Homili Hari Minggu Prapaskah ke-VA – 2023

HARI MINGGU PRAPASKAH V/A
Yeh. 37:12-14;
Mzm. 130:1-2,3-4b,4c-6,7-8
Rm. 8:8-11
Yoh. 11:3-7,17,20-27,33b-45

Hidup dalam Roh

Kita memasuki Hari Minggu Prapaskah ke-V/A. Kita juga mengenal hari Minggu ini dengan sebutan Hari Minggu Sengsara. Mulai hari Minggu ini, sebagai Gereja kita mau masuk lebih dalam lagi ke dalam Kisah Sengsara Tuhan Yesus Kristus. Ia sendiri membawa sengsara-Nya lebih dalam lagi ke hadapan umat-Nya. Liturgi mengesampingkan semua lambang suka cita dan menampilkan dalam kata dan perbuatan, kesedihan dan penitensi yang harus mengisi setiap jiwa para pengikut Kristus pada saat merenungkan peristiwa-peristiwa akhir kehidupan Tuhan Yesus Kristus di dunia ini. Ciri khas Minggu sengsara adalah salib, patung-patung dan gambar-gambar di sekitar altar ditutup dengan kain ungu polos. Salib Tuhan Yesus ditutupi kain ungu sampai hari Jumat Agung, sedangkan patung- patung dan gambar- gambar lainnya tetap ditutup sampai pada saat Gloria pada Sabtu Suci. Gambar Jalan Salib tidak ditutupi. Ciri lainnya adalah kisah kematian Lazarus dibacakan dalam Injil hari Minggu ini untuk mengingatkan kita akan bentuk kesengsaraan yaitu kematian yang akan membuahkan kebangkitan badan.

Kematian adalah sebuah kepastian di dalam hidup seorang manusia. Orang bisa saja mau hidup seribu tahun namun akhir hidupnya adalah kematian. Santa Theresia Lisieux pernah berkata: “Bukan kematian yang akan menjemputku, melainkan Allah yang baik. Kematian bukanlah hantu, bukan momok yang mengerikan, seperti yang digambarkan dalam gambar-gambar. Dalam katekismus dinyatakan bahwa kematian adalah pemisahan jiwa dan tubuh, itu saja! Nah, saya tidak takut akan perpisahan yang akan menyatukan saya dengan Allah yang baik selamanya.” Kematian adalah hal yang menggembirakan dan membahagiakan karena ada jaminannya yaitu kebangkitan badan dan kehidupan kekal.

Kisah Lazarus dalam Injil membuka wawasan kita tentang kematian sebagai akhir hidup di dunia ini. Tuhan Yesus selalu hadir sebagai Pribadi yang berkuasa untuk memberikan hidup kekal dan keselamatan kepada kita. Satu hal yang Tuhan minta dari kita adalah mengimani-Nya sebagai satu-satunya kebangkitan dan hidup. Perkataan Tuhan Yesus kepada Marta saudari Lazarus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yoh 11:25-26) membuka jalan pemikiran bagi kita untuk percaya, dan mengasihi-Nya. Perkataan ini bernuansa optimis. Ada kesengsaraan, kematian yang berujung pada kebangkitan sebagai bentuk hidup baru kita. Kita perlu menunjukkan iman dan cinta kepada Kristus sebagaimana ditunjukkan oleh Marta ketika ia berkata: “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.” (Yoh 11:27).

Tuhan Yesus menunjukkan belas kasih-Nya kepada manusia yang menderita dan sengsara. Dia menunjukkan-Nya secara nyata di rumah Lazarus. Ketika itu Ia melihat begitu banyak orang yang merasa sedih karena kehilangan Lazarus. Dia sendiri sebagai seorang sahabat Lazarus juga menunjukkan empati-Nya. Dia menangisi Lazarus. Hati-Nya sedih di hadapan manusia dan kerapuhan-nya. Dia lalu menunjukkan kuasa-Nya dengan memanggil Lazarus untuk keluar dari kubur-nya. Kita mengingat bahwa nama Lazarus dalam bahasa Ibrani: אלעזר, Elʿāzār, Eleazar yang berarti “Allah (telah) menolong” sungguh menjadi nyata. Tuhan membangkitkannya dari kematian. Tuhan telah menolongnya untuk mengalami hidup baru. Kebangkitan Lazarus sendiri ikut membuka wawasan kita untuk memahami kebangkitan Kristus. Penginjil Yohanes bersaksi: “Banyak di antara orang-orang Yahudi yang datang melawat Maria dan yang menyaksikan sendiri apa yang telah dibuat Yesus, percaya kepada-Nya.” (Yoh 11:45).

Santo Paulus dalam bacaan kedua membuka wawasan kita untuk mengerti lebih dalam lagi tentang kebangkitan Kristus. Mula-mula ia mengingatkan kita untuk meninggalkan masa lalu yang penuh dengan kehidupan ‘daging’ untuk beralih menjadi hidup dalam Roh. Orang yang hidup dalam Roh Kristus adalah milik Kristus. Lebih lanjut Paulus berkata: “Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran. Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.” (Rm 8:10-11). Tuhan sendiri tetap menunjukkan kuasa-Nya untuk memberi hidup baru kepada kita.

Tuhan selalu memiliki inisiatif untuk memberi hidup baru kepada manusia. Berkaitan dengan ini, nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama berusaha untuk meyakinkan bangsa Israel dengan perkataan ini: “Sungguh, Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umat-Ku, dari dalamnya, dan Aku akan membawa kamu ke tanah Israel. Dan kamu akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan, pada saat Aku membuka kubur-kuburmu dan membangkitkan kamu, hai umat-Ku, dari dalamnya. Aku akan memberikan Roh-Ku ke dalammu, sehingga kamu hidup kembali dan Aku akan membiarkan kamu tinggal di tanahmu. Dan kamu akan mengetahui bahwa Aku, Tuhan, yang mengatakannya dan membuatnya, demikianlah firman Tuhan.” (Yeh 37: 12-14).

Tuhan menguatkan dan meneguhkan kita melalui sabda-Nya. Hari Minggu Sengsara tidak menakutkan kita. Tuhan justru memberikan rasa optimisme kepada kita untuk hidup dalam Roh. Dialah yang memberikan Roh-Nya ke dalam tubuh manusia pada saat penciptaannya.Dia sendiri akan memberikan Roh-Nya untuk kehidupan baru kita. Sungguh, tubuh kita hanya diubah bukan dilenyapkan karena Roh Allah menghidupkan kita semua.

Saya menutup Homili ini dengan mengutip Santo Siprianus: “Ketika Anda telah meninggalkan kehidupan ini, tidak ada lagi tempat untuk bertobat, tidak ada lagi cara untuk mendapatkan kepuasan. Di sini kehidupan akan hilang atau dipertahankan. Di sini, dengan penyembahan kepada Allah dan dengan buah-buah iman, disediakanlah bekal untuk keselamatan yang kekal. Janganlah seorang pun dihalangi oleh dosa-dosanya atau oleh usianya untuk memperoleh keselamatan. Bagi dia yang masih tinggal di dunia ini, tidak ada pertobatan yang terlambat.” Kita bertobat untuk mendapatkan hidup baru.

P. John Laba, SDB