Homili Hari Minggu Biasa ke-XXXII/A – 2023

Hari Minggu Biasa XXXII
Keb. 6:13-17
Mzm. 63:2,3-4,5-6,7-8
1Tes. 4:13-18
Mat. 25:1-13

Kebijaksanaan Sebagai Terang Hidup

Satu kata penting yang menjadi permenungan pada hari Minggu Biasa ke-XXXII/A ini adalah kata Kebijaksanaan atau wisdom. Kebijaksanaan adalah kemampuan atau hasil dari kemampuan berpikir, dan bertindak dengan menggunakan pengetahuan, pengalaman, pemahaman, akal sehat, wawasan, akumulasi pengetahuan dan pencerahan. Dengan kebijaksanaan orang dapat bertindak secara produktif. Orang sering menghubungkan kebijaksanaan (wisdom) dan kecerdasan (Intelligence). Kebijaksanaan lebih berkaitan dengan kemampuan untuk memahami sifat alamiah manusia, yang paradoksal, kontradiktif, dan tunduk pada perubahan yang terus-menerus. Sedangkan kecerdasan merupakan kemampuan untuk berpikir secara logis, membuat konsep dan abstrak dari realitas.

Santo Agustinus mengatakan bahwa kesabaran adalah sahabat dari kebijaksanaan. Ia lalu menjelaskan tentang perbedaan antara kebijaksanaan dan pengetahuan. Baginya, kebijaksanaan adalah pemahaman intelektual tentang hal-hal yang kekal; sedangkan pengetahuan adalah pengetahuan rasional tentang hal-hal yang fana. Paus Fransiskus dalam sebuah Audiensi umum pada tanggal 9 April 2014 menjelaskan makna kebijaksanaan sebagai berikut: “Kebijaksanaan itu bukan sekadar kebijaksanaan manusia, sebagai buah dari pengetahuan dan pengalaman semata? Kebijaksanaan sebagai anugerah Roh Kudus adalah sebuah anugerah untuk dapat melihat segala sesuatu melalui mata Allah. Hal ini berarti melihat dunia, situasi, masalah, segala sesuatu, dengan mata Allah. Dan jelas hal ini berasal dari keintiman dengan Allah, dari hubungan seorang anak dengan Bapanya. Ketika kita berada dalam persekutuan dengan Tuhan, melalui Roh Kuduslah hati kita berubah dan kita dapat merasakan semua kehangatan dan kecenderungannya.”

Lebih lanjut Paus Fransiskus juga berkata: “Hati orang yang bijaksana memiliki cita rasa, cita rasa Allah. Kitasendiri memiliki Roh Kudus di dalam diri kita, di dalam hati kita; kita dapat mendengarkannya, atau kita dapat memilih untuk tidak mendengarkannya. Jika kita mendengarkan Roh Kudus, Dia akan mengajarkan kita jalan kebijaksaan ini, dan akan memberi kita kebijaksanaan untuk melihat dengan mata Allah, mendengar dengan telinga Allah, mengasihi dengan hati Allah, dan menghakimi dengan penghakiman Allah. Inilah kebijaksanaan yang Roh Kudus berikan kepada kita, dan kita semua dapat memilikinya.”

Menjadi pertanyaan bagi kita adalah apakah anda dan saya bijaksana dalam hidup ini? Kita semua sudah dibaptis dan menerima sakramen Krisma atau penguatan. Kita menerima Roh Kudus yang memberikan secara cuma-cuma kebijaksanaan. Maka dikatakan bahwa kebijaksanaan adalah sebuah anugerah dari Roh Kudus. Kita mengingat Raja Salomo dalam dialognya dengan Tuhan. Tuhan berkata kepada Salomo: “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu.” (1Raj 3:5). Salomo menjawab Tuhan: “Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang faham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi umat-Mu yang sangat besar ini?” (1Raj 3:9). Kebijaksanaan adalah anugerah dari Allah sendiri maka kita perlu menerimanya dan menggunakannya untuk kebaikan banyak orang.

Kebijaksanaan itu bukan sesuatu tetapi berhubungan langsung dengan pribadi Allah sendiri. Dalam bacaan pertama kita mendengar bahwa kebijaksanaan itu sungguh ada sehingga kalua orang mencarinya pasti akan menemukannya. Kebijaksanaan malah lebih dahulu memperkenalkan diri kepada orang yang menginginkannya. Kebijaksanaan itu selalu ada di depan pintu maka berbahagialah orang yang di pagi hari sudah mencarinya. Orang yang menemukan kebijaksanaan tidak akan mendapatkan kesusahan. Di sini kebijaksanaan digambarkan begitu dekat dengan setiap pribadi. Dia selalu terbuka, tanpa memandang siapakah orang itu dapat membuka diri dan menerimanya apa adanya. Kebijaksanaan sejati berasal dari Tuhan. Orang yang melakukan Sabda Tuhan dalam hidupnya akan menjadi orang yang jujur; orang yang mendengarkan dan menaati Sabda Tuhan akan menjadi orang yang tidak bercela. Kejujuran dan tidak becela di mata Tuhan tidak mungkin terjadi tanpa pengetahuan dan kebijaksanaan Tuhan sendiri; pengetahuan dan kebijaksanaan ini datang langsung dari mulut-Nya.

Tuhan Yesus mengejawantah kebijaksanaan dalam konteks persiapan diri untuk menyambut kedatangan Tuhan. Ia memberi perumpamaan tentang sepuluh gadis terpilih yang siap untuk menyambut kedatangan sang mempelai. Di antara mereka ada lima gadis yang bijaksana karena mereka membawa pelita dan minyak, sedangkan lima gadis yang lainnya hanya membawa pelita. Dari cerita Injil ini kita langsung membedakan mana yang bijaksana dan mana yang tidak. Kebijaksanaan lalu menjadi terang bagi kita untuk menyiapkan diri dalam menyambut kedatangan Tuhan.

Tuhan Yesus sedang berbicara dengan para murid tentang Kerajaan Allah dan bagaimana sesungguhnya menerima Kerajaan Allah ini. Satu hal yang penting di sini adalah kebijaksanaan untuk berjaga-jaga dari para sahabat mempelai, bersiap sedia menyambut Yesus sang mempelai sejati. Orang tidak hanya memiliki pelita tanpa minyak tetapi memiliki keduanya supaya dapat menyongsong kedatangan Tuhan sang mempelai yang saat kedatangannya tidak dapat diprediksi manusia. Pelita yang menyala dan minyak adalah Bahasa kebijaksanaan untuk memahami Sabda Tuhan. Kita membaca di dalam Kitab Mazmur: “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mzm 119:105). Tuhan Yesus sendiri berkata: “Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” (Mat 5: 14-16). Minyak adalah simbol Roh Kudus, sumber kebijaksanaan yang mengajar dan mengingatkan kita akan Yesus.

Kebijaksanaan menuntun kita hingga keabadian. Kebijaksanaan membuat kita berjaga-jaga, mawas diri hingga kedatangan sang Terang yaitu Yesus, Anak Allah, sang mempelai sejati. Santo Paulus dalam bacaan kedua mengatakan: “Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” (1Tes 4:14). Kebijaksanaan selalu berada di depan kita dan akan membantu kita untuk mengalami kebahagiaan abadi setelah kita ‘tertidur’ selamanya.

Saya mengakhiri homili ini dengan sebuah doa memohon kebijaksanaan kepada Allah Roh Kudus:

Ya Allah Roh Kudus, kami berdiri di hadapan-Mu, seraya menyadari kelemahan dan kerentanan kami, namun kami menyadari bahwa kami berkumpul di dalam nama-Mu. Datanglah kepada kami, tinggallah bersama kami, dan terangi hati kami. Berikanlah kami terang dan kekuatan untuk mengetahui kehendak-Mu, menjadikannya kehendak kami, dan menghidupinya dalam hidup kami.

Bimbinglah kami dengan kebijasanaan-Mu, dukunglah kami dengan kuasa-Mu, karena Engkaulah Allah, yang berbagi kemuliaan Bapa dan Anak. Engkau menghendaki keadilan bagi semua orang: mampukanlah kami untuk menegakkan hak-hak orang lain; jangan biarkan kami disesatkan oleh ketidaktahuan atau dirusak oleh rasa takut atau kebaikan. Satukanlah kami dengan diri-Mu dalam ikatan kasih dan jagalah kami agar tetap setia pada segala sesuatu yang benar. Ketika kami berkumpul dalam nama-Mu, kiranya kami dapat menegakkan keadilan dengan kasih, sehingga hidup kami berkenan kepada-Mu. Semoga para hambamu mendapatkan pahala yang dijanjikan kepada mereka yang baik dan setia. Amen.

P. John Laba, SDB