Homili 2 September 2016

Hari Jumat, Pekan Biasa XXII
1Kor 4:1-5
Mzm 37:3-6.27-28.39-40
Luk 5:33-39

Menuju pewartaan yang super kreatif

imageAda seorang aktivis Orang Muda Katolik (OMK) di sebuah paroki mengaku sering jajan setiap hari Minggu. Jajan yang dimaksudkannya adalah mengikuti ibadat di Gereja lain setelah mengikuti misa di Gereja dan kegiatan OMK di parokinya. Saya mengatakan kepadanya bahwa ia sedang mengabdi kepada dua tuan. Ia mengaku menyadarinya tetapi merasa sedang melakukan sebuah pencarian akan iman kepada Kristus yang hakiki. Ia lalu memberi beberapa alasan mengapa hampir setiap hari Minggu ia melakukan jajan di gereja lain. Ia merasa seakan hampa ketika mengikuti perayaan Ekaristi di Gereja Parokinya. Mengapa? Ketika masuk ke dalam Gereja, ia bertemu dengan petugas tata tertib yang susah senyum, wajah cemberut. Selama misa berlangsung koor yang mengiringi misa tidak bersemangat, membuat orang mudah tidur di dalam Gereja. Romonya memberi homili terlalu panjang, susah dipahami, tidak kontekstual. Setelah misa romonya hanya menyapa orang-orang tertentu saja. Ini adalah daftar kelemahan yang dialami di gereja parokinya. Saya mendengar dengan penuh perhatian dan memberi komentar seadanya, paling kurang bisa meneguhkannya supaya mengurangi jajan di Gereja lain.

Saya merasa kaget dengan kebiasaan jajan aktivis OMK ini. Saya lalu bertanya-tanya di dalam hati, apa yang sedang salah di dalam Gereja Katolik? Bukankah Gereja katolik merupakan satu-satunya gereja yang memiliki tradisi yang sangat kuat, terstruktur rapi hingga saat ini. Tetapi dari pengalaman orang muda ini, sekurang-kurangnya menunjukkan titik-titik kelemahan yang dialaminya, dan itu tidak bisa dihindari atau dilupakan begitu saja. Kita perlu mengakui kelemahan-kelemahan misalnya dari petugas tata tertib di gereja yang kurang ramah, koor yang tidak disiapkan dengan baik, para romo yang tidak menyiapkan homilinya dengan baik, komunikatif dan kontekstual. Namun apakah kelemahan-kelemahan ini harus membuat banyak orang jajan ke Gereja lain untuk mencari spiritualitas baru atau membandingkan gereja yang satu dengan yang lain atau membandingkan pastor dan pendeta. Fenomena ini nyata di kalangan kaum muda tertentu atau umat kebanyakan di dalam Gereja, dan mengundang semua pihak di dalam Gereja Katolik untuk melakukan evaluasi pelayanan dan pendampingan yang memadai.

Penginjil Lukas hari ini melanjutkan lukisannya tentang pelayanan Yesus di hadapan umum. Ketika itu orang-orang Farisi dan para ahli Taurat berkata kepada-Nya: “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi. Tetapi murid-murid-Mu makan dan minum” (Luk 5:33). Orang-orang Yahudi memiliki hari-hari tertentu untuk berpuasa sesuai aturan Torah, yakni hari Senin dan Kamis. Aturan ini harus diikuti dengan baik oleh setiap orang Yahudi. Maka setiap kali ada pelanggaran terhadap aturan ini maka akan menimbulkan kritikan-kritikan tertentu. Aturan berpuasa ini diadopsi oleh Gereja yakni setiap hari Rabu dan Jumat. Nah, Yesus sendiri dianggap suka makan dan minum bersama para pemungut cukai dan kaum pendosa (Luk 7:34).

Reaksi Yesus nyata dalam perkataan ini: “Dapatkah sahabat mempelai disuruh berpuasa, selagi mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya mempelai diambil dari mereka; pada waktuitulah mereka akan berpuasa” (Luk 5:34). Yesus tegas menunjukkan diri-Nya sebagai Mempelai yang saat itu tidak dikenal oleh orang-orang Yahudi. Gelar Mempelai dalam dunia Perjanjian Lama hanya untuk Allah saja. Allah menjadi satu-satunya mempelai bagi Israel. Dalam kaitan dengan sejarah, Yesus merujuk pada masa yang akan datang (eskatologis) di mana Ia menjadi mempelai bagi gereja-Nya. Sama seperti Allah adalah mempelai bagi Israel, demikian Gereja juga menjadikan Yesus sebagai mempelainya.

Bagi Yesus, selagi diri-Nya sebagai mempelai masih ada bersama para murid sebagai sahabat Mempelai maka belum ada puasa bagi para sahabat mempelai. Namun akan tiba saatnya di mana Yesus memulai Paskah-Nya, dan saat itulah menjadi saat yang tepat untuk berpuasa. Gereja secara liturgis mengenangnya dalam masa prapaskah dan masa paskah. Ada suasana duka dan suka dirasakan oleh Gereja dalam liturginya.

Selanjutnya Yesus mengatakan sebuah perumpamaan lain kepada mereka. Ia mengatakan bahwa tiada seorang pun mengoyakkan secarik kain dan baju yang baru untuk ditambalkan pada baju yang tua karena baju yang baru akan koyak karena tidak cocok. Orang juga tidak akan mengisi anggur baru ke dalam kantong kulit yang tua karena kantong itu akan hancur dan anggur baru terbuang. Anggur baru harus disimpan di dalam kantong yang baru. Orang yang sudah meminum anggur tua ingin minum anggur baru. Anggur yang tua rasanya lebih baik.

Apa yang hendak Yesus katakan dalam perumpamaan kedua ini? Yesus hendak menunjukkan kebaruan Injil yang diwartakan-Nya dibandingkan dengan pemahaman lama dari kaum Farisi dan para ahli Taurat tentang Torah. Yesus sendiri sudah mengakui bahwa Roh Kudus ada di atas-Nya dan Roh yang sama mengutus-Nya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang miskin (Luk 4:18). Yesus mewartakan Injil dengan cara yang sama sekali baru sehingga kaum Farisi dan para ahli Taurat pun tidak bisa memahaminya. Ia misalnya mengatakan diri-Nya sebagai Mempelai dalam masa Mesianis. Ungkapan seperti ini tidak bisa dipahami oleh mereka karena mereka hanya mengerti bahwa Allah saja yang menjadi mempelai bagi Israel. Injil sebagai Kabar sukacita adalah sebuah ajaran baru dan Yesus menyajikannya juga secara baru. Orang-orang yang mendengar pewartaan Yesus secara baru ini harus bergairah baru untuk mengikuti Yesus dari dekat.

Perkataan Yesus dalam perumpamaan ini mendorong para agen pastoral, para pewarta Sabda di dalam Gereja untuk membaca, merenungkan dan mewartakan Sabda Tuhan secara super kreatif. Artinya selama ini para pewarta atau pengkotbah menggunakan cara pewartaan yang melelahkan, kurang menarik karena waktunya lama maka haruslah diusahakan untuk memiliki gaya pewartaan yang super kreatif untuk menarik umat supaya tidak jajan lagi di tempat lain. Para pewarta dan pengkotbah harus membaca, merenungkan lalu menyajikan homilinya semenarik mungkin kepada umat dalam waktu 7-10 menit. Maka satu kata kunci bagi para pewarta sabda adalah perlu waktu untuk mempersiapkan homili dengan baik. Ini merupakan harapan dari umat kepada pastornya.

Lalu bagaimana kita menyiapkan homili dengan baik? Kita membutuhkan waktu persiapan jarak jauh dan jarak dekat. Persiapan jarak jauh bisa dimulai pada hari senin dengan membaca dan merenungkannya secara pribadi, berusaha untuk memperdalam hidup rohani dalam doa, mengakui dosa-dosa, butuh integritas tinggi dalam hal ini apa yang akan saya sampaikan dalam homili adalah apa yang saya alami dan lakukan dalam hidup setiap hari. Ada juga persiapan jarak dekat misalnya membaca dan merenungkannya lagi, memilih satu tema yang aktual dari permenungan, menyesuaikan dengan audiens, membaca sumber tambahan dan metode mana yang kiranya cocok untuk dipakai. Untuk itu perlu anugerah Roh Kudus.

Kita bersyukur kepada Tuhan, sebab Ia selalu mengingatkan kita untuk akrab dengan Sabda-Nya dan kalau boleh super kreatif dalam mewartakannya kepada sesama. Di bulan Kitab Suci Nasional ini mari kita kembali ke Alkitab. Kita membaca, merenungkan, melakukan sebagai bentuk pewartaan kita. Semakin kita akrab dengan Kitab Suci, kita pun akan akrab dengan Yesus sendiri.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply