Uomo di Dio

Kasih melampaui batas ruang dan waktu

P. John SDBSaya memiliki seorang sahabat, dia seorang pastor paroki yang kreatif. Ia suka mengumpulkan orang-orang muda untuk melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Mereka mengunjungi penjara, panti asuhan, panti jompo, kadang pertemuan dengan para pemuda Kristen atau Muslim. Menjelang perayaan natal dan paskah mereka selalu membuat pertandingan persahabatan untuk bola kaki, bola basket dan bola voly. Semua orang merasa senang karena melalui olahraga banyak orang dari suku dan agama yang berbeda bisa bersatu. Anak-anak muda juga mulai membangun di dalam diri mereka pandangan yang positif terhadap sesama, terutama mereka yang berasal dari suku dan agama yang berbeda. Pengalaman yang menakjubkan ini pernah dinodai oleh hadirnya sekelompok anak muda lain yang berniat untuk memecah belah persekutuan yang sudah dibentuk itu. Mereka tidak menghendaki adanya pertandingan persahabatan dan kontak dengan anak-anak muda yang tidak segolongan sehingga terjadi perkelahian. Apa tanggapan dari pastor paroki? Ia menghimbau semua orang muda untuk tidak terpancing dengan situasi, tetapi mengajak mereka untuk selalu berbuat baik.

Pengalaman ini memang sederhana tetapi sangatlah bermakna. Anak-anak kalau dari masa muda sudah terbiasa dengan berpikiran positif maka mereka akan menjadi manusia yang bisa menjadi sesama bagi manusia yang lain. Namun kalau dari usia dini pikiran mereka sudah diisi dengan hal-hal yang jahat, prasangka buruk, rasa benci maka ketika mereka menjadi dewasa, mereka akan menjadi orang yang selalu berpikiran dan berbuat jahat, selalu memiliki prasangka buruk terhadap orang lain dan tentu suka membenci orang lain. Mengapa demikian? Karena perilaku mereka dipengaruhi oleh lingkungan dan kata-kata yang ditanamkan di dalam akal budi mereka. Apa untungnya kita membenci, berprasangka buruk dan berpikiran yang jahat terhadap sesama? Rasanya tidak ada keuntungan sama sekali.

Mari kita memandang Yesus Kristus, inspirator para pria katolik. Penginjil Matius mengisahkan sebuah perjalanan Yesus ke kota Kapernaum. Ada seorang perwira Romawi yang memiliki seorang hamba yang sakit lumpuh dan memohon supaya Yesus dapat menyembuhkannya. Yesus adalah seorang Yahudi, perwira romawi itu penjajah, orang asing dan kafir. Tetapi apa yang Yesus lakukan dengan permintaan perwira ini? Yesus berkata: “Aku akan datang untuk menyembuhkannya”(Mat 8:7). Yesus tidak memandang rendah orang Romawi yang adalah orang asing, tidak segolongan, penjajah yang menyusahkan orang-orang Yahudi. Yesus justru memiliki belaskasih yang besar dan mengatakan kesediaanNya untuk datang dan menyembuhkannya. Yesus meenyembuhkan hamba yang lumpuh itu.

Cinta kasih Yesus ini mencerminkan apa yang dipuji oleh St. Paulus dalam suratnya: “Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri, tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan, dan tidak mencari keuntungan sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang. Kasih tidak berkesudahan” (1Kor 13: 4-5 dst). Yesus tidak membuat perhitungan terutama kesalahan orang-orang romawi yang menjajah orang-orang Yahudi. Ia melakukan perbuatan kasih dan membuat orang asing juga memilih sikap untuk berbuat kasih. Karena kasih Yesus maka perwira Romawi itu juga menyadari dirinya sebagai orang yang tidak sempurna supaya dapat disempurnakan.

Cinta kasih itu dapat merobohkan tembok-tembok pemisah. Segala perbedaan bahkan rasa benci pun akan hilang karena cinta kasih lebih kuat dari segalanya. Banyak di antara kita yang mungkin sudah menonton Film dari Walt Disney Animation berjudul Frozen. Kisah dua bersaudara dengan keunikan masin-masing. Elsa putri raja Kerajaan Arendelle yang memiliki kemampuan luar biasa untuk menciptakan es dan salju. Pada suatu malam ia bersama adiknya bernama Ana bermain-main tetapi tanpa sadar Elsa menyihir adiknya sehingga tubuhnya menjadi beku. Orang tua mereka mencari pertolongan dan Grand Pabbie, seorang pemimpin Hindi mengatakan bahwa Elza memiliki kekuatan gaib sehingga menyihir jantung adiknya. Ana bisa disembuhkan tetapi mereka harus dikucilkan di istana. Kisah berlanjut hingga pada suatu hari Elsa diangkat menjadi ratu tetapi karena ia memiliki kekuatan gaib di dalam dirinya maka ia menyingkir ke gunung. Adiknya Ana mencarinya dan berhasil menemukannya. Tetapi sekali lagi ia kena sihir dari kakaknya. Kisah diakhiri dengan kepahlawanan Ana untuk menunjukan cinta sejatinya dengan melindungi kakaknya Elsa dari pembunuhan yang dilakukan Hans. Pengorbanan diri Ana adalah wujud kasih sejati, an act of true love.

Pada hari ini mari kita belajar dari Yesus yang merobohkan tembok pemisah dengan kasih yang sejati. Kasih itu tidak memperhitungkan kesalahan orang. Pria Katolik pasti bisa.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply