kamu kenal. Aku kenal Dia, sebab Aku datang dari Dia dan Dialah yang mengutus Aku.” (Yoh 7:28-29).

Dari Yesus kita belajar bagaimana melakukan kebaikan di tengah situasi yang sulit. Dia tetap berani melakukan perbuatan baik di depan mata semua orang, meskipun yang ada pada mereka adalah niat jahat untuk membunuh-Nya, hanya saja saat-Nya belum tiba. Banyak kali dalam karya pelayanan dan dalam menjalani tugas misioner tertentu, kita pun mengalami saat-saat yang sulit, penderitaan, penolakan tertentu. Kita mau membantu tetapi orang menolak karena alasan-alasan tertentu. Apakah kita harus patah semangat dan mundur dari pelayanan? Tidak! Kita harus tetap melayani sampai tuntas seperti Yesus sendiri.

Saya menutup homili ini dengan mengutip perkataan Michael Youssef, “Hanya di dalam Salib Kristus kita akan menerima kekuatan ketika kita tidak berdaya. Kita akan menemukan kekuatan ketika kita lemah. Kita akan mengalami pengharapan ketika situasi kita tanpa harapan. Hanya di dalam Salib Kristus terdapat damai sejahtera bagi hati kita yang gelisah.” Perkataan pastor dari Gereja para Rasul asal Amerika keturunan Mesir yang sangat super!

P. John Laba, SDB