Homili Hari Minggu Biasa XIII/C – 2016

Hari Minggu, Pekan Biasa XIII/C
1Raj 19:16b.19-21
Mzm 16: 1-2a.5.7-8.9-10.11
Gal 5:1.13-18
Luk 9:61-62

Memandang dengan mata kerahiman Allah

imageAda seorang sahabat, memiliki ingatan-ingatan manis bersama ayahnya. Pada peringatan empat puluh hari ayahnya meninggal dunia, ia didaulat oleh saudara-saudaranya untuk memberi kesaksian pengalaman pribadinya dengan sang ayah. Ia mengaku bahwa pada suatu hari ia melakukan sebuah kesalahan dan sebenarnya ia pantas untuk dihukum karena kesalahannya itu sangat memalukan seluruh keluarga besar. Ketika ayahnya mendengar informasi itu, ia memanggilnya untuk berbicara berdua. Ia menceritakan semua perbuatannya kepada ayahnya bahkan ia rela mendapatkan hukuman dari ayahnya. Ayahnya memandang dia dengan penuh kasih dan mengatakan kepadanya bahwa ia tidak boleh mengulangi kesalahan yang sama pada kesempatan yang lain. Pandangan atau tatapan ayah itu dirasakannya penuh kasih dan mengubah seluruh hidupnya. Ia selalu berusaha untuk tidak mengulangi kesalahannya yang sama karena merasakan sendiri tatapan mata penuh kebaikan dari sang ayah.

Tatapan mata adalah salah satu bagian dari komunikasi non verbal. Memandang dan menatap dengan baik dapat membantu kita untuk berelasi dengan sesama. Tuhan Yesus mengatakan bahwa mata adalah pelita tubuh. Jika mata kita baik maka seluruh tubuh kita menjadi terang, jika mata kita jahat maka seluruh tubuh menjadi gelap (Mat 6:22; Luk 11:34). Tatapan mata merupakan ungkapan hati. Apa yang terlihat di mata merupakan gambaran hati dan jiwa, sebuah proses mental. Ungkapan kebaikan dan kejahatan dapat terpencar dari mata kita.Tatapan mata dapat mengungkapkan kualitas kasih kepada sesama manusia.

Penginjil Lukas melukiskan kehidupan Yesus dalam perkataan seperti ini: “Ketika hampir genap waktunya diangkat ke surga, Yesus mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Luk 9:51). Tuhan Yesus mengarahkan pandangan dengan mata kerahiman untuk pergi ke Yerusalem. Lukas menggambarkan perjalanan Yesus dalam Injil yakni meninggalkan Galilea dan sekitarnya menuju ke Yerusalem. Secara geografis, daerah di sekitar Galilea, letaknya sekitar 315m di bawah permukaan Laut Tengah, dan Yerusalem terletak di pegunungan yang tingginya sekitar 800m di atas permukaan laut tengah. Maka Tuhan Yesus mengarahkan pandangan dengan mata penuh kerahiman dari daerah yang rendah ke daerah yang tinggi. Dari daerah Galilea di mana Ia memulai gereja-Nya ke Yerusalem sebagai tempat lahirnya gereja yang utuh. Yerusalem menjadi kota damai, kota keselamatan kita semua.

Untuk dapat mewujudkan misi kerahiman Allah Bapa di Yerusalem, maka Ia lebih dahulu mengutus para utusan-Nya ke sebuah desa Samaria untuk mempersiapkan segala sesuatu bagi-Nya. Namun orang-orang di desa Samaria menolak kehadiran Yesus sehingga menimbulkan emosi dari anak-anak Zebedeus yakni Yakobus dan Yohanes. Di sini kita dapat melihat sisi kehidupan manusia yang jauh dari kerahiman Allah karena dikuasai emosi dan amarah dengan Yesus yang menunjukkan wajah kerahiman Allah kepada semua orang. Yesus berkata: “Kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan. Anak Manusia datang bukan untuk membinasakan orang, melainkan untuk menyelamatkannya” (Luk 9:55).

Yesus membutuhkan manusia untuk ikut terlibat dalam mewartakan kerahiman Allah. Manusia perlu memiliki mata kerahiman Allah seperti Yesus sendiri supaya dunia ini dapat diselamatkan. Sebab itu, penginjil Lukas melukiskan dinamika hidup para pengikut Yesus Kristus atau Gereja. Ada yang berjanji kepada Yesus: “Aku akan mengikuti Engkau ke mana pun Engkau pergi” (Luk 9:57). Orang boleh berjanji untuk mengikuti Yesus dari dekat namun persoalannya adalah motivasi hidup mereka. Apakah mereka sungguh-sungguh mau mengikuti Yesus atau hanya sekedar ikut meramaikan perjalanan bersama Yesus. Sebab Yesus menghendaki agar kita semua juga menunjukkan kerahiman Allah kepada semua orang. Ada juga kelompok yang mendapat ajakan Yesus: “Ikutlah Aku” (Luk 9:59). Namun orang itu masih mencari-cari alasan untuk membenarkan dirinya namun Yesus tetap menegaskan bahwa orang itu memiliki panggilan untuk ikut mewartakan Kerajaan Allah. Kelompok yang terakhir juga mau mengikuti Yesus tetapi hatinya masih terikat dengan keluarga.

Menjadi mitra kerja Yesus bukan hanya sekedar mengikuti ajakan Yesus tetapi tetap bersedia untuk melakukan segala perkataan Yesus sampai tuntas. Yesus memandang dengan mata penuh kerahiman ke Yerusalem dan menghendaki keselamatan bagi semua orang. Kita pun dipanggil untuk mengalami kerahiman Allah dan mewartakan kerahiman Allah kepada sesama manusia. Menjadi mitra itu kiranya mirip dengan pengalaman kemitraan Elisa dan Elia. Tuhan memilih sendiri pengganti Elia yaitu Elisa, putra dari Safat dari Abel-Mehola. Elia adalah nabi dan sahabat akrab Tuhan. Elisa saat itu masih bekerja sebagai petani yang sedang membajak sawah. Elia mendekati Elisa dan melemparkan jubahnya kepada Elisa. Elisa mengerti panggilan dan perutusannya sebagai nabi melalui jubah Elia. Ia mengatakan kepada Elia untuk meminta restu orang tuanya. Ijin pun diberikan kepadanya untuk berpamitan dan bersyukur lalu mengikuti Elia dalam pelayanannya.

Tuhan menghendaki agar para utusan atau nabi-Nya ikut terlibat dalam mewartakan kerahiman Allah. Ini adalah sebuah panggilan istimewa dari Tuhan. Satu hal yang diminta dari Tuhan adalah keralaan hati yang tidak terbagi sebagaimana ditunjukkan oleh Elia dan Elisa. Kitab Putra Sirakh mengatakan bahwa nabi Elia tampil bagaikan api, sabdanya membakar laksana obor. Ia mendatangkan kelaparan atas orang Israel. Api diturunkannya dari langit sebanyak tiga kali. Ia membangkitkan orang mati, menurunkan para raja dan orang tersohor dijatuhkannya dari tempat tidur. Ia menerima teguran di gunung Horeb, mengurapi para raja dan nabi. Ia diangkat ke surga dalam kereta dankuda-kuda berapi (Sir 48: 1-10). Nabi Elisa juga mendapat pujian. Ia mendapat kepenuhan roh dari Elia. Ia tidak gentar terhadap para penguasa dan tidak ada yang dapat menakulkannya. Sampai dikuburpun Elisa masih bernubuat. Ia melakukan banyak mukjizat dan ketika meninggal, pekerjaannya menakjubkan (Sir 48: 12-14).

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua mengatakan bahwa Tuhan Yesus Kristus telah memerdekakan kita, supaya kita benar-benar merdeka. Dia adalah kebenaran yang memerdekakan kita (Yoh 8:32). Kita semua dipanggil untuk menjadi orang merdeka. Sebab itu sebagai orang merdeka kita semua tidak boleh menggunakan kemerdekaan sebagai kesempatan untuk berbuat dosa melainkan saling melayani satu sama lain. Kita dipanggil untuk mengasihi sesama seperti diri sendiri. Orang merdeka itu memiliki kemampuan untuk menunjukkan kerahiman Allah dengan melayani dan mengasihi. St. Paulus mengharapkan agar kita semua dapat menjauhkan diri dari dosa. Ia berkata: “Janganlah kamu saling menggigit dan saling menelan, jangan-jangan saling membinasakan satu sama lain.” (Gal 5: 15-16). Pengikut Kristus berusaha untuk hidup dalam roh bukan hidup dalam daging.

Sabda Tuhan pada hari ini memanggil kita semua untuk hidup menyerupai Yesus Kristus. Ia memandang kita semua dengan mata penuh kerahiman. Ia memanggil kita semua untuk menjadi orang merdeka, yang hidup dalam roh dan memampukan kita untuk ikut terlibat dalam mewartakan kerahiman Allah. Semoga di tahun kerahiman Allah ini, kita menjadi utusan atau nabi kerahiman bagi semua orang.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply