Homili 18 Maret 2017

Hari Sabtu, Pekan Prapaskah II
Mi. 7:14-15,18-20
Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12
Luk. 15:1-3,11-32

Allahku adalah Bapa Yang Maharahim!

Saudari dan saudara terkasih, kita berada di hari Sabtu, Pekan Prapaskah kedua. Permenungan kita selama Pekan Prapaskah kedua ini adalah tentang Tuhan sebagai Allah dan Bapa yang sungguh mengasihi Yesus, Putera-Nya sehingga hanya kepada Yesus saja Ia mencurahkan segala kasih-Nya. Mari kita merenungkan kembali suara yang keluar dari dalam awan dalam peristiwa Transfigurasi: “Inilah Anak yang Kukasihi, Kepada-Nya Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mat 17:5). Pemahaman sederhana kita: Yesus adalah Anak yang dikasihi Bapa. Sebuah Kasih yang penuh dengan pengorbanan. Allah Bapa mengorbankan Putera-Nya Yesus Kristus. Yesus Kristus menerima dan mengorbankan diri-Nya karena taat kepada Bapa. Hanya ada satu tujuan dari pengorbanan yakni keselamatan manusia yang berdosa. Sebab itu, kita semua diingatkan untuk selalu mendengar Yesus. Apakah selama pekan kedua Prapaskah ini, kita memiliki kesempatan untuk mendengar Yesus? Apakah kita sudah memiliki kesempatan untuk mendengar, membaca, merenungkan dan melakukan Sabda Tuhan? Masa Prapaskah adalah kesempatan untuk menjadi semakin akrab dengan Sabda Tuhan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Sabtu ini mengajak kita untuk memandang Allah sebagai Bapa Yang Maharahim. Nabi Mikha dalam nubuatnya pertama-tama menghadirkan Allah sebagai gembala yang baik. Tongkat kegembalaan-Nya membimbing umat laksana seorang gembala memperhatikan kambing dan domba. Hidup mereka terpencil dan dapat mengalami penyesatan. Untuk itu menurut Mikha, butuh Tuhan sebagai gembala baik untuk menggembalakan mereka. Tuhan sendiri sudah menunjukkan semangat kegembalaan-Nya ketika mengeluarkan mereka dari tanah Mesir. Dia menunutun mereka hingga tiba di tanah Kanaan.

Mikha juga menghadirkan Allah sebagai Bapa Yang Maharahim, panjang sabar dan besar kasih setia-Nya. Dialah Allah yang mengampuni dosa-dosa dan memaafkan pelanggaran yang dilakukan oleh sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak murka untuk selama-lamanya melainkan berkenan pada kasih setia. Menurut Mikha, Tuhan tetap menyayangi kita. Dialah yang menghapus kesalahan-kesalahan kita, dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut. Tuhan benar-benar pengasih dan penyayang.

Nubuat Mikha ini membantu kita untuk semakin mengenal dan mengimani Allah sebagai kasih (1Yoh 4:8.16). Ia lebih dahulu mengasihi kita apa adanya. Berkali-kali kita menjauh dari-Nya, namun Ia tetap datang mendekati dan bermaksud untuk menyelamatkan kita. Ia melupakan dosa-dosa kita dengan membuang semua dosa kita ke tubir-tubir laut yang dalam. Ia hanya akan mengadili kita berdasarkan kualitas kasih kepada-Nya melalui orang-orang kecil di sekitar kita.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengisahkan sebuah perumpamaan tentang Bapa yang Mahabaik kepada kepada orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Ada seorang ayah yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Ayah itu sangat baik dan menghormati kebebasan pribadi kedua anaknya. Kedua anaknya memiliki karakter yang berbeda. Pada suatu kesempatan, anak bungsu datang kepada ayahnya untuk meminta warisan yang diperuntukkan baginya. Ayahnya itu tidak banyak berkomentar, memanggil kedua anaknya dan membagikan semua warisan secara adil. Anak bungsu langsung meninggalkan ayah dan saudara serta rumahnya. Anak sulung tetap tinggal bersama ayahnya dan hidup dari ayahnya juga.

Apa yang terjadi dengan anak bungsu? Ia menjauh dari rumah untuk menunjukkan dirinya sebagai orang merdeka. Semua warisan dihamburkannya, hingga akhirnya menjadi miskin dan melarat. Martabatnya bahkan sehina babi! Ini adalah titik ekstrim dalam hidupnya sehingga ia berusaha untuk kembali kepada ayahnya. Ia sadar diri bahwa dia telah berdosa terhadap surga dan kepada ayahnya sendiri. Ia pun kembali kepada ayahnya dan berani mengakui kesalahannya: “Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadap Bapa; aku tidak layak lagi disebut anak Bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan” (Luk 15: 18-19.21).

Apa reaksi dari sang ayah kepada anak bungsunya? Sang ayah tidak banyak berbicara. Ia mengerti anak bungsunya dan menerimanya apa adanya. Dialah yang pertama berlari mendapatkan anak bungsu yang datang kepadanya. Dialah yang memeluk dan mencium anaknya. Sang ayah yang baik ini berkata kepada para hambanya: “Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik dan pakaikanlah kepadanya”. Jubah adalah gaun yang terbaik, yang selalu disiapkan bagi seorang tamu agung. Jubah baru menjadi simbol hidup baru. “Kenakanlah cincin pada jarinya” Cincin merupakan tanda martabat sebagai anak yang berani dilepaskannya ketika meninggalkan rumahnya. Dengan mengenakan cincin maka ia diterima kembali dalam keluarga. Sepatu baru juga siap dikenakan baginya. Kaki adalah bagian tubuh yang paling rendah, selalu bersatu dengan kotoran. Sepatu baru untuk melindunginya dari noda dosa. Anak lembu tambun selalu menjadi korban yang berkenan bagi Allah. Seorang pendosa bertobat, tanda suka cita besar di surga. Perjamuan disiapkan oleh orang yang berani kembali kepada Allah. Pertobatan adalah sukacita karena ayah menerima kembali anaknya dan memberikan martabat baru kepadanya.

Anak sulung adalah gambaran pribadi yang lupa diri, lupa bersyukur dan hanya bisa mengeluh. Ia menerima warisannya tetapi tetap hidup dari ladang ayahnya. Ia marah kepada adiknya yang sudah berdosa, tidak berempati dengannya. Dia marah dengan ayahnya yang begitu baik karena memberi hidup kepadanya. Ia bersungut-sungut melawan ayahnya padahal apa yang menjadi milik ayahnya adalah juga menjadi miliknya. Ia menutup dirinya, hanya melihat diri dan kebaikannya. Ia tidak menerima saudaranya, tidak mau juga masuk ke dalam rumah ayahnya.

Kisah Injil ini menggambarkan hidup kita yang sebenarnya di hadirat Tuhan. Banyak kali kita bertindak sebagai anak bungsu yang mencintai kebebasan sampai lupa diri. Sebab itu kita berani kembali kepada Tuhan. Banyak kali kita seperti anak sulung yang lebih suka menghitung kesalahan saudara-saudari kita sampai lupa dengan kesalahan pribadi. Tinggal dengan Tuhan dalam berbagai kegiatan kegerejaan, belumlah menjadi jaminan keselamatan. Bisa jadi kita hanyalah orang ateis yang aktif di dalam gereja. Mungkin kita sebagai ayah yang baik, yang tidak menghitung-hitung kesalahan, tetapi menaruh kerahiman yang besar kepada semua orang di sekitar kita.

Tuhan Mahapenyayang dan pengasih (Mzm 103:8a). Dialah yang mengampuni segala kesalahan dan menyembuhkan segala penyakit kita. Dialah yang setia menebus kita dari liang kubur dan memahkotai kita dengan kasih setia-Nya (Mzm 103:3-4). Bertobatlah, kembalilah kepada Tuhan Allahmu dengan segenap hati sebab maharahimlah Dia. Dialah Allah Bapa yang Maharim.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply