Homili HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-77 tahun 2022

HARI RAYA KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Sir. 10:1-8
Mzm. 101:1a,2ac, 3a,6-7
1Ptr. 2:13-17
Mat. 22:15-21

Hidup sebagai orang merdeka

Pada tanggal 17 Agustus 2022 ini, masyarakat dan bangsa Indonesia bersyukur kepada Tuhan karena boleh merayakan Hari Ulang Tahun kemerdekaannya yang ke-77. Tidak terasa 77 tahun berlalu, penuh dengan perjuangan yang tidak mudah oleh setiap anak bangsa untuk mengisi kemerdekaan NKRI. Saya teringat pada Bapak Pendiri bangsa ini yakni Bapak Soekarno yang mengatakan begini: “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetap merdeka, daripada makan bistik tapi budak.” Bagi saya perkataan ini super sekali dan ini juga yang menjadi cita-cita dan harapan bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan Bapak Joko Widodo.

Dalam pidato kenegaraan tahun ini, ia menggambarkan capaian-capaian yang positif bangsa Indonesia di tengah pergumulan dunia dan krisisnya. Dua contoh yang diberikannya adalah: Indonesia termasuk negara yang berhasil mengendalikan pandemi Covid-19, termasuk lima besar negara dengan vaksinasi terbanyak di dunia, dengan 432 juta dosis vaksin telah disuntikkan. Inflasi juga berhasil dikendalikan di kisaran 4,9 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata inflasi ASEAN yang berada di sekitar 7 persen. Jauh di bawah inflasi negara-negara maju yang berada di sekitar 9 persen.” Ini menunujukkan bahwa bangs akita bukan bangsa tempe. Mawas diri dan perjuangan untuk mengisi kemerdekaan itu tetap perlu dan harus. Pada bagian terakhir pidato kenegaraannya, Bapak Joko Widodo mengatakan: “Marilah kita bersatu padu, untuk Indonesia Maju. Indonesia pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat.” Perkataan yang sangat memotivasi kita sebagai anak bangsa untuk bersatu padu mewujudkan Indonesia yang maju.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini meneguhkan kita semua untuk hidup sebagai orang merdeka bukan sebagai budak. Kitab Putra Sirak yang kita dengar bersama dalam bacaan pertama mengarahkan perhatian kita pada sosok pemerintah atau pemimpin. Mereka adalah orang-orang pilihan yang diberikan kepercayaan untuk memimpin dengan penuh tanggung jawab. Pemimpin itu harus menunjukkan sikap arif dan bijaksana dalam mengatur ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Pemimpin yang bijak akan meletakkan dirinya di atas telapak tangan Tuhan dan dengan demikian dapat menjadi teladan bagi banyak orang. Hal-hal yang perlu dihindari seorang pemimpin adalah membenci, egois dan sombong. Maka nasihat yang tepat bagi para pemimpin adalah: “Hendaklah engkau tidak pernah menaruh benci kepada sesamamu apapun juga kesalahannya, dan jangan berbuat apa-apa terpengaruh oleh nafsu.” (Sir 10:6).

Dalam bacaan kedua santo Petrus memberi petuah yang sangat berharga bagi pemimpin dan masyarakat. Hal pertama yang harus dilakukan dalam hidup bersama adalah kepatuhan kepada para pemimpin. Di rumah masing-masing ada kepala keluarga. Kepala keluarga yang harus kreatif untuk memperhatikan dan membangun keluarganya. Di lingkungan yang lebih luas sangat dibutuhkan pemimpin yang pro rakyat dan diharapkan rakyat juga mematuhi pempinnya. Santo Petrus berkata: “Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik.” (1Ptr 2:13-14). Warga negara yang baik bukan hanya menuntut haknya semata, namun dia harus menunjukkan sikap sebaga warga negara yang patuh dan menghormati para pemimpinnya. Kita mengingat perkataan John Fitzgerald Kennedy ini: “Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu.”

Selanjutnya, Santo Petrus menasihati kita semua: “Hiduplah sebagai orang merdeka dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.” (1Ptr 2:16). Orang yang merdeka akan mengutamakan kebaikan bersama bukan saling menghancurkan satu sama lain. Orang merdeka akan menjauhkan diri dari bahaya-bahaya laten yang memisahkan satu sama lain, radikalisme agama-agama, separatism dan lain sebagainya. Kita semua harus merasa bahwa hidup di dunia ini hanya sementara saja. Santo Paulus berkata: “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat.” (Flp 3:20).

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil mengingatkan kita semua untuk hidup sebagai warga negara yang baik, yang mengetahui tugas dan tanggung jawabnya. Tuhan Yesus sendiri membayar pajak supaya tidak menimbulkan percekcokan di dalam masyarakat. Tuhan Yesus saja membayar pajak. Penginjil Matius bersaksi bahwa Tuhan Yesus berkata kepada Petrus: “Tetapi supaya jangan kita menjadi batu sandungan bagi mereka, pergilah memancing ke danau. Dan ikan pertama yang kaupancing, tangkaplah dan bukalah mulutnya, maka engkau akan menemukan mata uang empat dirham di dalamnya. Ambillah itu dan bayarkanlah kepada mereka, bagi-Ku dan bagimu juga.” (Mat 17:27). Maka sebagai warga negara yang baik, Yesus mengingatkan supaya memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi haknya Tuhan dan kepada Kaisar apa yang menjadi haknya Kaisar. Kita harus sadar diri bahwa kita diciptakan serupa dengan wajah Allah sendiri maka patutlah kita memberi diri kita kepada Tuhan. Kita masih berada di dunia ini maka kita juga mematuhi pemimpin-pemimpin kita.

Saya mengakhiri homili kemerdekaan ini dengan mengutip perkataan Bapak Pendiri Republik ini: “Merdeka hanyalah sebuah jembatan, walaupun jembatan emas, di seberang jembatan itu jalan pecah dua: satu ke dunia sama rata sama rasa, satu ke dunia sama ratap sama tangis!” Kemerdekaan menjadi jembatan emas untuk membangun budaya keadilan di antara kita. Untuk itu dengan mengutip pidato kenegaraan Bapak Joko Widodo pada HUT ke-77 kali ini: “Pemenuhan hak sipil dan praktik demokrasi, hak politik perempuan dan kelompok marjinal, harus terus kita jamin. Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, tanpa pandang bulu. Keamanan, ketertiban sosial, dan stabilitas politik adalah kunci. Rasa aman dan rasa keadilan harus dijamin oleh negara, khususnya oleh aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.” Sekali lagi: “Marilah kita bersatu padu, untuk Indonesia Maju. Indonesia pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat. Dirgahayu Republik Indonesia! Dirgahayu Negeri Pancasila! Merdeka!”

P. John Laba, SDB