Homili 11 Maret 2021

Hari Kamis Pekan III Prapaskah
Yer. 7:23-28;
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9;
Luk. 11:14-23

Mendengar Tuhan

Kita sedang berziarah bersama Tuhan dalam masa Prapaskah ini. Saya merasa yakin bahwa meskipun kita berada dalam masa pandemi namun semangat untuk mengisi masa prapaskah dan menyongsong Hari Raya Paskah tidak dihalangi oleh pandemi covid-19. Kita semua percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang indah dan tetap menjadikan kita sebagai pribadi yang lebih dari pemenang (Rom 8:37). Maka hingga saat ini, meskipun ada banyak saudara kita dipanggil Tuhan untuk menikmati kebahagiaan abadi, kita sendiri masih berziarah, masih bergumul untuk menjadi lebih dari pemenang. Selama masa prapaskah, kita semua diingatkan untuk tetap giat dalam hidup doa kita. Kita berusaha untuk berdoa lebih baik lagi. Kita mengangkat hati dan pikiran kita kepada Tuhan dan bersatu dengan-Nya. Hal kedua yang kita lakukan adalah dengan berpuasa. Berpuasa adalah tanda pertobatan kita. Saat di mana kita mengoyakan hati kita untuk layak bagi Tuhan, bukan mengoyakan lahiria semata. Dan yang terakhir kita beramal kasih. Dalam masa prapasakah ini kita melakukan semangat berbagi sebagai tanda kepedulian kita kepada sesama manusia.

Di samping ketiga hal yang disebutkan di sini, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah semangat untuk bersatu dengan Tuhan dalam Sabda. Masa prapaskah menjadi kesempatan di mana kita semakin tekun membaca, mendengar, merenungkan dan melakukan Sabda. Dalam kesempatan pendalaman iman, sebenarnya kita memperkaya iman kita dengan Sabda. Komunitas-komunitas melakukan Lectio Divina, ada yang lain mengadakan sharing Kitab Suci. Sabda Tuhan memiliki daya perubah yang sangat luar biasa. Sabda mengubah hidup kita dari kegelapan kepada terang sejati. Maka ada dua hal yang penting berkaitan dengan Sabda yakni kemampuan untuk mendengar dan kemampuan untuk melakukan Sabda. Ketika kita mendengar Sabda Allah maka kita dengan sendirinya mengalami Allah yang berbicara dari jati ke hati dengan kita. Kita juga menjadi satu komunitas yang mendengar Sabda yang sama dan pada akhirnya kita menjadi rasul dari Sabda itu sendiri. Namun kita tidak hanya menjadi pendengar Sabda saja. Kita juga harus menjadi pelaku Sabda. Santo Yakobus menasihati kita: “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri. Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin. Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.” (Yak 1:22-24).

Pada hari ini Tuhan menasihati kita untuk menjadi pendengar setia Sabda Tuhan. Melalui nabi Yeremia Tuhan berkata: “Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!” (Yer 7:23). Ini adalah kehendak Tuhan bagi kita di masa prapaskah ini. Kita sebagai anak-anak Tuhan menunjukkan cinta kita kepada-Nya dengan mendengar suara-Nya. Kalau kita mendengar suara Tuhan maka Ia benar-benar menjadi Allah yang mengasihi kita apa adanya dan kita menjadi umat kesayangan-Nya. Dengan mendengar suara Tuhan maka kita mencapai kebahagiaan.

Satu titik kelemahan manusiawi kita adalah ketidakmampuan kita untuk mendengar suara Tuhan. Tuhan sendiri mengatakan kepada bangsa Israel: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!” (Mzm 95:7-8; Ibr 4:7). Bangsa Israel pernah berkeras hati dan tidak mau mendengar suara Tuhan. Mereka bahkan mencobai Tuhan. Sikap ini tentu masih ada sampai saat ini. Kita pun sering tidak mendengar suara Tuhan dan berkeras hati juga mencobai Tuhan Allah. Apa yang kita lakukan saat ini tepat dengan perkataan Tuhan melalui nabi Yeremia yakni: “Mereka (bangsa Israel) tidak mau mendengarkan dan tidak mau memberi perhatian, melainkan mereka mengikuti rancangan-rancangan dan kedegilan hatinya yang jahat, dan mereka memperlihatkan belakangnya dan bukan mukanya.” (Yer 7:24). Kita masih mengalami kesulitan untuk mendengar, hati kita degil dan tidak memperlihatkan muka kepada Tuhan melainkan belakang kita. Kalau saja kita tidak bertobat maka perkataan Tuhan melalui Yeremia ini benar-benar sempurna: “Inilah bangsa yang tidak mau mendengarkan suara Tuhan, Allah mereka, dan yang tidak mau menerima penghajaran! Ketulusan mereka sudah lenyap, sudah hapus dari mulut mereka.” (Yer 7:28).

Mari kita memeriksa bathin kita selama masa prapaskah ini. Betapa lemahnya hidup kita sebagai anak-anak Tuhan yang ingin menang sendiri, bahkan dalam hubungan dengan Tuhan. Maka yang terjadi adalah kita bersikap keras hati, tegar tengkuk, tidak mendengar suara Tuhan. Dengan orang yang kelihatan saja kita sulit untuk mendengar apalagi dengan Tuhan yang tidak kelihatan, padahal semakin kita mendengar kita akan semakin patuh dan semakin kita patuh, kita akan mampu mengasihi.

Dalam bacaan Injil, Tuhan menunjukkan diri sebagai sosok yang hadir untuk menyembuhkan. Ia menyembuhkan orang yang bisu karena dirasuk setan. Sebab itu si bisu menjadi sembuh dan dapat berkata-kata. Ini tentu mengherankan banyak orang. Ada yang menanggapi dengan positif yakni mengapresiasi dan memuliakan Tuhan, ada juga yang melawan perbuatan baik yang dilakukan Yesus. Mereka menganggap bahwa Yesus melakukan mukjizat ini dengan kuasa penghulu setan (Beelzebul). Sikap orang-orang ini memang selalu muncul karena mereka tidak mendengar Tuhan dalam hidupnya. Maka sikap yang menonjol adalah tidak mengapresiasi perbuatan baik orang lain, dalam hal ini Tuhan Yesus. Kita butuh kekuatan Tuhan melalui kemampuan mendengar suara-Nya sehingga lebih siap untuk merayakan Paskah.

P. John Laba, SDB