Homili 17 September 2015

Hari Kamis, Pekan Biasa XXIV
1Tim. 4:12-16
Mzm. 111:7-8,9,10
Luk. 7:36-50

Jadilah teladan bagi orang-orang percaya!

imageAda seorang sahabat yang mengakui bahwa sebagai orang tua, hal yang selalu menjadi perjuangannya adalah memberi teladan yang baik kepada anak-anak di dalam keluarganya dan juga kepada rekan-rekan kerjanya di kantor. Misalnya dalam bertutur kata ia pandai memilih kata-kata yang tepat. Kalau berbicara dengan orang, ia berpikir lebih dahulu baru berbicara. Ia mengaku selalu bersikap ramah, berusaha untuk meneguhkan hidup semua anggota keluarga dan sesama di dalam lingkungannya. Ketika mendengar sharing ini, saya membayangkan betapa banyak orang yang hidupnya tidak seperti sahabat ini. Mereka berbicara lebih dahulu baru berpikir, selalu menaruh curiga terhadap sesama. Hal yang penting di sini adalah keteladanan hidup. Artinya, bagaimana kita semua berusaha untuk memberi teladan yang baik kepada sesama manusia, terutama mereka yang masih muda atau berusia dini.

St. Paulus mengetahui bahwa Timotius sedang memiliki kesulitan dalam menghadapi ajaran-ajaran sesat. Sebagai seorang rasul, Paulus tidak membiarkan Timotius berjuang sendiri untuk mengatasi kesulitan dalam komunitasnya, terutama dalam menghadapi ajaran-ajaran sesat yang bisa menghancurkan iman. Ia justru membantu Timotius dengan nasihat-nasihat yang menguatkan dan mendewasakan. Nasihat-nasihatnya itu kita dengar bersama dalam bacaan pertama hari ini. Paulus menasihati Timotius: “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1Tim 4:12). Paulus menguatkan hati Timotius untuk berlaku sebagai seorang pemimpin jemaat. Ia harus menunjukkan kewibawaan di dalam hidupnya. Hal ini ditunjukkan dalam hidup pribadi yang matang, menjadi teladan dalam perkataan dan perilaku hidup seperti kasih, kesetiaan, dan kesucian hidup.

Paulus juga menghimbau komunitas Timotius untuk tekun dalam membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, membangun jemaat dan mengajar jemaat. Komunitas bisa hidup kalau para anggota hidup dari Sabda Tuhan. Mereka bisa membaca, merenungkan dan melakukan Sabda dalam hidup mereka. Dengan demikian jemaat bisa dibangun dengan Sabda sebagai dasarnya dan Timotius bertugas sebagai pengajarnya. Timotius juga diingatkan untuk menghayati tahbisan suci yang diterimanya melalui penumpangan tangan sidang penatua. Tahbisan suci menjadi kesempatan memperoleh kasih karunia dari Tuhan dan melakukan kasih karunia dalam pelayanan.

Pada akhirnya, Paulus juga mengingatkan Timotius untuk mawas diri dalam hal membawa dirinya dan pengajarannya. Ia tidak hanya mengajar dengan otaknya untuk berpikir tetapi juga dengan lutut untuk menyembah Tuhan yang diimani. Ia diharapkan untuk bertekun dalam segala hal. Bagi Paulus, ini adalah jalan untuk menyelamatkan diri dan semua orang yang mendengar pengajarannya. Tentu saja kembali kepada faktor keteladanan. Hal yang menarik perhatian kita adalah kemampuan Paulus untuk mendampingi Timotius supaya memberi teladan yang baik kepada semua orang.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil, memiliki sebuah pengalaman yang indah. Ia diundang untuk makan bersama di rumah seorang Farisi bernama Simon. Di kota itu terdapat seorang wanita pendosa yang mendengar bahwa Yesus berada di rumah Simon, sehingga ia pun datang dengan membawa buli-buli pualam berisi minyak wangi. Ia berada di belakang Yesus, dekat kaki-Nya, membasahi kaki Yesus dengan air mata dan menyekanya dengan rambutnya. Ia juga mencium kaki Yesus dan meminyakinya dengan minyak wangi. Simon melihat sikap wanita pendosa itu dan mulai berpikir jelek tentang Yesus yang kakinya barusan diusap dengan minyak wangi. Yesus menggunakan kesempatan ini untuk mengajar Simon dan banyak orang lain tentang seni mengampuni dari pihak Tuhan. Yesus memiliki kuasa untuk mengampuni orang-orang berdosa.

Dari bacaan Injil ini, ada tiga hal yang bisa membantu permenungan kita lebih lanjut tentang keteladanan hidup:

Pertama, berpura-pura terbuka dan kesombongan rohani. Simon orang Farisi itu kelihatan terbuka kepada Tuhan. Ia mengundang Yesus untuk makan bersama. Ia mengamat-amati perilaku Yesus dan mengajak-Nya untuk berdialog berdua dengan penuh persaudaraan. Secara kasat mata, Simon tidak memiliki sikap untuk mengadili Yesus. Tetapi nyatanya, ia berpikiran negatif terhadap Tuhan Yesus. Ia menghakimi Tuhan Yesus dalam hatinya. Sikap Simon orang Farisi adalah menguji kekuasaan Allah dalam hidup pribadi kita, khususnya cara pandang kita. Dosa yang muncul adalah kesombongan.  Kesombongan diri turut menjauhkan kita dari hadapan Tuhan dan sesama.

Kedua, Penebusan yang berlimpah. Orang-orang Farisi termasuk Simon, dibentuk dalam alam pikir mereka yang kental. Simon berpikir bahwa ia adalah orang yang tidak berdosa, dan tidak membutuhkan Penebus. Simon itu laksana orang buta yang tidak mengetahui diri dari segala noda dosa. Wanita tanpa nama mengenal dirinya sebagai orang berdosa dan memohon pengampunan kepada Tuhan. Perjalanan rohani wanita ini mencapai puncaknya ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa dosanya diampuni. Kebajikan yang harus dimiliki adalah kerendahan hati.

Ketiga, Kebaikan dari Tuhan Yesus. Tuhan Yesus tidak memilih Simon atau wanita pendosa. Ia datang dengan satu tujuan yang pasti yakni menyelamatkan semua orang. Ia tidak membenarkan Simon atau wanita pendosa tetapi kedua-duanya adalah orang berdosa yang patut diselamatkan Yesus. Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan kita dan pilihan kita adalah pada kebaikan-kebaikan-Nya.

Permenungan kita hari ini adalah tentang keteladanan. Para orang tua menunjukkan teladan hidupnya kepada anak-anak. Para pendidik menjadi teladan bagi para peserta didik. Kami para abdi Tuhan sudah meninggalkan segalanya untuk mengikuti Tuhan dari dekat. Kami juga harus memberikan teladan baik kepada umat yang kami layani. Para orang tua, guru dan para hamba Tuhan memberikan teladan yang baik sebagai bukti bahwa Tuhan ada di dalam diri mereka.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply