Homili 16 Agustus 2022 – Hati dan Harta

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XX
Yeh. 28:1-10
MT Ul. 32:26-27ab,27cd-28,30,35cd-36d
Mat. 19:23-30

Hati dan Harta

Saya selalu mengingat nasihat Yesus dalam Kotbah-Nya di bukit Sabda Bahagia. Ketika itu Ia berkata kepada para murid-Nya untuk selalu mawas diri terhadap harta duniawi yang fana atau bersifat sementara saja. Inilah perkataan-Nya: “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Mat 6:21). Tuhan Yesus memang mengenal hati para murid-Nya yang begitu mudah melekat pada harta duniawi sehingga dapat menjauhkan diri mereka dari Tuhan. Hati dan harta manusia mudah sekali menyatu sehingga manusia dapat menghalalkan semua cara untuk mendapatkannya. Manusia bisa bertindak jahat seperti mencuri, melakukan korupsi berjamaah, membunuh sesamanya untuk mendapatkan harta karena hatinya sudah melekat pada harta. Bagaimana mengatasi ketamakan untuk mendapatkan harta? Tuhan Yesus berkata: “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Mat 6:33-34).

Orang-orang di kampung saya pernah mengatakan sebuah ungkapan singkat: “Mati tidak bawa le”. Ketika itu orang memilih bersenang-senang, menikmati hasil keringatnya, berbagi dengan sesama karena mereka memiliki sebuah kesadaran sederhana bahwa segala yang kita miliki hanya sementara saja, ketika meninggal dunia ternyata kita tidak membawa apa-apa untuk menghadap sang pencipta. Tepatlah perkataan Ayub ini: “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” (Ayub 1:21). Sebuah bentuk kepasrahan yang total kepada Tuhan. Suatu sikap yang terbentuk adalah menguasai hati dan harta. Sebuah kepasrahan kepada sang Pencipta bukan kepada ciptaan-Nya.

Adalah Khalil Gibran. Penulis kenamaan Libanon ini pernah mengungkapkan dirinya melalui perkataan ini: “Manusia mencengkeram harta kekayaan yang membekukan bagai salju, namun obor cinta kasih senantiasa kucari, agar nyala apinya menyucikan hatiku dan menghanguskan benih penyakit kedurhakaan. Karena himpitan kebendaan membunuh manusia, pelan tanpa derita, cinta kasih membuatnya terjaga, dan perih menghidupkan kepekaan jiwa.” Terkadang sadar atau tanpa sadar kita menjadi manusia durhaka yang lebih mementingkan harta dan mengabaikan cinta kasih kepada sesama. Hati kita beku bagai salju. Tidak ada nyala obor kasih yang mengubah hati kita yang beku karena kita menutup diri. Kita perlu berbuat kasih karena Tuhan dan sesama juga mengasihi kita apa adanya.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus dalam Injil Matius. Setelah berbicara dengan orang muda yang baik karena patuh pada ajaran agama dan perintah Tuhan, ternyata hatinya masih melekat pada harta kekayaan yang membuatnya susah untuk melepaskan diri dari cengkraman kekayaan dan mengikuti Tuhan dari dekat, Tuhan Yesus lalu mengatakan kepada para murid-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sukar sekali bagi seorang kaya untuk masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah.” (Mat 19:23-24). Mengapa orang kaya begitu sukar masuk ke dalam kerajaan sorga? Karena hatinya melakat pada harta yang dimilikinya bahkan melupakan sang Pencipta.

Tentu saja tidak semua orang kaya itu melekat pada harta kekayaannya. Ada orang kaya yang murah hati, suka berbagi dan memperjuangkan hak-hak hidup sesamanya. Orang kaya itu memberi tanpa pamri atau hitung-hitungan. Ada orang kaya yang memberi dengan tangan kanan dan tangan kiri langsung mengetahuinya. Ada kaya yang pelit karena dia takut menjadi orang miskin. Semua tipe orang kaya ini ada di dalam diri kita dan diri sesama yang lain. Pikirkanlah situasi dalam hidup menggereja di masa pandemi. Ada begitu banyak orang yang murah hati dan saling berbagi, tetapi ada juga orang tertentu yang tidak peka terhadap kebutuhan sesama manusia. Hati dan harta sungguh terlihat di sini: manakah orang yang memiliki hati dan harta, manakah orang yang memiliki hati dan manakah orang yang memiliki harta saja.

Sosok Petrus selalu menunjukkan keunikan dalam berkomunikasi dengan Tuhan. Ia bertanya kepada Yesus: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Tuhan Yesus memandang Petrus dengan kasih dan berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal. Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.” (Mat 19:28-30).

Apa yang saya rasakan selama 33 tahun di dalam sebuah komunitas biara dari tahun 1989 sampai 2022 ini? Perkataan Tuhan Yesus ini sungguh terjadi dan saya mengalaminya. Selama 33 tahun ini saya berani meninggalkan segalanya, menjaga hati dan harta dan ternyata saya menerima bukan hanya seratus kali lipat tetapi lebih dari seratus kali lipat sambil menatap hidup kekal yang Tuhan janjikan. Selama masa pembinaan saya sebagai calon imam, betapa banyak orang yang dengan caranya sendiri memberikan dukungan doa dan materil. Dari sejak saya menjadi imam selalu saja ada orang Samaria yang menunjukkan kasih-Nya kepadaku. Saya berani mengatakan bahwa Tuhan sudah memberi kepada saya lebih dari seratus kali lipat dan saya semakin mengasihi Dia dengan hati yang tak terbagi. Terima kasih Tuhan, Engkau menjaga hatiku untuk tidak terikat pada harta. Terima kasih Tuhan karena Engkau menyadarkan saya untuk setia mengikuti-Mu dari dekat.

P. John Laba, SDB