Homili Hari Minggu Kerahiman Ilahi – 2024

HARI MINGGU PASKAH II
Minggu Kerahiman Ilahi
Kis. 4:32-35
Mzm. 118:2-4,16ab-18,22-24
1Yoh. 5:1-6
Yoh. 20:19-31

Kerahiman Allah sungguh nyata

Kita merayakan Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Hari Minggu Kerahiman Ilahi sebelumnya dikenal dengan sebutan Minggu Putih, Dominica in albis, atau Minggu Santo Tomas yang dirayakan sebagai hari terakhir Oktaf Paskah sekaligus Hari Minggu Paskah II. Perayaan Hari Minggu Kerahiman aslinya berdasark pada devosi Gereja Katolik kepada Tuhan Yesus Kerahiman Ilahi sebagaimana disebarluaskan oleh Santa Faustina Kowalska. Dalam sejarahnya, Tuhan Yesus menampakkan diri kepada St. Faustina pada tahun 1931. Ketika itu, Tuhan menghendaki supaya umat manusia datang mendekati hati-Nya yang Maharahim. St. Faustina menunjukkan cara-cara menghayati devosi kerahiman ilahi yakni menghormati gambar kerahiman ilahi, mendoka doa koronka, merayakan hari Minggu Kerahiman Ilahi dan mendoakan novena kerahiman ilahi, berdoa pada saat atau jam kerahiman (kurang lebih jam 15.00), menyebar luaskan devosi kepada semua orang di seluruh dunia. Devosi kepada kerahiman ilahi selanjutnya diresmikan oleh Paus Yohanes Paulus II, bertepatan dengan hari kanosiasi Santa Faustina, rasul kerahiman ilahi, pada hari Minggu (30/04/2000) di Vatikan. Paus meminta agar sejak pengumuman itu, Gereja katolik di seluruh dunia merayakan hari Minggu Paska II sebagai hari Minggu Kerahiman Ilahi.

Santo Yohanes Paulus II adalah sosok yang sangat mencintai Tuhan Yesus Kerahiman Ilahi dan santa Faustina. Ia pernah menulis tentang kerahiman Allah di dalam Dives in Misericordia seperti ini: “Kristus mencurahkan kerahiman ini kepada umat manusia melalui pengutusan Roh yang … adalah Cinta. Dan bukankah kerahiman adalah ‘nama kedua’ dari cinta kasih (Dives in Misericordia, 7), yang dipahami dalam aspeknya yang paling dalam dan paling lembut, dalam kemampuannya untuk memikul beban dari setiap kebutuhan dan, terutama, dalam kapasitasnya yang luar biasa untuk mengampuni?” Permenungan santo Yohanes Paulus II ini kiranya terinspirasi dari kisah Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Ketika Ia menampakkan diri kepada para murid-Nya, Ia memberikan damai sejahtera-Nya kepada mereka dan mengutus mereka sebagai pembawa damai. Ia juga memberi mereka Roh Kudus dengan pesan: “Ia mengembusi mereka dan berkata: “Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” (Yohh 20:22-23).

Kerahman Allah menjadi nyata dalam pengalaman santo Thomas Rasul. Dia dilabel sosok rasul yang kurang percaya karena terlalu kritis namun ia berubah karena mengalami kerahiman Allah di dalam diri Yesus. Tuhan Yesus sendiri mengoreksinya sehingga Ia mengakui imannya dengan berkata: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh 20:28). Tentu saja pengakuan iman yang berawal dari keraguan ini menjadi sempurna karena pengalaman kasih dan dikasihi.

Pengalaman kerahiman adalah pengalaman kasih. Santo Yohanes dalam bacaan kedua mengatakan: “Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari pada-Nya. Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintah-Nya.” (1Yoh 5:2-3). Pengalaman Thomas mengoreksi kita untuk kembali kepada Tuhan dan hidup sebagai manusia baru. Kita perlu percaya sehingga sungguh mengalami lahir dari Allah dalam pertobatan kita. Tuhan Yesus ketika menampakkan diri kepada santa Faustina mengatakan bahwa Kerahiman Ilahi menjangkau manusia melalui hati Kristus yang tersalib: “Putri-Ku, katakan [kepada semua orang] bahwa Aku adalah Sang Kasih dan Sang Kerahiman sendiri”. (BHSF, 1074).

Kerahiman Allah sungguh nyata karena memiliki daya mempersatukan. Kita mengingat semangat Gereja perdana yang memiliki semangat sehati dan sejiwa. Mereka juga memiliki kemampuan untuk saling berbagi tanpa mengklaim hal kepemilikan barang. Perhatikan kesaksian dari santo Lukas ini: “Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorangpun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.” (Kis 4:32). Semangat sehati dan sejiwa, habitus saling berbagi dalam hidup adalah wujud nyata kerahiman Allah di dalam hidup kita. Tuhan telah memberi dengan cuma-cuma maka kita pun siap untuk memberi dengan cuma-cuma pula.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip santa Faustina: “Segala rahmat mengalir dari kerahiman, dan saat terakhir pun akan penuh dengan kerahiman bagi kita. Hendaknya tidak seorang pun meragukan kebaikan Allah; juga kalau dosa-dosanya sehitam malam kelam. Kerahiman Allah lebih besar daripada kepapaan kita. Hanya satu hal yang perlu, yakni agar pendosa membiarkan pintu hatinya terbuka meskipun sangat kecil, untuk membiarkan sinar rahmat Allah yang maharahim masuk; kemudian, selebihnya akan dikerjakan oleh Allah.” (BHSF, 1507). Mari kita mengejawantah kerahiman Tuhan dengan menjadi teladan dan menjadi contoh yang cemerlang tentang kekuatan kerahiman yang dapat menyembuhkan luka, mengampuni kesalahan, dan membawa keharmonisan dalam keluarga dan masyarakat.

Bersama santa Faustina, mari kita berdoa: “Oh, kalau saja jiwa-jiwa mau mendengarkan, sekurang-kurangnya sedikit, suara hati nurani dan bisikan – yakni, bisikan-bisikan – Roh Kudus! Aku katakan “sekurang-kuranya sedikit,” sebab sekali kita membuka diri terhadap pengaruh Roh Kudus, Ia sendiri akan menggenapi apa yang kurang dalam diri kita.” (BHSF: 359).

P. John Laba, SDB