Homili 11 November 2016

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXXII
St. Martinus dari Tours
2Yoh 4-9
Mzm 119:1.2.10.11.17.18
Luk 17:26-37

Hiduplah dalam peradaban kasih!

imagePada hari ini Gereja Katolik merayakan peringatan St. Martinus dari Tours. Ia lahir di Sabaria, Hungaria Barat pada tahun 335 dan dibesarkan di Italia. Ayahnya adalah seorang perwira tinggi militer Kerajaan Romawi, masih kafir saat itu. Ketika berusia 10 tahun, Martinus mengikuti pelajaran agama Kristen tanpa diketahui orang tuanya. Menjelang usia 15 tahun, ayahnya menghendaki supaya Martinus masuk ke dalam sebuah dinas militer. Keinginan ayah adalah kehendak yang harus ditaatinya. Martinus pun menjadi seorang prajurit, mengikuti jejak dan keinginan ayahnya.

Dikisahkan bahwa ketika musim dingin tiba, Martinus melakukan dinas militernya ke kota Amiens. Ketika itu ia berpapasan dengan seorang pengemis yang sedang kedinginan. Pengemis tanpa nama ini mengulurkan tangannya untuk meminta sesuatu kepadanya. Martinus tidak memiliki uang atau bekal apa pun. Namun karena belas kasihnya kepada pengemis itu, maka ia pun mengangkat pedangnya, membelah mantel kebesarannya dan sebagian mantel itu dipakainya untuk membungkus tubuh sang pengemis yang kedinginan itu. Semua orang menertawakan Martinus karena mantelnya aneh ketika memasuki kota Amiens. Pada malam harinya ia bermimpi melihat Tuhan Yesus sedang mengenakan sebagian mantel yang diberikan Martinus kepada si miskin di jalanan tadi. Yesus berkata kepada para malaikat: “Martinus, seorang katekumen memberikan Aku mantel ini.”

Martinus kemudian mengundurkan dirinya dari dinas militer dan memilih menjadi tentara Kristus. Ia dibaptis lalu mengikuti pembinaan sebagai calon imam di bawah asuhan St. Hilarius hingga ditahbiskan sebagai imam. Ia diangkat sebagai uskup. Selama hidupnya Martinus mewartakan Injil dengan suka cita, membela gereja dari para bidaah terutama Arianisme. Ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 397. Martinus menunjukkan kesetiaan dan kasihnya kepada Tuhan Yesus Kristus sampai tuntas.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengajak kita untuk belajar supaya hidup di dalam kasih Tuhan. Mengapa kita belajar untuk hidup di dalam kasih Tuhan? Yohanes memberi jawaban yang tepat: “Karena Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8.16). Dalam suratnya yang kedua ini, Yohanes bersukacita karena jemaatnya hidup dalam kebenaran. Hidup dalam kebenaran berarti hidup sesuai dengan perintah yang diterima dari Allah Bapa sendiri. Orang yang hidup dalam kebenaran akan mampu mengasihi Tuhan dan sesama. Yohanes berkata: “Sekarang aku meminta kepadamu ya ibu, agar kita saling mengasihi” (2Yoh 5). Yohanes menjelaskan bahwa hidup dalam kasih berarti hidup dengan menuruti perintah Tuhan. Di sini, Yohanes menampilkan kata-kata yang saling mengikat satu sama lain dan harus dijalani oleh seorang murid yakni kebenaran dan kasih. Kedua kata ini menjadi sempurna dalam sikap hidup yang nyata yakni mentaati perintah-perintah Tuhan.

Yohanes mengingatkan komunitas yang disapanya sebagai ibu untuk mawas diri terhadap para penyesat. Mereka muncul seperti jamur dan berkeliling untuk menyesatkan banyak orang. Para penyesat tidak mengakui Yesus Kristus sebagai Anak Manusia. Para penyesat ini disebut sebagai antikristus. Sebab itu jemaat harus berusaha untuk hidup dalam kasih sehingga tidak mudah disesatkan oleh para antikristus. Yohanes juga mengatakan bahwa setiap orang yang tidak setia pada ajaran Kristus, tetapi menyimpang dari padanya, dia tidak memiliki Allah. Barangsiapa setia kepada ajaran itu dia memiliki Bapa maupun Putra (2Yoh 9).

Dalam bacaan Injil Tuhan Yesus menasihati para murid-Nya untuk mawas diri dan bertobat dari berbagai kebiasaan buruk dalam hidup setiap hari. Dengan demikian pada saat hari Tuhan tiba, semua orang dalam keadaan siap untuk menyambut kedatangan-Nya. Banyak orang jatuh ke dalam dosa, dan benar-benar kehilangan rasa berdosanya. Mereka selalu mengulangi dosa yang sama. Tuhan Yesus mengambil contoh nyata keluarga Nuh yang selamat dari air bah supaya ada generasi baru yang layak di hadirat Tuhan Allah. Hal yang sama terjadi juga pada zaman Lot. Ketika Sodom dan Gomora jatuh dalam dosa maka terjadilah murka Tuhan karena mereka tidak bertobat. Tuhan menyelamatkan Lot dan anak-anaknya. Sekali lagi di sini muncul sebuah generasi baru yang layak bagi Tuhan.

Bagian terakhir dari Injil membicarakan tentang situasi chaos, penderitaan dan kemalangan sebagai tanda-tanda zaman bagi kedatangan Kristus. Akan terjadi pemisahan di antara kita. Sebab itu para murid yang menjadi pendengar saat itu berkata kepada Yesus: “Di mana Tuhan?” Yesus dengan tenang menjawab: “Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar” (Luk 17:36). Orang yang membuka hatinya kepada Tuhan akan dikasihi Tuhan dan ia mampu mengasihi-Nya. Orang yang menutup hatinya kepada Tuhan tidak akan menerima-Nya di dalam hidupnya setiap hari.

Mari kita belajar dari St. Martinus dari Tours. Ia memiliki rasa belas kasih yang besar dan berani berbagi dalam hidupnya. Hidup kita akan bermakna apabila kita hidup dalam kasih dan saling berbagi satu sama lain. Hidup saling berbagi semakin membudayakan kasih. Kita mampu hidup dalam sebuah peradaban kasih.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply