Homili 25 Januari 2017

Pesta Pertobatan St. Paulus
Kis. 22:3-16 atau Kis. 9:1-22
Mzm. 117:1,2
Mrk. 16:15-18

Menerima diri apa adanya

Adalah Maria Vitoria alias MarVi. Artis remaja ini mendadak terkenal di kalangan pedangdut ASEAN karena menjadi salah satu peserta termuda yang menembus empat besar dalam sebuah perlombaan menyanyi dangdut di Jakarta. Para komentator dan dewan yuri kala itu menyebutnya sebagai mutiara dari Loro Sae. Seorang jurnalis Televisi Nasional Timor Leste pernah bertanya kepadanya dalam sebuah wawancara esklusif: “MarVi, media sosial pernah mengungkap masa lalumu di kampung, dan mengatakan bahwa anda adalah seorang remaja penjual sayur kangkung. Bagaimana komentar anda yang kini sudah menjadi artis?” MarVi dengan tegas menjawab: “Ya, saya adalah seorang penjual kangkung. Itu adalah masa lalu saya. Mengapa saya harus malu dengan profesi saya pada masa lalu? Saya justru berbangga sebagai MarVi remaja penjual sayur kangkung”. Jawaban lugas ini menunjukkan kematangan seorang remaja yang berani menerima masa lalunya. Saya sendiri ketika mendengar jawabannya itu, merasa bangga karena dapat mengenal seorang remaja yang mengajari saya untuk berani menerima masa lalu dan menerima diri apa adanya.

Berani menerima masa lalu sebagai bagian dari hidup pribadi memang bukanlah hal yang muda. Banyak orang merasa malu dan tidak mau menerima masa lalunya atau menerima anggota keluarganya karena aib tertentu. Mengapa kita harus malu untuk menerima masa lalu? Mengapa kita malu untuk menerima diri kita apa adanya? Masa lalu adalah peluang yang mendorong kita untuk menunjukkan diri sebagai manusia yang mencintai perubahan. Kita dapat berubah menjadi lebih baik ketika kita sadar dan yakin akan keluhuran sebuah perubahan di dalam hidup kita. Banyak orang kudus di dalam gereja tidak merasa malu dengan masa lalunya. Mereka justru memandang masa lalu sebagai awal sebuah perubahan. Tuhan justru menyadarkan mereka untuk mengingat-ingat kembali masa lalunya dan berubah menjadi lebih baik lagi. Saya mengingat St. Agustinus. Setelah melewati masa lalunya yang meresahkan keluarga, khususnya Monika ibunya, ia bertobat dan dibaptis oleh Uskup Ambrosius. Ia menulis dalam pengakuannya: “Tardi Ti ho amato” (terlambat aku mengasihi-Mu). Agustinus menjadi baru dan kita kenal dengan sapaan St. Agustinus.

Pada hari ini kita memandang dan mengagumi pribadi St. Paulus. Ia memiliki masa lalu yang kelam. Namun ia tetap sadar sebagai orang Yahudi yang lahir di Tarsus. Ia belajar dibawah bimbingan Gamaliel untuk mengerti Kitab Suci supaya dapat mengabdi Allah. Ia menyadari tindakannya ketika menganiaya orang-orang Kristen yang disebutnya pengikut-pengikut Jalan Tuhan. Ia menangkap, memenjarakan bahkan membunuh mereka dengan kejam. Namun dalam perjalanan ke Damsyik ia mendapatkan sebuah penglihatan yang mengubah seluruh hidupnya. Ia melihat cahaya dari langit yang sangat menyilaukannya. Ia pun terjatuh dari kudanya, menjadi buta dan mendengar suara berseru memanggil namanya sebagai Saulus. Orang yang memanggilnya itu mengakui diri-Nya bernama Yesus dari Nazaret. Selanjutnya, Tuhan Yesus menyuruh Saulus pergi ke Damsyik dan di sana hidupnya akan diubah menjadi baru bagi Kristus. Matanya terbuka dan kembali melihat seperti biasa di Damsyik. Ia pun dibaptis dan menjadi seorang rasul dan nantinya misionaris bangsa-bangsa. Ia menjelajahi banyak daerah untuk mewartakan Injil dan membaptis banyak orang.

Saulus adalah sebuah masa lalu yang berubah menjadi Paulus yang baru. Ini merupakan salah satu contoh perubahan yang luar biasa. Saulus adalah gambaran diri masa lalu yang penuh kekelaman, kejahatan dan dosa. Namun karena kasih Tuhan yang tiada batas baginya sehingga ia bersedia untuk berubah dari Saulus menjadi Paulus. Pengalaman akan Allah dalam diri Paulus adalah pengalaman akan terang. Kita semua percaya bahwa Yesus adalah terang dunia. Sebuah Terang sejati yang mengubah kehidupan Paulus secara radikal. Pengalaman Paulus ini hendaknya menjadi pengalaman keseharian kita, dalam hal ini pengalaman pertobatan yang radikal kepada Tuhan. Ia menerima diri apa adanya dan melihat masa lalunya sebagai dorongan untuk menjadi kudus.

Mengapa Saulus dapat bertobat menjadi Paulus? Ini merupakan pertanyaan yang sering diucapkan oleh banyak orang di dalam Gereja dan luar Gereja. Tuhan memang memiliki rencana yang indah bagi Paulus. Sebab itu pada saat yang tepat Tuhan memanggilnya untuk menjadi rasul. Perayaan hari ini menjadi bermakna karena Paulus mendapat panggilan untuk menjadi rasul Yesus Kristus. Panggilan Yesus kepada Paulus ini mengingatkan kita pada perkataan-Nya sendiri: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan nbuah dan buahmu itu tetap”. (Yoh 15:16).

Paulus mendapat panggilan dari Tuhan Yesus Kristus untuk menjadi misionaris. Tugas misionernya adalah mewartakan Injil kepada semua makhluk. Ia sendiri berkata: “Karena jika aku memberitahukan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1Kor 9:16). Di tempat lain, Paulus mengatakan: “Karena bagiku, hidup adalah Kristus dan mati adalah keberuntungan.” (Flp 1:21). Pengalaman akan Allah dalam diri Paulus mendorong kita untuk menerima Tuhan Yesus dan membaktikan diri hanya kepada-Nya.

Paulus mengajar kita semua untuk tidak boleh melupakan masa lalu. Masa lalu adalah peluang bagi kita untuk menggapai masa depan yang lebih baik lagi. Sebab itu janganlah malu dengan masa lalu, tetapi bersyukurlah karena pernah mengalaminya. Hanya dengan demikian kita dapat berubah menjadi lebih baik lagi. Apakah kita mampu menerima diri kita dan masa lalu?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply