Homili 2 Juli 2022

Hari Hari Sabtu Imam, Pekan Biasa ke-XIII
Am. 9:11-15
Mzm. 85:9,11-12,13-14
Mat. 9:14-17

Tetaplah sahabat mempelai!

Ada seorang biarawati yang bersyukur karena merayakan Hari Ulang Tahun hidup membiaranya yang ke-25, biasa dikenal dengan sebutan ‘Perak Membiara’. Dalam sambutannya ia mengatakan: “Saya bersyukur kepada Tuhan karena Ia juga memilih saya menjadi salah satu sahabat mempelai yang siap melayaninya dengan sukacita. Kalian juga adalah sahabat mempelai yang melayani Tuhan dengan cara yang Tuhan tunjukkan kepadamu.” Semua hadirin saling melihat dan tersenyum karena mungkin baru saat itu mereka sadar diri sebagai sahabat mempelai atau sahabat Yesus Kristus. Mungkin saja banyak di antara kita yang belum sadar diri sebagai sahabat mempelai atau sahabat Yesus sang mempelai. Para rasul dan kita yang sudah dikuduskan dalam sakramen pembaptisan adalah para sahabat mempelai.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Yesus yang sangat indah. Pada suatu kesempatan Yesus dikunjungi oleh para murid Yohanes Pembaptis. Ketika itu mereka bertanya kepada-Nya: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (Mat 9:14). Para murid Yohanes Pembaptis berpegang teguh pada adat istiadat bangsa dan agama Yahudi. Berpuasa dan berpesta menjadi dua hal yang penting dalam kehidupan mereka. Sebagai orang Yahudi, mereka sangat mengobservasi kegiatan keagamaan ini: berpuasa pada waktu-waktu tertentu. Ada puasa lengkap yakni puasa Tisha Pave, dalam hal ini puasa yang dimulai dari matahari terbenam sampai gelap pada malam berikutnya. Jenis puasa lengkap yang lain adalah Yom Kippur atau puasa hari pendamaian. Ada juga puasa-puasa ringan yang belangsung dari pagi sampai malam. Misalnya puasa Gedaliah, puasa sepuluh Tivit, puasa Shiva Asar B’Tammuz dan puasa Paskah. Masih ada juga jenis -puasa-puasa yang lain. Hal terpenting adalah orang-orang menyadari dan dengan bebas menjalankan puasanya ini. Para murid Yohanes Pembaptis dan orang-orang Farisi mengobservasi semua ini dengan bangga. Sebab itu mereka bertanya-tanya kepada Yesus dan seolah-olah memaksa Yesus dan para murid-Nya untuk melakukannya di pastoran.

Apa yang dilakukan Yesus dan para murid-Nya? Mereka tidak berpuasa seperti kebanyakan orang Yahudi saat itu, termasuk para murid Yohanes dan para ahli Taurat. Sebab itu Yesus berkata kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berdukacita selama mempelai itu bersama mereka? Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” (Mat 9:15). Pertanyaan bagi kita adalah siapakan sahabat mempelai itu dan siapakan mempelainya? Tuhan Yesus di sini menyebut diri-Nya sebagai mempelai dan para murid atau Gereja masa kini adalah sahabat-sahabat Yesus sang mempelai sejati. Maka ketika mempelai ada bersama sahabat-sahabat-Nya maka yang adalah sukacita. Tinggal dan merasakan kasih setia Tuhan adalah hal yang sangat indah bagi kita semua. Itu adalah sukacita kita. Namun paskah Kristus akan membuat kita sedih dan meratap karena sang mempelai akan diambil dari kehidupan nyata para rasul. Ada bersama Tuhan berarti ada sukacita. Jauh dari Tuhan maka kita tidak memiliki makna hidup.

Persahabatan dengan Tuhan juga pernah dialami oleh nabi Amos yang kita dengar dalam bacaan pertama. Perhatikan perkataan Tuhan melalui nabi Amos: “Sesungguhnya, waktu akan datang, bahwa pembajak akan tepat menyusul penuai dan pengirik buah anggur penabur benih; gunung-gunung akan meniriskan anggur baru dan segala bukit akan kebanjiran. Aku akan memulihkan kembali umat-Ku Israel: mereka akan membangun kota-kota yang licin tandas dan mendiaminya; mereka akan menanami kebun-kebun anggur dan minum anggurnya; mereka akan membuat kebun-kebun buah-buahan dan makan buahnya. Maka Aku akan menanam mereka di tanah mereka, dan mereka tidak akan dicabut lagi dari tanah yang telah Kuberikan kepada mereka,” firman Tuhan, Allahmu.” (Am 9:13-15). Buah persahabatan dengan Tuhan adalah pengalaman kasih yang mendalam. Situas yang chaos mengalami pemulihan sehingga yang ada adalah sukacita.

Persahabatan yang mendalam dengan Tuhan. Sebuah persahabatan yang tidak saling merugikan satu sama lain. Tuhan menyapa dan mengubah hidup kita melalui nabi Amos. Dia menghendaki supaya kita hidup sesuai dengan jalan-jalan Tuhan. Kita adalah sahabat Yesus sang mempelai sejati. Sebagai sahabat mempelai, kita perlu bersukacita dalam hidup ini. Apapun hidup kita tetaplah bersukacita. Raja Daud pernah berkata: “Bersukacitalah dalam Tuhan dan bersorak-soraklah, hai orang-orang benar; bersorak-sorailah, hai orang-orang jujur!” (Mzm 32:11). Atau sebagaimana dikatakan sendiri oleh Santo Paulus: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.” (Flp 4:4-7).

Buah dari persahabatan adalah sukacita bukan dukacita. Pesan menarik dari Pebisnis Amerika Bernama Thomas J. Watson sangatlah bermakna bagi kita: “Jangan mencari kawan yang membuatmu merasa nyaman, tetapi carilah sahabat yang akan memaksamu untuk terus berkembang”. Kitalah sahabat Yesus, carilah Yesus dan bersahabat dengan Dia.

P. John Laba, SDB