Homili 10 Agustus 2015

Pesta St. Laurensius, Martir
2Kor. 9:6-10
Mzm. 112:1-2,5-6,7-8,9
Yoh. 12:24-26

Darahnya menyuburkan benih iman!

Fr. JohnTertullianus adalah seorang penulis dan bapa Gereja yang hidup sekitar tahun 150-220. Dalam karyanya “Da Apologeticum, 50,13” ia menulis: “Darah para martir adalah benih-benih bagi iman umat kristiani yang baru.” Perkataan Tertullianus ini memang berdasarkan perjalanan Gereja pada masa hidupnya. Banyak pengikut Kristus yang siap mengurbankan dirinya untuk menderita bahkan dibunuh karena mengasihi dan mengimani Tuhan Yesus Kristus. Pada waktu itu pemahaman kemartiran identik dengan orang harus menumpahkan darah, orang siap dibunuh karena mencintai Tuhan Yesus Kristus yang diimani sebagai Tuhan dan Juru Selamat. St. Yohanes Paulus dalam Tertio Millenio Adveniente menulis, “Pada masa ini muncul kembali martir-martir di dalam Gereja, ada yang dikenal dan ada juga yang tidak dikenal namanya, seperti prajurit-prajurit tak dikenal” (no.37). Mereka menjadi martir karena mengasihi kemuliaan Allah. Selanjutnya, pemahaman makna kemartiran sedikit berubah di mana kemartiran tidak hanya berarti menumpahkan darah, tetapi kemartiran cinta kasih. Seseorang mengurbankan hidupnya karena melayani kaum papa bisa disebut martir cinta kasih.

Pada hari ini seluruh Gereja Katolik merayakan St. Laurensius, Martir. Dia adalah seorang diakon yang melayani Paus Sixtus II di Roma. Paus Sixtus II (257-258) menugaskan Laurensius untuk mengurus harta Gereja Roma dan berbagi dengan kaum miskin di kota Roma. Ia setia kepada sri paus, maka ketika Paus Sixtus ditangkap, diakon Laurensius juga berjanji untuk menemaninya sampai mati. Ia diketahui sebagai pengurus harta gereja Roma maka ia dibujuk untuk menyerahkan semuanya kepada pemerintah kota Roma. Ia sempat dibebaskan, dan menjadi kesempatan baginya untuk mengumpulkan kaum miskin di kota Roma, membagi semua harta gereja kepada mereka lalu memimpin mereka semua untuk berarak menghadap prefek kota Roma. Ia menyerahkan kaum papa kepada mereka sebagai harta Gereja. Pemerintah Roma tersinggung dan memanggang Laurensius di atas terali besi yang merah membara. Laurensius meninggal dunia dengan tubuh yang hangus, namun merasa bahagia karena “orang miskin” selalu ada di dunia dan perlu diperhatikan bukan dikuasai atau ditindas. Kematian Laurensius menjadi benih iman umat di kota Roma.

Pengajaran Tertulianus dan pengalaman kemartiran St. Laurensius membuka wawasan kita untuk mengerti maksud dan perkataan Tuhan Yesus di dalam Bacaan Injil hari ini. Tuhan Yesus berkata: “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” (Yoh 12:24). Tuhan Yesus mengenal situasi hidup orang-orang pada zaman-Nya. Mereka adalah para petani yang suka menaburkan benih gandum di ladang. Benih yang ditaburkan, masuk ke dalam tanah haruslah kering, akan mati sehingga bisa menumbuhkan benih yang baru. Dari benih yang baru itu akan menghasilkan buah berlipat ganda. Semua petani mengerti dengan baik pekerjaannya.

Dengan cara yang sama Tuhan Yesus membuat sebuah perumpamaan tentang hidup-Nya sendiri dan hidup para pengikut-pengikut-Nya. Ia juga laksana biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati sehingga menghasilkan banyak buah, demikian juga para pengikut-Nya mengikuti jalan yang sama. Ia menasihati para murid-Nya: “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situpun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.” (Yoh 12:25-26). Martir adalah orang yang tidak mencintai nyawanya di dunia ini sehingga menjadi benih bagi iman kristiani. Martir adalah orang yang melayani dan mengikuti Yesus sampai tuntas. Perkataan Yesus ini sungguh-sungguh di hayati oleh St. Laurensius. Ia berkata kepada Paus Sixtus II, “Aku akan menyertaimu ke mana saja engkau pergi. Tidak pantas seorang imam agung Kristus pergi sendiri tanpa didampingi diakonnya.”

Belajar dari St. Laurensius, kita haruslah bermurah hati kepada Tuhan dan sesama. Ia rela dibakar hidup-hidup karena setia kepada Kristus dan setia kepada kaum miskin. Ia menabur kebaikan dan kasih kepada Tuhan dan sesamanya. St. Paulus, dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus berkata, “Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2Kor 9:6-7). Ketika kita menabur kebaikan maka kebaikan itu sendiri akan datang kepada kita. Kebaikan hati itu seperti bumerang! Tuhan mengasihi orang yang suka berbagi kepada sesama.

St. Paulus juga mengatakan bahwa Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kita semua, supaya kita senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan. Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kita dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaran. Ia senantiasa memberikan segala rahmat dan pertolongan tepat pada waktunya, bagi kita semua yang berharap kepada-Nya.

Sabda Tuhan pada hari sangat kaya dan membangkitkan semangat hidup kita sebagai pengikut Kristus. Orang yang sungguh-sungguh mengimani Kristus adalah mereka yang berani berbagi bahkan menyerahkan nyawanya sendiri. Dari Kristus kita belajar, dari Kristus kita selamat.

St. Laurensius, doakanlah kami. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply