Homili Hari Minggu Biasa ke-XXV/B – 2015

Hari Minggu, Pekan Biasa ke-XXV/B
Keb. 2:12,17-20
Mzm. 54:3-4,5,6,8
Yak. 3:16-4:3
Mrk. 9:30-37

Melayani dan Menyambut (seperti) Yesus

imageKristenisasi atau Katolisasi. Ini adalah sebuah kata yang sering dipakai oknum tertentu untuk mengatakan tentang usaha orang-orang Kristen untuk memperkenalkan Kristus dan mengajak mereka untuk menjadi pengikut-pengikut-Nya. Orang lalu berpikir bahwa menjadi orang Kristen itu mudah sekali. Apakah pikiran dan perkataan orang ini benar? Ternyata tidak benar! Untuk menjadi orang Katolik, misalnya, orang harus melewati proses pembelajaran yang namanya Katekumen sekurang-kurangnya setahun, tidak pernah alpa dan harus lulus ujian akhir. Setiap hari minggu mereka memiliki buku daftar hadir yang perlu ditandatangani oleh pastor yang memimpin misa, mereka juga mencatat intisari homilinya. Setelah dibaptis masih ada tahap pembinaan yang disebut mistagogi selama beberapa bulan. Setelah menjadi orang katolik, umat itu harus aktif dalam hidup menggereja secara teritorial dan kategorial. Maka menjadi orang katolik itu tidak mudah! Propaganda kristenisasi atau katolisasi itu tidak selamanya benar.

Secara umum, Tuhan Yesus juga memberi syarat untuk bisa menjadi pengikut-pengikut-Nya. Yesus berkata: “Setiap orang yang mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri, memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mrk 8:34). Menjadi pengikut Kristus berarti menjadi serupa dengan-Nya dalam segala hal. Orang harus rela kehilangan jati dirinya karena mencintai Kristus. Orang harus berani mematikan keinginan yang mengikat hatinya, memiliki sikap lepas bebas supaya bisa menjadi serupa dengan-Nya. Orang harus berani memikul salib, rela berkorban supaya bisa membahagiakan orang lain. Tanpa salib, keselamatan hanyalah slogan belaka, tetapi dengan salib, keselamatan menjadi segalanya karena Tuhan sendiri menjiwai salib itu.

Pada hari Minggu ini kita berjumpa dengan sosok Yesus Tuhan kita yang begitu menyatu dengan para murid-Nya. Penginjil Markus mengisahkan bahwa setelah menampakkan kemuliaan-Nya di atas gunung yang tinggi, Yesus membawa para murid-Nya melintasi daerah Galilea. Yesus berusaha supaya orang-orang jangan mengetahui perjalanan-Nya. Mengapa Yesus berlaku demikian? Sebelumnya, Yesus sudah diakui oleh Petrus sebagai Mesias anak Allah yang hidup. Di dalam pikiran Petrus, Mesias adalah pribadi yang jaya, populer dan mempunyai power untuk mengusir kaum penjajah yakni bangsa Romawi. Ternyata pikiran manusia (Petrus) sangat berbeda dengan pikiran Tuhan Yesus. Ia justru berkata dengan terus terang: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan. Ia akan ditolak oleh tua-tua, oleh imam-imam kepala dan ahli-ahli , lalu dibunuh dan bangkit sesudah hari yang ketiga.” (Mrk 8: 31).

Pada hari Minggu ini, Tuhan Yesus tampil dan berkata kepada para murid-Nya: “Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit.” (Mrk 9: 31). Para murid mendengar semua perkataan Tuhan Yesus ini, namun mereka semua tidak mengerti maknanya. Hal in karena mereka belum menerima Roh Kudus. Meskipun mereka tidak mengerti perkataan Yesus, namun saat itu mereka justru mempersoalkan tentang siapa yang terbesar di antara mereka sebagai murid. Lihatlah, mereka tinggal bersama Tuhan Yesus Kristus namun masih memiliki ambisi tertentu. Mereka berpikir bahwa pemimpin adalah orang yang hanya mengutamakan kekuasaan semata. Maka Tuhan Yesus mengajarkan konsep kepemimpinan dengan hidup-Nya sendiri. Pemimpin adalah pelayan bukan penguasa!

Reaksi Yesus terhadap sikap para murid yang ambisius ini adalah menyadarkan mereka supaya berubah menjadi lebih dekat lagi, lebih serupa lagi dengan-Nya. Ia berkata: “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk 9:35). Tuhan Yesus tidak hanya berbicara saja. Ia menunjukkan teladan dengan setia melayani sampai tuntas. Ia berkata: “Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat 20:28; Mrk 10:45). Kita pun dipanggil untuk saling melayani. St. Petrus berkata: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1Ptr 4:10).

Supaya lebih menyadarkan mereka, Tuhan Yesus memanggil seorang anak kecil, memeluknya dan berkata: “Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku.” (Mrk 9:37). Apa maknanya? Para murid harus memiliki kebajikan kerendahan hati, hati yang transparan supaya bisa melayani seperti Tuhan sendiri melayani manusia. Para murid juga diharapkan supaya memiliki kerelaan untuk menyambut atau menerima semua orang apa adanya. Orang-orang miskin dan lemah selalu ada pada kita dan patutlah kita menerima mereka apa adanya. Banyak kali kita memilih orang-orang tertentu, yang kita sukai atau yang bisa memberi keuntungan kepada kita.

Melayani dan menerima mengandaikan pengorbanan diri yang besar di pihak kita. Kita harus memiliki semangat rela berkorban. Waktu, bakat dan kemampuan yang kita miliki di dalam diri merupakan anugerah Tuhan yang perlu kita gunakan untuk membahagiakan sesama kita. Dalam usaha untuk melayani Tuhan dan sesama, kita akan mengalami saat-saat yang membahagiakan, penuh semangat untuk melayani tanpa pamrih. Tetap ada juga saat-saat kita akan mengalami penderitaan dan kemalangan sebagaimana dialami Yesus Kristus sendiri.

Di dalam Kitab Kebijaksanaan, kita mendapat gambaran bagaimana orang-orang fasik akan selalu berusaha untuk menghalangi orang baik untuk berbuat baik kepada Tuhan dan sesama. Orang-orang baik bahkan mendapat banyak penganiayaan dan hukuman yang keji diberikan kepadanya. Di samping kekerasan fisik, kekerasan verbal juga dirasakan oleh orang-orang benar. Rasul Yakobus dalam suratnya mengatakan bahwa di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, disitu ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat. Kalau ada iri hati dan sikap egois maka orang lain menjadi sasaran kekerasan verbal. Ada gosip, kata-kata yang kasar yang tidak mencerminkan hidup kristiani sebagai pelayan sejati. Sebaliknya seorang pelayan sejati itu murni, pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan, tidak memihak dan tidak munafik. Orang yang melayani juga selalu mengarahkan hati dan pikirannya kepada Tuhan dalam doa. Tentu saja doa-doanya bukan untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan untuk memuaskan nafsunya, melainkan doa-doa itu menjadi kekuatan untuk melayani dan menerima semua orang apa adanya. Tuhan Yesus sendiri selalu berdoa, setelah melakukan karya-karya Bapada di Surga.

Mari kita mengevaluasi diri kita. Tuhan Yesus sendiri datang untuk melayani bahkan rela menyerahkan nyawa-Nya bagi kita semua. Belajar dari Yesus, marilah kita memiliki semangat rela berkorban untuk melayani Tuhan dan sesama dengan sepenuh hati. Kita diingatkan untuk meniadakan ambisi-ambisi, kesombongan, iri hati dan sikap egois yang bisa menghancurkan pelayanan-pelayanan kita dan menerima semua orang apa adanya, terutama orang-orang miskin dan lemah. Sikap yang Yesus tunjukan kepada kita hari ini: Dia jujur, bersedia menerima penghinaan, dianiaya, dibunuh secara keji di salib. Ia siap untuk diserahkan kepada manusia yang berdosa dan dibunuh. Bagaimana kita membangun sikap kristen di hadapan-Nya?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply