Homili Kamis Putih – 2023

Hari Kamis Putih
Kel 12:1-8.11-14
MT: Mzm 116:12-13.15-16bc.17-18
1Kor 11:23-26
Yoh 13:1-15

Mengasihi tanpa batas

Mengawali homili saya pada hari Kamis Putih ini, saya mengingat sebuah perkataan untuk mengenang sosok seorang ayah di dalam keluarga, bunyinya begini: “Cinta ayah itu laksana air yang mengalir tanpa henti, dan tidak kering didera musim. Ini adalah salah satu hal yang susah dibalas oleh seorang anak selama hidupnya.” Perkataan ini menginspirasi kita untuk mengerti bahwa kasih seorang ayah kepada anak-anaknya tanpa batas. Di saat baik atau tidak baik, di saat suka maupun duka, seorang ayah yang baik selalu hadir untuk menopang hidup anaknya dengan cinta kasih. Cinta kasih seorang ayah untuk keluarga tiada batasnya.

Pengalaman manusiawi ini juga membuka wawasan kita untuk mengerti lebih dalam lagi tentang kasih Tuhan kita Yesus Kristus kepada kita. Penginjil Yohanes mengawali perikop Injil yang malam hari ini kita dengar bersama bahwa Tuhan Yesus Kristus mengasihi para murid-Nya sampai tuntas, padahal Dia sendiri sudah tahu bahwa Ia akan segera beralih dari dunia ini kepada Bapa. Pada saat itu mereka sedang makan bersama. Tuhan Yesus mengajari para murid-Nya, apa artinya ‘senantiasa mengasihi’ sesama manusia. Ia membasuh kaki para murid-Nya. Perbuatan ini hanya dapat dilakukan oleh seorang hamba kepada tuannya, namun kini Yesus sang Anak Allah berlaku sebagai hamba yang membasuh kaki para murid-Nya. Yesus sang Anak Allah berlutut di depan manusia yang berdosa, dan membasuh kaki mereka. Ada Yudas Iskhariot yang mengkhianati-Nya. Ada Simon Petrus yang menyangkal-Nya tiga kali. Ada Thomas yang kurang percaya. Ada Yakobus dan Yohanes yang memiliki ambisi tertentu untuk ikut berkuasa. Ada Simon orang Zelot dan teman-temannya yang memiliki agenda tersembunyi untuk menjadikan Yesus sebagai Raja. Di depan kemanusiaan yang rapuh Tuhan Yesus sang Anak Allah berlutut dan membasuh, menguduskan mereka supaya menjadi bagian dari Yesus sendiri. Sebagaimana Yesus katakan kepada Simon Petrus: “Jika Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku.” (Yoh 13:8).

Perbuatan Yesus yakni berlutut dan membasuh kaki para murid merupakan sebuah perbuatan kasih sejati, sebuah kasih sampai tuntas. Ia mengajak para murid untuk mengikuti teladan kasih yang diberikan-Nya kepada mereka. Yesus berkata: “Jika Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki. Sebab Aku memberikan suatu teladan kepadamu, supaya kamu juga melakukan seperti yang telah Aku lakukan bagimu.” (Yoh 13: 14-15). Yesus menghendaki supaya kita mengikuti keteladanan yang diberikan-Nya kepada kita yakni saling membasuh kaki. Telapak kaki kita kotor, selalu berhubungan dengan tanah dan debu. Memang jarang sekali orang secara pribadi memperhatikan kebersihan kakinya. Mereka lebih suka meminta orang lain untuk merawat kaki mereka (pedicure), dari pada mereka merawat kakinya sendiri.

Semangat pelayanan Yesus ini menunjukkan bagaimana Ia begitu merendahkan diri di hadapan manusia dan melayani. Santo Paulus memandang sosok Yesus sebagai model kerendahan hati bagi kita semua. Ia menulis: “Yesus Kristus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib.” (Flp. 2: 5-8). Yesus sang Anak Allah menunjukkan kasih sampai tuntas dengan memberikan diri-Nya sampai tuntas bagi kita semua. Kata-kata santo Paulus ini sangat menguatkan kita semua: Mengosongkan diri, menjadi hamba, menjadi manusia, merendahkan diri, taat dan wafat di kayu salib. Kata-kata ini haruslah menjadi bagian dari hidup kita. Hidup Kristiani sejati haruslah semakin serupa dengan hidup Kristus yang digambarkan Paulus dalam suratnya ini.

Bagaimana kita mengejawantah kasih tanpa batas di dalam hidup kita?

Bacaan-bacaan liturgi pada hari ini mengarahkan kita pada satu hal yang pertama yaitu perjamuan atau makan bersama. Makan bersama di dalam hidup menggereja kita lakukan dalam merayakan Ekaristi bersama. Perjamuan Ekaristi adalah kesempatan bagi kita untuk mengenang cinta kasih Allah tanpa batas melalui pengurbanan Yesus Kristus. Santo Paulus mengungkapkan Ekaristi sebagai kenangan akan Paskah Kristus. Ia berkata: “Setiap kali kamu makan roti dan minum dari cawan ini, kamu mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang.” (1Kor 11:26). Apakah kita sungguh menyadari bahwa Ekaristi adalah kesempatan bagi kita untuk mewartakan Paskah Kristus? Tentu saja kita juga mengikat persekutuan sebagai anggota keluarga pada saat makan bersama. Pada saat ini kebiasaan makan bersama di dalam keluarga mulai ditinggalkan. Orang mulai membangun kultur makan sendiri-sendiri. Paus Fransiskus mengatakan bahwa kualitas sebuah keluarga katolik dapat terlihat dalam suasana makan bersama. Kalau pada saat makan bersama para suami dan istri masih sibuk dengan gadgetnya maka keluarga itu menunjukkan kerapuhannya. Kalau pada saat makan bersama anak-anak masih sibuk dengan gadgetnya maka keluarga itu tidak lebih dari sebuah asrama saja.

Hal kedua adalah semangat untuk saling membasuh kaki. Saling membasuh kaki menunjukkan nilai luhur saling melayani, menguduskan, mengampuni dan menerima apa adanya. Setiap anggota keluarga memiliki kelebihan dan kekurangannya. Ada yang menjadi Yudas Iskariot, ada yang menjadi Petrus, ada yang menjadi Thomas, dan lain sebagainya. Tuhan sendiri mengasihi mereka semua dan membasuh kaki mereka. Hanya saja Yudas Iskariot tetaplah seorang pengkhianat dan tidak mau berubah. Para murid yang lain berani berubah. Transformasi radikal yang mereka rasakan ketika mereka kembali kepada Tuhan dengan penuh penyesalan. Kita perlu memiliki kultur saling membasih kaki karena kita semua orang yang kotor. Kaki kita diperintah otak untuk melakukan hal-hal yang kotor, yang menajiskan tubuh kita sebagai bait Roh Kudus.

Pada hari ini kita memandang Yesus sang Imam Agung kita. Mari kita berusaha untuk bertumbuh dan mengembangkan Gereja sebagai Tubuh Mistik Kristus. Sebuah Gereja yang bertumbuh dalam kasih tanpa sekat dan batas, saling membasuh dan melayani, saling mengampuni dan menguduskan. Hidup Kristiani bermakna karena kita semua bertumbuh dalam kasih. Allah adalah kasih dan Ia mengasihi kita sampai saat terakhir.

P. John Laba, SDB